“Sayang, dengerin aku!”
“Dengerin apalagi?” Aku menolak ketika Mas Tama meminta untuk melihatnya. “Tinggal ngomong aja apa susahnya, sih!”“Tapi, aku maunya kamu ngeliat aku!”Membuang semua kekecewaan yang ada dalam hati, ku dongakkan kepala. Menatap wajah Mas Tama dengan tak bersemangat.Ibu jarinya seketika mengusap bekas air mataku. “Jangan bersedih, Dear! Apalagi jika alasannya adalah aku … itu semakin membuatku merasa bersalah, Sayang!”“Biarin! Mas emang pantas memiliki perasaan tersebut!” Aku mendengkus entah kesekian kalinya.“Loh, kok?” Kening Mas Tama mengernyit.Aku merotasikan kedua bola mataku malas. “Iyalah! Siapa suruh bikin aku jatuh cinta seperti ini. Sekarang, Mas Tama juga harus tanggung jawablah!” kataku sengit.Mas Tama menggaruk belakang kepalanya. “Aku udah mau bertanggung jawab, Na. Tapi, masih terhalang restu dari kakekmu, Sayang,” kilahnya yang membuatku semakin cemberut.“Y“Kakek tak menyuruhmu untuk menikah. Tapi, seenggaknya cobalah kamu temui dan mengobrol sebentar saja dengannya!” Pikiranku masih saja terngiang akan permintaan kakek tadi pagi. Entah kenapa, aku begitu sulit untuk menolak, ataupun mengatakan tidak pada beliau. Akan tetapi, hati kecilku jelas menjerit.Meminta keadilan, bahkan kesempatan pada Kakek akan Mas Tama. Tapi, beliau tetap saja diam, justru beliau menyodorkan lelaki lain untuk dikenalkan padaku.Apa itu adil?Apa benar jika Kakek tidak mengetahui bahwa rasa cintaku pada Mas Tama begitu besar?Benarkah Kakek setega itu pada cucunya sendiri? Memisahkan asmara kami yang sedari awal memang sudah ditempa oleh banyak cobaan. Haruskah aku menyerah?Tidak.Mas Tama berjanji akan melakukan apa pun agar hubungan kami kembali bersatu. Namun, aku pun tidak tahu apa rencananya. Ia sama sekali tak memberitahukannya padaku.Shit! Tak bisakah Tuhan berpihak padaku sekali saja? Atau, haruskah aku mati duluan agar Kakek mau menuruti keingina
“Gak panas pun.” Segera kutarik telapak tangan satuku setelah ditempelkan pada kening Mas Tama. Mataku lalu menyipit menatapnya dengan pandangan bertanya. “Mas sehat, kan?”Mas Tama mendengkus geli. “Sehatlah, Dear. Bahkan aku sanggup mengham–”“Bisa diam gak?!” Tanganku langsung membekap mulut Mas Tama. Kedua bola mataku hampir keluar tatkala kata-katanya benar-benar di luar nulur. Kemarin waktu aku berbicara seperti itu, dia protes, bahkan terkesan menganggapku gila. Sekarang … aku menghela napas berat. Kupandangi sekali lagi wajahnya dan kutangkup kedua pipinya.“Apa kamu ingat kata-katamu kemarin, Mas?” tanyaku, mencoba mengingatkan akan apa yang sudah keluar dari mulutnya. Jangan bilang dia lupa! Mas Tama menyingkirkan tanganku dari wajahnya, lalu membawa ke dalam genggaman lembut tangan kami. Aku bingung dan hanya memilih tetap diam. Tatapannya lurus terarah padaku dan aku menemukan kefrustasian di sana.“Aku sudah berusaha menemui kakekmu, tapi beliau tak mengizinkanku untuk
“Buka pintunya sekarang juga!” kata kakek di seberang telepon. Namun, aku seolah bisa mendengar dengan jelas suaranya tepat di sampingku.Sebelum menjawabnya, aku sudah mematikan panggilan beliau. Aku langsung menatap Mas Tama dengan pandangan tak percaya. “Kakek di sini?” tanyaku tanpa suara. “Bisa jadi.” Mas Tama memejamkan mata sebentar, kemudian berdiri sambil merapikan pakaiannya. Sementara diriku, masih duduk diam, shock akan kedatangan tamu tak terduga yang kini berada di balik pintu besi itu.“Tunggu aku, Mas!” Ketika tersadar, aku langsung berlari menyusul Mas Tama yang sudah sampai di ruang tamu. Kugandeng tangan kekasihku yang sama dinginnya seperti milikku. “Aku takut, Mas,” kataku lirih.“Kita hadapi bersama, Sayang!” Aku merasakan tepukan di punggung tanganku, dan itu cara Mas Tama menenangkan kekalutanku akan kedatangan kakek yang begitu tiba-tiba. “Kamu gak akan lepasin aku begitu saja, kan?” tanyaku cepat.“Hm.”Aku melotot. Menarik tangannya yang hendak menekan tom
Apa wajar bagi keluarga perempuan meminta mahar yang begitu banyak pada pihak lelaki? Jika pun ada, paling tidak seberapa. Aku tahu kakek orangnya seperti apa, dan itu jelas adalah alasan beliau saja untuk menggagalkan niat Mas Tama untuk menikahiku.“Aku harap kamu tak mencoba membantu Tama, Na!” Aku melihat pantulan tubuh Kakek dari kaca di hadapan. Kuletakkan sisir yang tadi sempat dipakai di atas meja rias untuk menatap wajahnya yang sama sekali tidak menunjukkan candaan.Entah kesalahan apa yang membuat Kakek begitu gigih ingin aku Mas Tama berpisah, padahal ketika dulu ia begitu merestui kami. Tapi, sekarang justru menentang habis-habisan.Atau, adakah orang yang mempengaruhi Kakek hingga menjadi seperti sekarang? Tapi, siapa? Aku tak begitu mengenal orang-orang terdekatnya. Jadi, pikiranku buntu.“Tapi, Kek–” Aku hendak protes, tetapi lagi-lagi beliau menyela ucapanku.“Gak ada tapi-tapian! Kamu tau jika Kakek tak suka dibantah, kan?”Aku mengumpat dalam hati. Ingin rasanya me
Suara ketukan pintu dari luar membuatku mengalihkan perhatian. Kutatap pintu kaca itu dengan mata membelalak, terkejut. “M-mas Tama,” ujarku tak percaya.“Apa kamu ada di dalam, Sayang?” Suara Mas Tama masih tersengal dan aku pun langsung bergegas menuju pintu. Kubuka pintu itu dengan cepat dan dia langsung memelukku. Ruangan ini terbuat dari kaca satu arah, jadi tidak tembus pandang. Didesain hanya dari dalam saja yang bisa melihat, sedangkan dari luar hanya gelap.“Apa yang kamu lakukan di sini, Mas? Apa kamu baru saja dikejar hantu?” Aku kembali bertanya karena sedari tadi Mas Tama hanya diam saja, dan hanya memelukku erat.“Aku bahagia, Na. Sangat-sangat bahagia,” tuturnya senang tanpa melepaskan pelukan.Keningku mengernyit. “Kenapa?”Mas Tama mengurai pelukan kami, memegang bahuku dengan bibir tersenyum lebar. Aku sanksi jika sedikit lagi bibirnya akan robek. Aish, ngomong apa aku coba. Amit-amit jabang bayi.“Akhirnya, kita bisa menikah, Sayang,” kata Mas Tama semangat Aku ma
“Aku gak setega itu melihat cucu satu-satunya yang yang aku punya terus memarahiku, Na. Lagian, Tama adalah anak yang baik, gigih, dan tentunya menyayangimu. Jadi, menikahlah kalian berdua!”Kata-kata Kakek 2 hari yang lalu masih jelas terngiang-ngiang dalam benakku. Tidak kupungkiri jika aku sempat marah dan menyesal menjadi cucunya waktu itu. Maaf, Kek. Tapi, perbuatan kakek benar-benar membuatku melakukan itu.Namun, di sisi lain aku juga tahu betapa keras usaha kakek menjadikanku sebesar sekarang. Bagaimana pengorbanannya? Lalu, jatuh-bangkit untuk membuat bisnisnya selalu menjadi yang pertama.Terima kasih, Kek. Dan, maaf karena belum bisa menjadi cucu yang berguna buatmu. Tapi, aku janji setelah ini akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Apalagi setelah kakek merestuiku dengan Mas Tama. Hehe, nanti aku akan berikan cicit yang banyak, deh, buat Kakek.Belum lagi semalam, ketika aku akan tidur, kakek datang ke kamar. Mengusap puncak kepalaku dengan tatapan penuh sayang. “Kamu
Satu hari sebelum menikah, aku benar-benar gelisah. Malam ini beberapa temanku menginap di rumah. Niat hati kami ingin begadang, tetapi kakek tiba-tiba datang dan menyuruh kami untuk tidur.Alhasil, aku ditinggal sendiri. Sementara Nadia dan beberapa temanku yang lain sudah terlelap, bahkan saking nyenyaknya mereka mendengkur halus.Apa ini perasaan setiap calon pengantin sebelum menikah? Takut dan juga gugup. Takut jika besok tidak ada yang namanya pernikahan karena pihak lelaki batal datang dengan berbagai macam alasan.Gugup jika diriku akan mengecewakan semua orang karena tiba-tiba ingin menghentikan pernikahan esok hari.Aku mengumpat. Kenapa hatiku makin tak karuan begini, sih? Aku pun bangun, berjalan menuju balkon. Kubuka tirai yang yang menutupi pemandangan, lalu ku geser pintu itu hingga terbuka. Angin pun langsung menyergap kulit tubuhku yang hanya berbalut piyama pendek. Aku melangkah menuju pagar pembatas, menatap ke langit malam yang begitu indah, bertabur bintang.“M
Aku menatap lurus punggung lebar di atas altar itu dengan pandangan haru. Belum apa-apa, mataku sudah berkaca-kaca. Benarkah ini bukan mimpi? Aku tak sedang menghalu bukan? Setiap langkah yang kupijaki sekarang tengah mengantarkanku menuju hidup baru. Kini, aku bukan lagi wanita bebas yang bisa melakukan hal seenak jidat. Ada seseorang yang harus kumingai izin.Orang itu adalah Mas Tama. Lelaki yang kini tengah menitikkan air matanya setelah melihatku. Mas Tama bahkan berjanji pada Kakek akan selalu setia padaku, menemaniku dalam keadaan suka maupun duka, sakit maupun sehat, miskin maupun kaya.Genggaman tangannya membuatku tak bisa untuk tak menangis. Ini bukanlah tangis duka, melainkan bahagia. Akhirnya, kehidupan kami akan segera dimulai. “Kamu adalah tanggung jawabku sekarang, Naina, dan aku berharap kamu bisa mengandalkan diriku sekarang. Kita sama-sama berjuang dalam rumah tangga kita. Apakah kau bersedia?” Aku mengangguk dalam haru. “Aku Naina, bersedia menemanimu dalam kea