Ada yang tahu kenapa aku bisa ada di sini? Gak ada? Sama. Aku pun juga tidak mengerti kenapa aku bisa terdampar kembali di rumah sederhana ini. Rumah dari kekasih hatiku, Tama.Aku menelan ludah gugup saat merasakan tatapan menusuk dari arah depanku. Aku berusaha terlihat biasa saja, walau dalam hati kini tengah ketar-ketir sendiri.Sesekali, aku meremas, mengusap tanganku yang terasa basah oleh keringat. “Ini Tama sengaja banget apa gimana, sih? Kok, aku malah ditinggalin berdua doang sama mamanya!” batinku, gelisah.“Ngapain kamu ke sini?” Nah, lho!Suara Tante Anggun terdengar begitu sarkas hingga membuatku tak berkutik. Namun, jika aku terus diam seperti ini, masalah kami tak akan pernah usai. Restu dari beliau pun tak akan pernah turun.Aku harus maju!Ya, aku harus maju!Kuangkat kepalaku, menatap sosok ibu dari pria yang aku cintai, Anggun lie. Wajahnya yang masih begitu cantik di usia senja, membuatku salut padanya. “Eh, kok, malah sibuk ngurusin wajah orang lain. Come on, N
Sudah lebih dari 10 menit tak ada yang membuka suara. Tanganku sudah berkeringat, bahkan aku merasakan keringat sudah membasahi bagian punggungku. Aku melirik ke arah Tama dan pria itu juga sedari tadi hanya duduk diam. Aku mendengkus. Katanya dia mau bicara pada Kakek, tapi dia malah hanya diam saja. Aku jadi ragu.“Jadi, apa saya boleh tahu kenapa cucu saya ada di rumahmu, Tama?” Suara Kakek memecah keheningan dengan sebuah pengakuan yang ternyata mampu membuat seorang Tante Anggun memekik kaget. “C-cucu? D-dia cucu Anda?” Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Tante Anggun sekarang. Karena aku memilih untuk melihat ke arah Kakek. Aku meremas tanganku sendiri. Ada perasaan takut yang membuatku tak bisa berpikiran.Aku bisa mendengar Kakek berdecih. “Kenapa Anda menatap cucu saya dengan tatapan seperti itu? Atau, air mata cucuku tadi karena ulah Anda?” Skakmat!“Kakek.” Aku langsung duduk bersimpuh di kaki Kakek. Kepalaku menggeleng sambil menatapnya memelas. “Tolong jangan katakan
Sayangnya, aku tak jadi mati hanya karena tak makan semalaman. Inginku merajuk pada Kakek hingga satu minggu kemudian untuk mogok makan. Realitanya, pagi ini aku sudah duduk cantik dibalik meja makan bersama dengan Kakek.Plin-plan banget gak, sih? Tapi, yaudahlah daripada makanan seabrek di atas meja kagak ada yang makan, nanti mubazir, dosa. Emang siapa yang mau menanggung dosanya? Gak ada yang mau pasti. Sama, aku juga ogah.Aku melirik sebentar wajah Kakek yang sama sekali tak terusik sedikit pun akan kehadiranku yang ogah-ogahan. Bibirku cemberut. Kenapa, sih, para lelaki tajir sifatnya harus kek kutub semua? Masa meleleh nunggu mau kiamat, ya, gak mungkin, dong. Keburu koid nih ane. Huhuhu, sedih bet dah, ah, kalau kayak gini terus.Tak ada percakapan, hanya denting sendok dan garpu yang bertemu dengan piring memenuhi ruang makan yang bisa ditempati oleh 20 orang. Namun, kursi yang terisi sekarang hanya 2 saja.Apa seperti ini suasana makan Kakek setiap hari? Jika iya, aku gak
Kini, aku sudah berada di depan kantor Mas Tama, tentunya setelah Kakek memberikanku izin untuk bertemu dengannya. Sengaja aku tak langsung naik ke atas dan meminta satpam untuk memberitahukan padanya jika ada tamu di bawah. Tidak berselang lama, Mas Tama datang. “Sayang, kok kamu gak langsung naik, sih?” Kurasakan pelukan dan juga kecupan manis di puncak kepalaku. Aroma parfumnya langsung merasuk ke indra penciumanku, dan itu selalu membuatku nyaman. Ah, sial! Belum pergi saja aku sudah merindukannya. Sekarang, aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa aku bisa hidup tanpa Mas Tama 2 tahun besok? Atau, apakah Mas Tama akan tetap setia menungguku hingga aku kembali? Lalu, bagaimana jika besok … tidak-tidak. Aku gak bilang banyak berpikiran jelek. Hentikan pikiran bodohmu itu, Naina. Kau hanya akan memperburuk keadaan jika bersikap begini. Come on, semangatlah! Namun, aku tak bisa untuk tak memaki pada keadaan yang selalu saja tak berpihak pada kami. Hatiku yang selembut mar
Sebuah perpisahan adalah hal yang sangat dibenci oleh setiap pasangan kekasih, ataupun suami-istri. Namun, jika memang ada alasan yang mendasarinya, why not? Anggap saja itu takdir. Karena setiap manusia tidak akan mungkin hidup dalam kebahagiaan setiap waktu. Akan selalu ada saat di mana air mata dan emosi menghampiri mereka hingga sulit untuk mencapai sebuah rasa bahagia.Butuh waktu bagi manusia untuk melupakan seseorang yang pernah singgah dalam hatinya. Bisa satu hari? seminggu? Sebulan? Atau, bahkan tahunan? Entahlah. Itu semua tergantung dari berapa lama si insan move on.Sementara, hubunganku dengan Mas Tama sendiri dibilang end, tetapi gak. Dibilang baik-baik saja, tidak juga. Mungkin kami berada di fase tengah-tengah, menggantung bagaikan jemuran tetangga yang enggan untuk diangkat.Awalnya, aku harus menuntut ilmu selama 2 tahun di luar negeri. Akan tetapi, molor dan tambah satu tahun menjadi 3 tahun karena suatu hal.Kini, aku sudah kembali pulang ke tanah kelahiranku, In
Setelah menghabiskan waktu satu jam hanya dengan menangis di kamar. Kini, perutku meronta minta diisi. Hebat bukan diriku? Pada saat seseorang sedang patah hati, galau, atau memiliki masalah maka mereka tak akan bisa menelan makanan barang sedikit pun. Sementara diriku, justru makin gacor buat ngisi perut. Entah sebuah keberuntungan atau memang hanya kebetulan. Tubuhku tak bisa gemuk, walau sudah makan sebakul. Kalau dibilang cacingan sih, gak mungkin. Lah wong aku ngerasa sehat bugar, kok.Aku bangun, mencari di mana keberadaan benda canggih yang berbentuk pipih di sekitar. Ternyata, ponselku ada di atas nakas. Aku segera mengambilnya, lalu mulai menjelajah ke salah satu aplikasi gofood. “Kayaknya nasi goreng spesial enak, deh. Terus, minumnya air mineral aja. Ish, kok ada cake-nya juga, sih? Kan, aku jadi laper mata!” Aku memasukkan beberapa macam cake dan kemudian membayarnya.Selesai dengan makanan, kini aku mulai bangun dari atas ranjang menuju kamar mandi. Mematut kondisi waj
“Naina,” panggil Mas Tama, lirih. Aku langsung melengos, bergegas mengembalikan jas yang sempat aku pegang ke tempat semula. “Sayang, kamu amj ke mana? Hei, jangan tinggalin gue!”“Lepas! Dan bukankah aku sudah bilang ke kamu, kalau kita itu gak ada hubungan apa pun. Jadi, please! Hentikan semua omong kosong mu itu!”“Sayang! Tunggu dulu … Tama!”Aku segera berjalan menjauh dari jangkauan mereka. Kuabaikan keributan yang terjadi di belakang dan kupilih melangkahkan kaki dengan cepat menuju meja kasir. “Tolong gunakan ini!” Sebelum si kasir sempat bertanya, aku langsung meletakkan black card di atas mejanya.“Pakai ini saja!”Aku langsung menoleh padanya. Mataku melotot tak terima saat Mas Tama mengambil kartuku dan mengganti dengan miliknya. “Aku bisa bayar sendiri,” tolakku.Dia tetap diam saja seolah tak terganggu dengan mataku yang menyorot protes padanya. Mas Tama justru sibuk bertransaksi di samping tubuhku. Aku menghela napas pasrah. Jujur, aku sangat merindukannya, bahkan i
Njir, ini laki kenapa makin tua malah makin edan, sih. Apa dia gak tau kalau kelakuannya bikin banyak orang pada kepo? Atau, dia itu sengaja melakukan itu supaya aku berempati kepadanya?Oh, Tuhan. Bagaimana bisa aku mencintai lelaki macam si perjaka tua di depanku, tapi kelakuan masih kek bocil Paud yang hobinya merengek. Aku lelah Bestie!Boleh tuker kehidupan gak sih, Tuhan? Capek, beut, kalau kayak gini.“Bangunlah! Atau, aku gak akan pernah mau memaafkanmu!” Aku balik mengancamnya. Tak kupedulikan lagi tatapannya yang berbinar saat mendengar ucapanku.“Jadi, kamu beneran man maafin aku kan, Na?” tanya Mas Tama, masih gak percaya. Dia lantas berdiri, memegang bahuku dengan mata berbinar cerah.Aku hanya berdeham, menepis tangannya kemudian melangkah terlebih dahulu tanpa memedulikan dia yang terus berjalan di belakangku. Namun, aku juga tidak gak bisa menutupi rasa bahagiaku. Dasar jablay! Baru disenyumin dikit doang aja udah meleleh. Dasar kuampret!Tiba-tiba, tangan Mas Tama s