Haish! "Sumpah, yah! Situ gak on lagi, ‘kan?!" Naina melotot merasakan bagian bawah Tama yang kembali keras. “Arghh, kenapa dirimu mesum banget sih, Mas!”"Aku nggak bisa nahan kalo deket kamu, Sayang." Mas Tama hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia dengan santai tidur menyamping dan menjadikan satu tangannya sebagai tumpuan. Melihatku yang bagaikan Badut Mampang yang sedang mangkal di lampu merah."Tidak!” "Ada apa, Sayang?" tanya Mas Tama panik. Dia hendak beranjak dari atas kasur. Akan tetapi, aku melarangnya. "Jangan mendekat!" teriakku sambil memegang handle pintu. Mataku sudah menatapnya dengan penuh peringatan. Yang tadi pagi aja masih sakit, Cuy. Ya, kali mau digempur lagi. Bisa modar aku nanti yang ada."Kenapa?" Mas Tama mengernyit. Dia sudah duduk di tepi ranjang, menatapku yang sudah blingsatan di pintu. "Aku lapar!" Wajahku memelas, bahkan demi bisa membuat Mas Tama semakin yakin aku mengusap perut datarku. “Aku masih ingin hidup, Mas.
Aku berjalan menuju pintu depan sambil menepuk-nepuk tangan ke bagian celana. Sesekali netraku mencari keberadaan Mas Tama, tetapi batang hidungnya tak jua nampak. “Ke mana sih, dia?” Bibirku mengerucut.“Eh! Kok, mati?” Langkahku langsung terhenti ketika lampu tiba-tiba padam. Refleks, aku menjerit, “Mas Tama! Please, deh! Ini gak lucu!”Mataku melihat sekitar dengan perasaan takut. Dengan bibir bawah yang kugigit, aku berusaha mencari pegangan. Namun, kaki ini justru harus menjadi korban karena terantuk meja. “Auw, sakit,” ringisku.Aku mencebik kesal, tapi bibirku mendumel, “jangan-jangan Mas Tama belum bayar listrik lagi? Terus, bagaimana ini?” Nyaliku semakin menciut saat hanya bisa mendapatkan pencahayaan sedikit dari sinar bulan yang menerobos masuk lewat jendela. “Semoga saja itu hantu dan makhluk sejenisnya gak ada yang berani ke sini. Soalnya, aku takut sama mereka,” gumamku.“Mas, kamu di mana? Iki kenapa lampu padam, yah?” Aku mencoba memanggil suamiku lagi. Berharap den
“Tutup mata kamu, Dear!”“Eh, kok?” “Udah, kamu nurut aja!”Aku menghela napas pasrah saat Mas Tama menutup mataku dengan dasinya. “Kapan kamu menyiapkan ini semua, Mas?” tanyaku.“Nadia dan kawan-kawan sudah merencanakam ini semuanggu yang lalu. Dia juga meminta izinku untuk masuk ke apartemen,” jelasnya, “udah. Sekarang waktunya kamu pegang lenganku, Dear!”“Emang kamu mau bawa aku ke.aman, sih, Mas?” Aku menuruti perintahnya, memegang lengan sang suami sambil berjalan di sampingnya. Sebenarnya tulang keringku masih sakit, tapi aku tak mau menggagalkan rencana mas Tama dan juga yang lain. Jadi, selama bisa kutahan, aku rasa itu baik-baik saja.“Hati-hati, Sayang!” “Em.”Suara pintu berderit membuatku berpikir jika di depan sana adalah sebuah ruangan, tetapi sayangnya aku tidak tahu ruangan apa itu. Andai saja aku punya kekuatan yang bisa melihat tanpa membuka mata, tapi bohong.Selama beberapa saat, kami hanya terus berjalan ke depan dengan tanganku yang masih memegang lengannya
“Sebentar!” Mas Tama berjalan pelan ke arah pintu, dan aku mengikuti sambil memegang lengan bajunya. Aku terkekeh dalam hati. Padahal yang punya apartemen kami, tetapi kenapa justru kami yang seperti maling.Ah, sudahlah. Biarkan saja. “Ada gak, Mas?” tanyaku. Aku tak bisa melihat ke luar karena terhalang oleh punggung suamiku. Aku mendengkus karena aroma wanginya benar-benar menggelitik hidung. Pengin meluk.“Sepi,” jawabnya, melihatku dengan tatapan bingung.“Benarkah?” Aku pun menyusup ke depan tubuh sang suami, memastikan apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Tama. “Oh, iya. Kok, mereka gak ada ya, Mas?” Aku menggaruk belakang kepala, bingung.Aku dan Mas Tama memutuskan untuk berjalan keluar kamar, dan memang sudah tidak ada siapa-siapa lagi di sana. Hanya ada sampah makanan dan juga pernak-pernak lain yang belum dibersihkan.“Mungkin mereka tahu jika kita butuh waktu berdua, Sayang.” Mas Tama mencium pipiku, kemudian merangkul pinggangku juga.Alamak.Aku menonjok lengan kekarn
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m