“Gak panas pun.” Segera kutarik telapak tangan satuku setelah ditempelkan pada kening Mas Tama. Mataku lalu menyipit menatapnya dengan pandangan bertanya. “Mas sehat, kan?”Mas Tama mendengkus geli. “Sehatlah, Dear. Bahkan aku sanggup mengham–”“Bisa diam gak?!” Tanganku langsung membekap mulut Mas Tama. Kedua bola mataku hampir keluar tatkala kata-katanya benar-benar di luar nulur. Kemarin waktu aku berbicara seperti itu, dia protes, bahkan terkesan menganggapku gila. Sekarang … aku menghela napas berat. Kupandangi sekali lagi wajahnya dan kutangkup kedua pipinya.“Apa kamu ingat kata-katamu kemarin, Mas?” tanyaku, mencoba mengingatkan akan apa yang sudah keluar dari mulutnya. Jangan bilang dia lupa! Mas Tama menyingkirkan tanganku dari wajahnya, lalu membawa ke dalam genggaman lembut tangan kami. Aku bingung dan hanya memilih tetap diam. Tatapannya lurus terarah padaku dan aku menemukan kefrustasian di sana.“Aku sudah berusaha menemui kakekmu, tapi beliau tak mengizinkanku untuk
“Buka pintunya sekarang juga!” kata kakek di seberang telepon. Namun, aku seolah bisa mendengar dengan jelas suaranya tepat di sampingku.Sebelum menjawabnya, aku sudah mematikan panggilan beliau. Aku langsung menatap Mas Tama dengan pandangan tak percaya. “Kakek di sini?” tanyaku tanpa suara. “Bisa jadi.” Mas Tama memejamkan mata sebentar, kemudian berdiri sambil merapikan pakaiannya. Sementara diriku, masih duduk diam, shock akan kedatangan tamu tak terduga yang kini berada di balik pintu besi itu.“Tunggu aku, Mas!” Ketika tersadar, aku langsung berlari menyusul Mas Tama yang sudah sampai di ruang tamu. Kugandeng tangan kekasihku yang sama dinginnya seperti milikku. “Aku takut, Mas,” kataku lirih.“Kita hadapi bersama, Sayang!” Aku merasakan tepukan di punggung tanganku, dan itu cara Mas Tama menenangkan kekalutanku akan kedatangan kakek yang begitu tiba-tiba. “Kamu gak akan lepasin aku begitu saja, kan?” tanyaku cepat.“Hm.”Aku melotot. Menarik tangannya yang hendak menekan tom
Apa wajar bagi keluarga perempuan meminta mahar yang begitu banyak pada pihak lelaki? Jika pun ada, paling tidak seberapa. Aku tahu kakek orangnya seperti apa, dan itu jelas adalah alasan beliau saja untuk menggagalkan niat Mas Tama untuk menikahiku.“Aku harap kamu tak mencoba membantu Tama, Na!” Aku melihat pantulan tubuh Kakek dari kaca di hadapan. Kuletakkan sisir yang tadi sempat dipakai di atas meja rias untuk menatap wajahnya yang sama sekali tidak menunjukkan candaan.Entah kesalahan apa yang membuat Kakek begitu gigih ingin aku Mas Tama berpisah, padahal ketika dulu ia begitu merestui kami. Tapi, sekarang justru menentang habis-habisan.Atau, adakah orang yang mempengaruhi Kakek hingga menjadi seperti sekarang? Tapi, siapa? Aku tak begitu mengenal orang-orang terdekatnya. Jadi, pikiranku buntu.“Tapi, Kek–” Aku hendak protes, tetapi lagi-lagi beliau menyela ucapanku.“Gak ada tapi-tapian! Kamu tau jika Kakek tak suka dibantah, kan?”Aku mengumpat dalam hati. Ingin rasanya me
Suara ketukan pintu dari luar membuatku mengalihkan perhatian. Kutatap pintu kaca itu dengan mata membelalak, terkejut. “M-mas Tama,” ujarku tak percaya.“Apa kamu ada di dalam, Sayang?” Suara Mas Tama masih tersengal dan aku pun langsung bergegas menuju pintu. Kubuka pintu itu dengan cepat dan dia langsung memelukku. Ruangan ini terbuat dari kaca satu arah, jadi tidak tembus pandang. Didesain hanya dari dalam saja yang bisa melihat, sedangkan dari luar hanya gelap.“Apa yang kamu lakukan di sini, Mas? Apa kamu baru saja dikejar hantu?” Aku kembali bertanya karena sedari tadi Mas Tama hanya diam saja, dan hanya memelukku erat.“Aku bahagia, Na. Sangat-sangat bahagia,” tuturnya senang tanpa melepaskan pelukan.Keningku mengernyit. “Kenapa?”Mas Tama mengurai pelukan kami, memegang bahuku dengan bibir tersenyum lebar. Aku sanksi jika sedikit lagi bibirnya akan robek. Aish, ngomong apa aku coba. Amit-amit jabang bayi.“Akhirnya, kita bisa menikah, Sayang,” kata Mas Tama semangat Aku ma
“Aku gak setega itu melihat cucu satu-satunya yang yang aku punya terus memarahiku, Na. Lagian, Tama adalah anak yang baik, gigih, dan tentunya menyayangimu. Jadi, menikahlah kalian berdua!”Kata-kata Kakek 2 hari yang lalu masih jelas terngiang-ngiang dalam benakku. Tidak kupungkiri jika aku sempat marah dan menyesal menjadi cucunya waktu itu. Maaf, Kek. Tapi, perbuatan kakek benar-benar membuatku melakukan itu.Namun, di sisi lain aku juga tahu betapa keras usaha kakek menjadikanku sebesar sekarang. Bagaimana pengorbanannya? Lalu, jatuh-bangkit untuk membuat bisnisnya selalu menjadi yang pertama.Terima kasih, Kek. Dan, maaf karena belum bisa menjadi cucu yang berguna buatmu. Tapi, aku janji setelah ini akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Apalagi setelah kakek merestuiku dengan Mas Tama. Hehe, nanti aku akan berikan cicit yang banyak, deh, buat Kakek.Belum lagi semalam, ketika aku akan tidur, kakek datang ke kamar. Mengusap puncak kepalaku dengan tatapan penuh sayang. “Kamu
Satu hari sebelum menikah, aku benar-benar gelisah. Malam ini beberapa temanku menginap di rumah. Niat hati kami ingin begadang, tetapi kakek tiba-tiba datang dan menyuruh kami untuk tidur.Alhasil, aku ditinggal sendiri. Sementara Nadia dan beberapa temanku yang lain sudah terlelap, bahkan saking nyenyaknya mereka mendengkur halus.Apa ini perasaan setiap calon pengantin sebelum menikah? Takut dan juga gugup. Takut jika besok tidak ada yang namanya pernikahan karena pihak lelaki batal datang dengan berbagai macam alasan.Gugup jika diriku akan mengecewakan semua orang karena tiba-tiba ingin menghentikan pernikahan esok hari.Aku mengumpat. Kenapa hatiku makin tak karuan begini, sih? Aku pun bangun, berjalan menuju balkon. Kubuka tirai yang yang menutupi pemandangan, lalu ku geser pintu itu hingga terbuka. Angin pun langsung menyergap kulit tubuhku yang hanya berbalut piyama pendek. Aku melangkah menuju pagar pembatas, menatap ke langit malam yang begitu indah, bertabur bintang.“M
Aku menatap lurus punggung lebar di atas altar itu dengan pandangan haru. Belum apa-apa, mataku sudah berkaca-kaca. Benarkah ini bukan mimpi? Aku tak sedang menghalu bukan? Setiap langkah yang kupijaki sekarang tengah mengantarkanku menuju hidup baru. Kini, aku bukan lagi wanita bebas yang bisa melakukan hal seenak jidat. Ada seseorang yang harus kumingai izin.Orang itu adalah Mas Tama. Lelaki yang kini tengah menitikkan air matanya setelah melihatku. Mas Tama bahkan berjanji pada Kakek akan selalu setia padaku, menemaniku dalam keadaan suka maupun duka, sakit maupun sehat, miskin maupun kaya.Genggaman tangannya membuatku tak bisa untuk tak menangis. Ini bukanlah tangis duka, melainkan bahagia. Akhirnya, kehidupan kami akan segera dimulai. “Kamu adalah tanggung jawabku sekarang, Naina, dan aku berharap kamu bisa mengandalkan diriku sekarang. Kita sama-sama berjuang dalam rumah tangga kita. Apakah kau bersedia?” Aku mengangguk dalam haru. “Aku Naina, bersedia menemanimu dalam kea
“Ah, segarnya,” ujarku ketika baru saja selesai mandi.Setelah hampir seharian berdiri, menyalami para tamu undangan yang jumlahnya lumayan bikin perut melilit, akhirnya aku bisa merasakan kesunyian ini lagi.Aku tersenyum, bersenandung kecil dengan menggunakan bathrobe menuju walk in closet. Namun, mataku langsung melotot shock saat membuka lemari. “What?!”“Arghh!” Aku berteriak. “Apa-apaan ini? Kemana semua bajuku?”Aku mengumpat kala tak menemukan bajuku sama sekali di lemari. Mataku menatap horor sisa pakaian, yang, entahlah bisa disebut pakaian apa tidak. “Apa ini? Lingerie?” Aku menelan kasar, membayangkan memakai baju dinas para istri Sholehah. “Kyaa! Kalau kayak gini nanti yang ada Mas Tama akan langsung menganggapku gila!”Kubuang lingerie berwarna merah darah dengan potongan tali tipis berkain sutra itu ke atas meja. Belum lagi model baby doll yang makin membuatku merana. Aku jongkok, menatap pasrah setiap gaun tidur yang menurutku sangatlah bukan aku banget. Biasanya aku
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu