“Ah, segarnya,” ujarku ketika baru saja selesai mandi.Setelah hampir seharian berdiri, menyalami para tamu undangan yang jumlahnya lumayan bikin perut melilit, akhirnya aku bisa merasakan kesunyian ini lagi.Aku tersenyum, bersenandung kecil dengan menggunakan bathrobe menuju walk in closet. Namun, mataku langsung melotot shock saat membuka lemari. “What?!”“Arghh!” Aku berteriak. “Apa-apaan ini? Kemana semua bajuku?”Aku mengumpat kala tak menemukan bajuku sama sekali di lemari. Mataku menatap horor sisa pakaian, yang, entahlah bisa disebut pakaian apa tidak. “Apa ini? Lingerie?” Aku menelan kasar, membayangkan memakai baju dinas para istri Sholehah. “Kyaa! Kalau kayak gini nanti yang ada Mas Tama akan langsung menganggapku gila!”Kubuang lingerie berwarna merah darah dengan potongan tali tipis berkain sutra itu ke atas meja. Belum lagi model baby doll yang makin membuatku merana. Aku jongkok, menatap pasrah setiap gaun tidur yang menurutku sangatlah bukan aku banget. Biasanya aku
Bangun tidur dalam dekapan Kim Taehyung adalah cita-citaku selama ini, tapi itu dulu. Sekarang, lelaki yang ingin selalu kupandangi setiap membuka mata adalah dia, Gartama Wirasesa, suamiku.Aku terkikik geli membayangkannya. Lebay banget kan diriku. Ya, biasalah. Penganten baru makanya kayak gini, bucin dan bikin geli. Apalagi kalau lakinya modelan kaya Mas Tama.Melihat wajah lelapnya bagaikan bayi, adem, dan begitu polos, tetapi tetap ganteng abis. Aku membekap mulut, mencoba menahan kikikanku agar lelaki di hadapanku tak bangun.Sikap narsisme yang kumiliki ini emang suka gak tahu tempat. Jadi, harap dimaklumi.Pandanganku lalu turun ke bagian bahunya yang polos, dan hei! Sejak kapan ada tanda merah di bagian tulang selangkanya? Apa itu aku yang buat? Seriously? Wah, gila, sih! Aku baru tahu jika membuat kissmark ternyata se-se… aish, aku terlalu malu untuk menceritakannya. Pasangan suami-istri pasti tahulah bagaimana rasanya olahraga malam. “Sshhh!” Aku meringis pelan saat mera
Aku linglung, tidak ada suara apa pun yang keluar dari mulut Mas Tama. Perasaan mulai tidak tenang, segera kuintip sekitar dari celah jari-jariku yang berada di depan wajah. “Eh, kok Mas … arghhh! Yakh, kau mengagetkanku, Mas!” Kutepuk bahunya dengan kesal. Aku mendengkus dan sengaja balik badan agar Mas Tama tahu jika aku tengah merajuk.Dia tak tahu saja jika jantung ini hampir copot karena ulahnya. Namun, dua buah tangan tiba-tiba memelukku. Mas Tama tergelak, bahkan bahunya berguncang saking puasnya tertawa di belakang.Haish, bisa banget itu laki satu nyari kesempatan. Aku kan jadi kaget, sekaligus senang. Hehe. Ku balik tubuh ini dan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.Tatapan kami bertemu, tapi segera kutepis pelan tangan Mas Tama yang memegang daguku. Tapi, lagi-lagi bibirnya mengulas senyum.“Kenapa tak membangunkanku, Dear?” tanyanya dengan lembut.Oh, Tuhan. Bagaimana bisa aku merona merah hanya ditatap olehnya? Bahkan aku menggila hanya mendengar suara husky-nya.Se
Haish! "Sumpah, yah! Situ gak on lagi, ‘kan?!" Naina melotot merasakan bagian bawah Tama yang kembali keras. “Arghh, kenapa dirimu mesum banget sih, Mas!”"Aku nggak bisa nahan kalo deket kamu, Sayang." Mas Tama hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia dengan santai tidur menyamping dan menjadikan satu tangannya sebagai tumpuan. Melihatku yang bagaikan Badut Mampang yang sedang mangkal di lampu merah."Tidak!” "Ada apa, Sayang?" tanya Mas Tama panik. Dia hendak beranjak dari atas kasur. Akan tetapi, aku melarangnya. "Jangan mendekat!" teriakku sambil memegang handle pintu. Mataku sudah menatapnya dengan penuh peringatan. Yang tadi pagi aja masih sakit, Cuy. Ya, kali mau digempur lagi. Bisa modar aku nanti yang ada."Kenapa?" Mas Tama mengernyit. Dia sudah duduk di tepi ranjang, menatapku yang sudah blingsatan di pintu. "Aku lapar!" Wajahku memelas, bahkan demi bisa membuat Mas Tama semakin yakin aku mengusap perut datarku. “Aku masih ingin hidup, Mas.
Aku berjalan menuju pintu depan sambil menepuk-nepuk tangan ke bagian celana. Sesekali netraku mencari keberadaan Mas Tama, tetapi batang hidungnya tak jua nampak. “Ke mana sih, dia?” Bibirku mengerucut.“Eh! Kok, mati?” Langkahku langsung terhenti ketika lampu tiba-tiba padam. Refleks, aku menjerit, “Mas Tama! Please, deh! Ini gak lucu!”Mataku melihat sekitar dengan perasaan takut. Dengan bibir bawah yang kugigit, aku berusaha mencari pegangan. Namun, kaki ini justru harus menjadi korban karena terantuk meja. “Auw, sakit,” ringisku.Aku mencebik kesal, tapi bibirku mendumel, “jangan-jangan Mas Tama belum bayar listrik lagi? Terus, bagaimana ini?” Nyaliku semakin menciut saat hanya bisa mendapatkan pencahayaan sedikit dari sinar bulan yang menerobos masuk lewat jendela. “Semoga saja itu hantu dan makhluk sejenisnya gak ada yang berani ke sini. Soalnya, aku takut sama mereka,” gumamku.“Mas, kamu di mana? Iki kenapa lampu padam, yah?” Aku mencoba memanggil suamiku lagi. Berharap den
“Tutup mata kamu, Dear!”“Eh, kok?” “Udah, kamu nurut aja!”Aku menghela napas pasrah saat Mas Tama menutup mataku dengan dasinya. “Kapan kamu menyiapkan ini semua, Mas?” tanyaku.“Nadia dan kawan-kawan sudah merencanakam ini semuanggu yang lalu. Dia juga meminta izinku untuk masuk ke apartemen,” jelasnya, “udah. Sekarang waktunya kamu pegang lenganku, Dear!”“Emang kamu mau bawa aku ke.aman, sih, Mas?” Aku menuruti perintahnya, memegang lengan sang suami sambil berjalan di sampingnya. Sebenarnya tulang keringku masih sakit, tapi aku tak mau menggagalkan rencana mas Tama dan juga yang lain. Jadi, selama bisa kutahan, aku rasa itu baik-baik saja.“Hati-hati, Sayang!” “Em.”Suara pintu berderit membuatku berpikir jika di depan sana adalah sebuah ruangan, tetapi sayangnya aku tidak tahu ruangan apa itu. Andai saja aku punya kekuatan yang bisa melihat tanpa membuka mata, tapi bohong.Selama beberapa saat, kami hanya terus berjalan ke depan dengan tanganku yang masih memegang lengannya
“Sebentar!” Mas Tama berjalan pelan ke arah pintu, dan aku mengikuti sambil memegang lengan bajunya. Aku terkekeh dalam hati. Padahal yang punya apartemen kami, tetapi kenapa justru kami yang seperti maling.Ah, sudahlah. Biarkan saja. “Ada gak, Mas?” tanyaku. Aku tak bisa melihat ke luar karena terhalang oleh punggung suamiku. Aku mendengkus karena aroma wanginya benar-benar menggelitik hidung. Pengin meluk.“Sepi,” jawabnya, melihatku dengan tatapan bingung.“Benarkah?” Aku pun menyusup ke depan tubuh sang suami, memastikan apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Tama. “Oh, iya. Kok, mereka gak ada ya, Mas?” Aku menggaruk belakang kepala, bingung.Aku dan Mas Tama memutuskan untuk berjalan keluar kamar, dan memang sudah tidak ada siapa-siapa lagi di sana. Hanya ada sampah makanan dan juga pernak-pernak lain yang belum dibersihkan.“Mungkin mereka tahu jika kita butuh waktu berdua, Sayang.” Mas Tama mencium pipiku, kemudian merangkul pinggangku juga.Alamak.Aku menonjok lengan kekarn
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu