Kini, aku sudah berada di depan kantor Mas Tama, tentunya setelah Kakek memberikanku izin untuk bertemu dengannya. Sengaja aku tak langsung naik ke atas dan meminta satpam untuk memberitahukan padanya jika ada tamu di bawah. Tidak berselang lama, Mas Tama datang. “Sayang, kok kamu gak langsung naik, sih?” Kurasakan pelukan dan juga kecupan manis di puncak kepalaku. Aroma parfumnya langsung merasuk ke indra penciumanku, dan itu selalu membuatku nyaman. Ah, sial! Belum pergi saja aku sudah merindukannya. Sekarang, aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa aku bisa hidup tanpa Mas Tama 2 tahun besok? Atau, apakah Mas Tama akan tetap setia menungguku hingga aku kembali? Lalu, bagaimana jika besok … tidak-tidak. Aku gak bilang banyak berpikiran jelek. Hentikan pikiran bodohmu itu, Naina. Kau hanya akan memperburuk keadaan jika bersikap begini. Come on, semangatlah! Namun, aku tak bisa untuk tak memaki pada keadaan yang selalu saja tak berpihak pada kami. Hatiku yang selembut mar
Sebuah perpisahan adalah hal yang sangat dibenci oleh setiap pasangan kekasih, ataupun suami-istri. Namun, jika memang ada alasan yang mendasarinya, why not? Anggap saja itu takdir. Karena setiap manusia tidak akan mungkin hidup dalam kebahagiaan setiap waktu. Akan selalu ada saat di mana air mata dan emosi menghampiri mereka hingga sulit untuk mencapai sebuah rasa bahagia.Butuh waktu bagi manusia untuk melupakan seseorang yang pernah singgah dalam hatinya. Bisa satu hari? seminggu? Sebulan? Atau, bahkan tahunan? Entahlah. Itu semua tergantung dari berapa lama si insan move on.Sementara, hubunganku dengan Mas Tama sendiri dibilang end, tetapi gak. Dibilang baik-baik saja, tidak juga. Mungkin kami berada di fase tengah-tengah, menggantung bagaikan jemuran tetangga yang enggan untuk diangkat.Awalnya, aku harus menuntut ilmu selama 2 tahun di luar negeri. Akan tetapi, molor dan tambah satu tahun menjadi 3 tahun karena suatu hal.Kini, aku sudah kembali pulang ke tanah kelahiranku, In
Setelah menghabiskan waktu satu jam hanya dengan menangis di kamar. Kini, perutku meronta minta diisi. Hebat bukan diriku? Pada saat seseorang sedang patah hati, galau, atau memiliki masalah maka mereka tak akan bisa menelan makanan barang sedikit pun. Sementara diriku, justru makin gacor buat ngisi perut. Entah sebuah keberuntungan atau memang hanya kebetulan. Tubuhku tak bisa gemuk, walau sudah makan sebakul. Kalau dibilang cacingan sih, gak mungkin. Lah wong aku ngerasa sehat bugar, kok.Aku bangun, mencari di mana keberadaan benda canggih yang berbentuk pipih di sekitar. Ternyata, ponselku ada di atas nakas. Aku segera mengambilnya, lalu mulai menjelajah ke salah satu aplikasi gofood. “Kayaknya nasi goreng spesial enak, deh. Terus, minumnya air mineral aja. Ish, kok ada cake-nya juga, sih? Kan, aku jadi laper mata!” Aku memasukkan beberapa macam cake dan kemudian membayarnya.Selesai dengan makanan, kini aku mulai bangun dari atas ranjang menuju kamar mandi. Mematut kondisi waj
“Naina,” panggil Mas Tama, lirih. Aku langsung melengos, bergegas mengembalikan jas yang sempat aku pegang ke tempat semula. “Sayang, kamu amj ke mana? Hei, jangan tinggalin gue!”“Lepas! Dan bukankah aku sudah bilang ke kamu, kalau kita itu gak ada hubungan apa pun. Jadi, please! Hentikan semua omong kosong mu itu!”“Sayang! Tunggu dulu … Tama!”Aku segera berjalan menjauh dari jangkauan mereka. Kuabaikan keributan yang terjadi di belakang dan kupilih melangkahkan kaki dengan cepat menuju meja kasir. “Tolong gunakan ini!” Sebelum si kasir sempat bertanya, aku langsung meletakkan black card di atas mejanya.“Pakai ini saja!”Aku langsung menoleh padanya. Mataku melotot tak terima saat Mas Tama mengambil kartuku dan mengganti dengan miliknya. “Aku bisa bayar sendiri,” tolakku.Dia tetap diam saja seolah tak terganggu dengan mataku yang menyorot protes padanya. Mas Tama justru sibuk bertransaksi di samping tubuhku. Aku menghela napas pasrah. Jujur, aku sangat merindukannya, bahkan i
Njir, ini laki kenapa makin tua malah makin edan, sih. Apa dia gak tau kalau kelakuannya bikin banyak orang pada kepo? Atau, dia itu sengaja melakukan itu supaya aku berempati kepadanya?Oh, Tuhan. Bagaimana bisa aku mencintai lelaki macam si perjaka tua di depanku, tapi kelakuan masih kek bocil Paud yang hobinya merengek. Aku lelah Bestie!Boleh tuker kehidupan gak sih, Tuhan? Capek, beut, kalau kayak gini.“Bangunlah! Atau, aku gak akan pernah mau memaafkanmu!” Aku balik mengancamnya. Tak kupedulikan lagi tatapannya yang berbinar saat mendengar ucapanku.“Jadi, kamu beneran man maafin aku kan, Na?” tanya Mas Tama, masih gak percaya. Dia lantas berdiri, memegang bahuku dengan mata berbinar cerah.Aku hanya berdeham, menepis tangannya kemudian melangkah terlebih dahulu tanpa memedulikan dia yang terus berjalan di belakangku. Namun, aku juga tidak gak bisa menutupi rasa bahagiaku. Dasar jablay! Baru disenyumin dikit doang aja udah meleleh. Dasar kuampret!Tiba-tiba, tangan Mas Tama s
Gara-gara Mas Tama aku gak bisa tidur. Mataku menolak untuk terpejam dan terus terbuka hingga sekarang, bahkan pada saat jarum jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Asem! Apa tak makin gila diriku? Hanya karena sebuah janji yang entah jadi atau tidak, tetapi aku yang murahan ini justru menjadi tak sabar untuk segera menjemput hari esok.Aku mengerang kesal, menendang-nendang selimut sambil tersenyum seperti orang gila karena ingin bertemu Mas Tama esok malam. “Kya, kenapa aku jadi kek ABG labil gini, sih? Ayolah, Na! Please, sadar!” Aku menepuk pipiku agar segera terbangun dari kegilaan ini, berteriak layaknya Tarzan yang ada di hutan. Aku mendengkus dengan deru napas yang memburu. “Kakek, cucumu butuh suami!” teriakku sambil menatap langit-langit kamar.Namun, bukannya jawaban yang aku dapatkan, melainkan hanya suara krik-krik-krik yang membuat keadaan ruang kamarku makin tidak jelas. Aku lalu memilih duduk dengan rambut yang acak-acakan dan pandangan memelas. Lingkaran mata bahkan s
“Yup. Kamu emang paling tau diriku, Sayang. Karena aku akan berubah gila jika berada di dekatmu,” jawab Mas Tama sambil mengerling.Aku menatapnya horor. “Sumpah, yah! Aku gak tau jika dirimu sekarang berubah makin gila, Mas.”Aku mengibaskan rambut dengan perasaan dongkol. Bagaimana tidak, Mas Tama dengan seenak jidat main injak rem, terus nyelonong nyium pipi aku. Siapa yang gak kaget coba? Untung ini jantung buatan Tuhan. Coba kalau manusia itu sendiri yang buat, palingan udah rontok, dan berceceran di jalanan karena tidak kuat menahan rasa kejut.Mas Tama mengedikkan bahu. “Ya, mau gimana lagi. Butuh kegilaan yang hakiki agar bisa meluluhkan hati cucu Kakek Darman, sih!”“Whatever!” Aku terlalu malas meladeni. Ku palingkan wajah ke arah depan sambil mencibir kelakuan Mas Tama yang semakin absurd, tapi ngangenin.Tuhkan, aku mulai ketularan gila.Mas Tama terkikik, lalu kembali melajukan mobilnya setelah tadi sempat berhenti. Ia bahkan tak berniat melepaskan genggaman tangan kami.
Malam ini aku sudah berdandan cantik. Ya, walaupun tanpa menggunakan riasan aku udah cantik, tetapi aku masih teringat dengan kata-kata Mas Tama tadi yang memintaku untuk berdandan.“Ok, untuk sentuhan terakhir, aku akan memberikan benda dari Kakek” kataku antusias. Kupasan jepit rambut berbentuk kupu-kupu kecil, hadiah khusus yang dibelikan oleh Kakek Darman tahun lalu. Dulu sempat bingung mau dipakai di acara apa, tetapi sekarang aku bisa menggunakannya. “Cha … makin cantikkan aku?” Bibirku mengulas senyum puas.Aku tertawa geli sendiri saat menyadari sikap percaya diriku yang sudah overload. Tapi, mau gimana lagi, itu nyata. Mas Tama saja sampai klepek-klepek jika melihatku, apalagi ketika aku berdandan.Aku terkikik sendiri. Namun, sebuah suara ketukan yang dibarengi dengan panggilan dari bibi di luar pintu membuatku menoleh. “Ada apa, Bi? Apa Mas Tama sudah datang?” Aku bertanya saat melihatnya masuk ke kamar.Bi Marti membungkuk sopan padaku. “Tuan Tama dan keluarga sudah menun