“Naina,” panggil Mas Tama, lirih. Aku langsung melengos, bergegas mengembalikan jas yang sempat aku pegang ke tempat semula. “Sayang, kamu amj ke mana? Hei, jangan tinggalin gue!”“Lepas! Dan bukankah aku sudah bilang ke kamu, kalau kita itu gak ada hubungan apa pun. Jadi, please! Hentikan semua omong kosong mu itu!”“Sayang! Tunggu dulu … Tama!”Aku segera berjalan menjauh dari jangkauan mereka. Kuabaikan keributan yang terjadi di belakang dan kupilih melangkahkan kaki dengan cepat menuju meja kasir. “Tolong gunakan ini!” Sebelum si kasir sempat bertanya, aku langsung meletakkan black card di atas mejanya.“Pakai ini saja!”Aku langsung menoleh padanya. Mataku melotot tak terima saat Mas Tama mengambil kartuku dan mengganti dengan miliknya. “Aku bisa bayar sendiri,” tolakku.Dia tetap diam saja seolah tak terganggu dengan mataku yang menyorot protes padanya. Mas Tama justru sibuk bertransaksi di samping tubuhku. Aku menghela napas pasrah. Jujur, aku sangat merindukannya, bahkan i
Njir, ini laki kenapa makin tua malah makin edan, sih. Apa dia gak tau kalau kelakuannya bikin banyak orang pada kepo? Atau, dia itu sengaja melakukan itu supaya aku berempati kepadanya?Oh, Tuhan. Bagaimana bisa aku mencintai lelaki macam si perjaka tua di depanku, tapi kelakuan masih kek bocil Paud yang hobinya merengek. Aku lelah Bestie!Boleh tuker kehidupan gak sih, Tuhan? Capek, beut, kalau kayak gini.“Bangunlah! Atau, aku gak akan pernah mau memaafkanmu!” Aku balik mengancamnya. Tak kupedulikan lagi tatapannya yang berbinar saat mendengar ucapanku.“Jadi, kamu beneran man maafin aku kan, Na?” tanya Mas Tama, masih gak percaya. Dia lantas berdiri, memegang bahuku dengan mata berbinar cerah.Aku hanya berdeham, menepis tangannya kemudian melangkah terlebih dahulu tanpa memedulikan dia yang terus berjalan di belakangku. Namun, aku juga tidak gak bisa menutupi rasa bahagiaku. Dasar jablay! Baru disenyumin dikit doang aja udah meleleh. Dasar kuampret!Tiba-tiba, tangan Mas Tama s
Gara-gara Mas Tama aku gak bisa tidur. Mataku menolak untuk terpejam dan terus terbuka hingga sekarang, bahkan pada saat jarum jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Asem! Apa tak makin gila diriku? Hanya karena sebuah janji yang entah jadi atau tidak, tetapi aku yang murahan ini justru menjadi tak sabar untuk segera menjemput hari esok.Aku mengerang kesal, menendang-nendang selimut sambil tersenyum seperti orang gila karena ingin bertemu Mas Tama esok malam. “Kya, kenapa aku jadi kek ABG labil gini, sih? Ayolah, Na! Please, sadar!” Aku menepuk pipiku agar segera terbangun dari kegilaan ini, berteriak layaknya Tarzan yang ada di hutan. Aku mendengkus dengan deru napas yang memburu. “Kakek, cucumu butuh suami!” teriakku sambil menatap langit-langit kamar.Namun, bukannya jawaban yang aku dapatkan, melainkan hanya suara krik-krik-krik yang membuat keadaan ruang kamarku makin tidak jelas. Aku lalu memilih duduk dengan rambut yang acak-acakan dan pandangan memelas. Lingkaran mata bahkan s
“Yup. Kamu emang paling tau diriku, Sayang. Karena aku akan berubah gila jika berada di dekatmu,” jawab Mas Tama sambil mengerling.Aku menatapnya horor. “Sumpah, yah! Aku gak tau jika dirimu sekarang berubah makin gila, Mas.”Aku mengibaskan rambut dengan perasaan dongkol. Bagaimana tidak, Mas Tama dengan seenak jidat main injak rem, terus nyelonong nyium pipi aku. Siapa yang gak kaget coba? Untung ini jantung buatan Tuhan. Coba kalau manusia itu sendiri yang buat, palingan udah rontok, dan berceceran di jalanan karena tidak kuat menahan rasa kejut.Mas Tama mengedikkan bahu. “Ya, mau gimana lagi. Butuh kegilaan yang hakiki agar bisa meluluhkan hati cucu Kakek Darman, sih!”“Whatever!” Aku terlalu malas meladeni. Ku palingkan wajah ke arah depan sambil mencibir kelakuan Mas Tama yang semakin absurd, tapi ngangenin.Tuhkan, aku mulai ketularan gila.Mas Tama terkikik, lalu kembali melajukan mobilnya setelah tadi sempat berhenti. Ia bahkan tak berniat melepaskan genggaman tangan kami.
Malam ini aku sudah berdandan cantik. Ya, walaupun tanpa menggunakan riasan aku udah cantik, tetapi aku masih teringat dengan kata-kata Mas Tama tadi yang memintaku untuk berdandan.“Ok, untuk sentuhan terakhir, aku akan memberikan benda dari Kakek” kataku antusias. Kupasan jepit rambut berbentuk kupu-kupu kecil, hadiah khusus yang dibelikan oleh Kakek Darman tahun lalu. Dulu sempat bingung mau dipakai di acara apa, tetapi sekarang aku bisa menggunakannya. “Cha … makin cantikkan aku?” Bibirku mengulas senyum puas.Aku tertawa geli sendiri saat menyadari sikap percaya diriku yang sudah overload. Tapi, mau gimana lagi, itu nyata. Mas Tama saja sampai klepek-klepek jika melihatku, apalagi ketika aku berdandan.Aku terkikik sendiri. Namun, sebuah suara ketukan yang dibarengi dengan panggilan dari bibi di luar pintu membuatku menoleh. “Ada apa, Bi? Apa Mas Tama sudah datang?” Aku bertanya saat melihatnya masuk ke kamar.Bi Marti membungkuk sopan padaku. “Tuan Tama dan keluarga sudah menun
Aku berjalan mengikuti ke mana Kakek melangkah, bahkan aku membiarkan tamu tetap berada di ruang tamu tanpa penjelasan. Setelah sampai di belokan menuju ruang kamar Kakek, aku segera berdiri menghalangi pintu.“Ada apa, Naina? Bukankah Kakek memintamu untuk naik ke kamar?”Aku tak menggubris pertanyaan Kakek. “Aku tak ingin menjadi durhaka karena sudah menjadi tak penurut pada Kakek. Tapi, jika ini soal Mas Tama … maaf, aku gak akan diam saja, Kek.”“Apa maksud kamu, Nak?”Pandanganku penuh tekad, bahkan tak kubiarkan Kakek mengalihkan perhatian dariku. “Selama ini Naina sudah berusaha menjadi cucu yang penurut,” jedaku sambil mengusap pipi. Kutepuk bagian dadaku yang terasa sesak. “Aku bahkan rela meninggalkan tanah air dan juga orang yang aku cintai hanya untuk membuktikan jika aku bisa menjadi apa yang Kakek mau. Tapi, kenapa malah kayak gini, Kek?!”Kakek diam saja. Beliau bahkan tak sedikit pun merubah raut wajahnya, tetap tanpa ekspresi, dan itu membuatku dilanda kecemasan. “Ka
“Sayang, dengerin aku!”“Dengerin apalagi?” Aku menolak ketika Mas Tama meminta untuk melihatnya. “Tinggal ngomong aja apa susahnya, sih!” “Tapi, aku maunya kamu ngeliat aku!”Membuang semua kekecewaan yang ada dalam hati, ku dongakkan kepala. Menatap wajah Mas Tama dengan tak bersemangat. Ibu jarinya seketika mengusap bekas air mataku. “Jangan bersedih, Dear! Apalagi jika alasannya adalah aku … itu semakin membuatku merasa bersalah, Sayang!”“Biarin! Mas emang pantas memiliki perasaan tersebut!” Aku mendengkus entah kesekian kalinya.“Loh, kok?” Kening Mas Tama mengernyit.Aku merotasikan kedua bola mataku malas. “Iyalah! Siapa suruh bikin aku jatuh cinta seperti ini. Sekarang, Mas Tama juga harus tanggung jawablah!” kataku sengit.Mas Tama menggaruk belakang kepalanya. “Aku udah mau bertanggung jawab, Na. Tapi, masih terhalang restu dari kakekmu, Sayang,” kilahnya yang membuatku semakin cemberut.“Y
“Kakek tak menyuruhmu untuk menikah. Tapi, seenggaknya cobalah kamu temui dan mengobrol sebentar saja dengannya!” Pikiranku masih saja terngiang akan permintaan kakek tadi pagi. Entah kenapa, aku begitu sulit untuk menolak, ataupun mengatakan tidak pada beliau. Akan tetapi, hati kecilku jelas menjerit.Meminta keadilan, bahkan kesempatan pada Kakek akan Mas Tama. Tapi, beliau tetap saja diam, justru beliau menyodorkan lelaki lain untuk dikenalkan padaku.Apa itu adil?Apa benar jika Kakek tidak mengetahui bahwa rasa cintaku pada Mas Tama begitu besar?Benarkah Kakek setega itu pada cucunya sendiri? Memisahkan asmara kami yang sedari awal memang sudah ditempa oleh banyak cobaan. Haruskah aku menyerah?Tidak.Mas Tama berjanji akan melakukan apa pun agar hubungan kami kembali bersatu. Namun, aku pun tidak tahu apa rencananya. Ia sama sekali tak memberitahukannya padaku.Shit! Tak bisakah Tuhan berpihak padaku sekali saja? Atau, haruskah aku mati duluan agar Kakek mau menuruti keingina
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu