Suara ketukan pintu dari luar membuatku mengalihkan perhatian. Kutatap pintu kaca itu dengan mata membelalak, terkejut. “M-mas Tama,” ujarku tak percaya.“Apa kamu ada di dalam, Sayang?” Suara Mas Tama masih tersengal dan aku pun langsung bergegas menuju pintu. Kubuka pintu itu dengan cepat dan dia langsung memelukku. Ruangan ini terbuat dari kaca satu arah, jadi tidak tembus pandang. Didesain hanya dari dalam saja yang bisa melihat, sedangkan dari luar hanya gelap.“Apa yang kamu lakukan di sini, Mas? Apa kamu baru saja dikejar hantu?” Aku kembali bertanya karena sedari tadi Mas Tama hanya diam saja, dan hanya memelukku erat.“Aku bahagia, Na. Sangat-sangat bahagia,” tuturnya senang tanpa melepaskan pelukan.Keningku mengernyit. “Kenapa?”Mas Tama mengurai pelukan kami, memegang bahuku dengan bibir tersenyum lebar. Aku sanksi jika sedikit lagi bibirnya akan robek. Aish, ngomong apa aku coba. Amit-amit jabang bayi.“Akhirnya, kita bisa menikah, Sayang,” kata Mas Tama semangat Aku ma
“Aku gak setega itu melihat cucu satu-satunya yang yang aku punya terus memarahiku, Na. Lagian, Tama adalah anak yang baik, gigih, dan tentunya menyayangimu. Jadi, menikahlah kalian berdua!”Kata-kata Kakek 2 hari yang lalu masih jelas terngiang-ngiang dalam benakku. Tidak kupungkiri jika aku sempat marah dan menyesal menjadi cucunya waktu itu. Maaf, Kek. Tapi, perbuatan kakek benar-benar membuatku melakukan itu.Namun, di sisi lain aku juga tahu betapa keras usaha kakek menjadikanku sebesar sekarang. Bagaimana pengorbanannya? Lalu, jatuh-bangkit untuk membuat bisnisnya selalu menjadi yang pertama.Terima kasih, Kek. Dan, maaf karena belum bisa menjadi cucu yang berguna buatmu. Tapi, aku janji setelah ini akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Apalagi setelah kakek merestuiku dengan Mas Tama. Hehe, nanti aku akan berikan cicit yang banyak, deh, buat Kakek.Belum lagi semalam, ketika aku akan tidur, kakek datang ke kamar. Mengusap puncak kepalaku dengan tatapan penuh sayang. “Kamu
Satu hari sebelum menikah, aku benar-benar gelisah. Malam ini beberapa temanku menginap di rumah. Niat hati kami ingin begadang, tetapi kakek tiba-tiba datang dan menyuruh kami untuk tidur.Alhasil, aku ditinggal sendiri. Sementara Nadia dan beberapa temanku yang lain sudah terlelap, bahkan saking nyenyaknya mereka mendengkur halus.Apa ini perasaan setiap calon pengantin sebelum menikah? Takut dan juga gugup. Takut jika besok tidak ada yang namanya pernikahan karena pihak lelaki batal datang dengan berbagai macam alasan.Gugup jika diriku akan mengecewakan semua orang karena tiba-tiba ingin menghentikan pernikahan esok hari.Aku mengumpat. Kenapa hatiku makin tak karuan begini, sih? Aku pun bangun, berjalan menuju balkon. Kubuka tirai yang yang menutupi pemandangan, lalu ku geser pintu itu hingga terbuka. Angin pun langsung menyergap kulit tubuhku yang hanya berbalut piyama pendek. Aku melangkah menuju pagar pembatas, menatap ke langit malam yang begitu indah, bertabur bintang.“M
Aku menatap lurus punggung lebar di atas altar itu dengan pandangan haru. Belum apa-apa, mataku sudah berkaca-kaca. Benarkah ini bukan mimpi? Aku tak sedang menghalu bukan? Setiap langkah yang kupijaki sekarang tengah mengantarkanku menuju hidup baru. Kini, aku bukan lagi wanita bebas yang bisa melakukan hal seenak jidat. Ada seseorang yang harus kumingai izin.Orang itu adalah Mas Tama. Lelaki yang kini tengah menitikkan air matanya setelah melihatku. Mas Tama bahkan berjanji pada Kakek akan selalu setia padaku, menemaniku dalam keadaan suka maupun duka, sakit maupun sehat, miskin maupun kaya.Genggaman tangannya membuatku tak bisa untuk tak menangis. Ini bukanlah tangis duka, melainkan bahagia. Akhirnya, kehidupan kami akan segera dimulai. “Kamu adalah tanggung jawabku sekarang, Naina, dan aku berharap kamu bisa mengandalkan diriku sekarang. Kita sama-sama berjuang dalam rumah tangga kita. Apakah kau bersedia?” Aku mengangguk dalam haru. “Aku Naina, bersedia menemanimu dalam kea
“Ah, segarnya,” ujarku ketika baru saja selesai mandi.Setelah hampir seharian berdiri, menyalami para tamu undangan yang jumlahnya lumayan bikin perut melilit, akhirnya aku bisa merasakan kesunyian ini lagi.Aku tersenyum, bersenandung kecil dengan menggunakan bathrobe menuju walk in closet. Namun, mataku langsung melotot shock saat membuka lemari. “What?!”“Arghh!” Aku berteriak. “Apa-apaan ini? Kemana semua bajuku?”Aku mengumpat kala tak menemukan bajuku sama sekali di lemari. Mataku menatap horor sisa pakaian, yang, entahlah bisa disebut pakaian apa tidak. “Apa ini? Lingerie?” Aku menelan kasar, membayangkan memakai baju dinas para istri Sholehah. “Kyaa! Kalau kayak gini nanti yang ada Mas Tama akan langsung menganggapku gila!”Kubuang lingerie berwarna merah darah dengan potongan tali tipis berkain sutra itu ke atas meja. Belum lagi model baby doll yang makin membuatku merana. Aku jongkok, menatap pasrah setiap gaun tidur yang menurutku sangatlah bukan aku banget. Biasanya aku
Bangun tidur dalam dekapan Kim Taehyung adalah cita-citaku selama ini, tapi itu dulu. Sekarang, lelaki yang ingin selalu kupandangi setiap membuka mata adalah dia, Gartama Wirasesa, suamiku.Aku terkikik geli membayangkannya. Lebay banget kan diriku. Ya, biasalah. Penganten baru makanya kayak gini, bucin dan bikin geli. Apalagi kalau lakinya modelan kaya Mas Tama.Melihat wajah lelapnya bagaikan bayi, adem, dan begitu polos, tetapi tetap ganteng abis. Aku membekap mulut, mencoba menahan kikikanku agar lelaki di hadapanku tak bangun.Sikap narsisme yang kumiliki ini emang suka gak tahu tempat. Jadi, harap dimaklumi.Pandanganku lalu turun ke bagian bahunya yang polos, dan hei! Sejak kapan ada tanda merah di bagian tulang selangkanya? Apa itu aku yang buat? Seriously? Wah, gila, sih! Aku baru tahu jika membuat kissmark ternyata se-se… aish, aku terlalu malu untuk menceritakannya. Pasangan suami-istri pasti tahulah bagaimana rasanya olahraga malam. “Sshhh!” Aku meringis pelan saat mera
Aku linglung, tidak ada suara apa pun yang keluar dari mulut Mas Tama. Perasaan mulai tidak tenang, segera kuintip sekitar dari celah jari-jariku yang berada di depan wajah. “Eh, kok Mas … arghhh! Yakh, kau mengagetkanku, Mas!” Kutepuk bahunya dengan kesal. Aku mendengkus dan sengaja balik badan agar Mas Tama tahu jika aku tengah merajuk.Dia tak tahu saja jika jantung ini hampir copot karena ulahnya. Namun, dua buah tangan tiba-tiba memelukku. Mas Tama tergelak, bahkan bahunya berguncang saking puasnya tertawa di belakang.Haish, bisa banget itu laki satu nyari kesempatan. Aku kan jadi kaget, sekaligus senang. Hehe. Ku balik tubuh ini dan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.Tatapan kami bertemu, tapi segera kutepis pelan tangan Mas Tama yang memegang daguku. Tapi, lagi-lagi bibirnya mengulas senyum.“Kenapa tak membangunkanku, Dear?” tanyanya dengan lembut.Oh, Tuhan. Bagaimana bisa aku merona merah hanya ditatap olehnya? Bahkan aku menggila hanya mendengar suara husky-nya.Se
Haish! "Sumpah, yah! Situ gak on lagi, ‘kan?!" Naina melotot merasakan bagian bawah Tama yang kembali keras. “Arghh, kenapa dirimu mesum banget sih, Mas!”"Aku nggak bisa nahan kalo deket kamu, Sayang." Mas Tama hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia dengan santai tidur menyamping dan menjadikan satu tangannya sebagai tumpuan. Melihatku yang bagaikan Badut Mampang yang sedang mangkal di lampu merah."Tidak!” "Ada apa, Sayang?" tanya Mas Tama panik. Dia hendak beranjak dari atas kasur. Akan tetapi, aku melarangnya. "Jangan mendekat!" teriakku sambil memegang handle pintu. Mataku sudah menatapnya dengan penuh peringatan. Yang tadi pagi aja masih sakit, Cuy. Ya, kali mau digempur lagi. Bisa modar aku nanti yang ada."Kenapa?" Mas Tama mengernyit. Dia sudah duduk di tepi ranjang, menatapku yang sudah blingsatan di pintu. "Aku lapar!" Wajahku memelas, bahkan demi bisa membuat Mas Tama semakin yakin aku mengusap perut datarku. “Aku masih ingin hidup, Mas.