Bayangan akan melakukan hal yang sama sekali tidak pernah kulakukan membuatku merinding, bahkan aku langsung berjengit kaget ketika tangan pria itu menyusup ke belakang kepalaku. Ada rasa asing yang menyelinap masuk ke dalam perasaanku, tetapi membuatku seolah ketagihan. Aku membuka mata dan melihatnya sedang menatapku dengan tatapan sayu dan hal itu menghipnotisku hingga sebuah benda kenyal kembali merangkum bibirku.Kupejamkan mata saat Tama kembali mengabsen isi rongga mulutku. Geli, aneh, tetapi aku suka. Bukankah ini salah? Tapi, kenapa aku tak bisa menghentikannya? Astaga! Sepertinya aku memang benar-benar sudah haus akan belaian pria tua di hadapanku.Ciumannya yang begitu lembut dan tanpa tanpa nafsu ini semakin membuatku terlena. Aku mulai terbuai hingga tanpa sadar tangan ini ikut mengalung indah di belakang kepalanya seolah memintanya memperdalam ciuman kami.Akan tetapi, ketika tangan pria itu mulai menyusup di balik blouse yang kugunakan, aku segera mendorong tubuhnya.
Hari ini adalah hari ke-7 aku menjadi seorang pengangguran. Menyedihkan sekali memang nasibku sekarang. Jika ditanya senang atau tidak menjadi pengangguran maka aku akan menjawab, 50:50. Why? Senangnya aku tidak perlu bertemu dan mengurusi hidupnya si pak tua itu lagi.Kabar buruknya, sekarang rekeningku tidak akan ada yang menyuntikan dan pastinya akan membuat hidupku dua bulan kedepan akan menjadi masa-masa paling suram.Untuk dua bulan ini sih, kehidupanku masih terjamin karena ada uang sisa pesangon. Untuk masalah cicilan apartemenku semua sudah kulunasi kemarin. Bersyukur banget sih aku. Mengingat akan saat di mana waktu itu bernego di kantor satu minggu kemarin, membuatku tertawa. Di mana aku meminta pesangon atas kerja kerasku dan juga kesetiaanku selama mengabdi di perusahaan Wirasesa dan apa yang diberikan oleh Tama?Coba tebak!Jika kalian mengira dia akan memberikanku pesangon puluhan juta salah. Salah besar! Karena kenyataannya dia justru memberikan black card. Iya, Bla
“Aku gak mau!” tolakku keras. Gengsi, dong aku. Masa iya udah minta duit pesangon tiba-tiba balik lagi ke tempat kerja yang kemarin.Sebenarnya sah-sah saja, sih. Tapi, gak elit juga aku balik lagi, padahal baru saja satu Minggu tak bekerja di sana. Nanti, yang ada mereka yang tidak suka denganku semakin mencibir. “Tapi, aku gak bisa kerja seperti ini terus, Na.”Aku tahu, kalau dirimu sudah cukup bergantung denganku. Bukankah aku terlalu percaya diri? Tapi, semua orang juga sudah tahu dan banyak buktinya juga. Di mana Tama yang tidak bisa tanpa aku. Aku tersenyum bangga pada diriku sendiri. Akan tetapi, aku masih punya harga diri untuk menerima ajakan si bos. “Pak–” Belum sempat aku berbicara, tetapi Tama sudah memotong ucapanku. Emang benar-benar ini laki satu. Untung duitnya banyak. Huft.“Bisakah jangan panggil aku Pak! Kita tidak sedang dalam sebuah perjanjian kontrak kerja, Na!”Kalau bukan bapak, atau Pak, mau situ aku panggil kakek? Bibirku cemberut. Aku melengos dan mencib
Kalau nyumpahin bos jadi miskin boleh gak, sih? Gak boleh, yah? Sial! “Naina, bukankah ini cocok buatku?” Aku melirik malas pria yang baru saja keluar dari ruang ganti salah satu butik terkenal dengan mengenakan pakaian yang harganya bikin. Menjerit dompetku. “Perfect!” ujarku tersenyum, tapi setelahnya mencibir. “Mau pakai baju atau gak juga gak bakalan ngaruh di aku, Pak.”“Kamu emang paling tahu aku!” Sebuah kedipan mata ditujukkan untukku dan aku langsung menunduk ngeri. Namun, satu tangan tiba-tiba mengusap rambutku.Aku mendongak dan melihat Tama yang hari ini begitu banyak mengumbar senyum. “Apa kamu udah selesai, Tam?”Pria itu melepaskan jas yang tadi dicobanya, tanpa melepaskan kemeja dan juga celananya. Lah, kok, otakku mulai gila. Lagian gak mungkin juga Tama melakukan itu di sini Naina. Ngaco banget sih itu otak. “Udah, sih. Tinggal bayar aja. Lagian aku juga gak beli banyak,” jawabnya sambil mengedikkan bahu acuh.Whatever! Situ mau beli sama butiknya juga aku gak ped
“Kata-kata itu ‘kan yang kamu ingin dengar dari mulutku? Terlalu klise!” Tama terlihat tertawa sinis.“Apa?” Mata mengerjap kaget. Aku berusaha menyilakan anak rambut agar bisa mendengar dengan jelas ucapan dari pria yang kini tengah menatapku datar. “Maksud kamu apa, Tama?”“Kenapa? Kamu kaget?” Tama mendengkus. “Bukankah aku sudah pernah menyatakan cintaku padamu dua kali. Tapi, kamu tolak, ‘kan? Lalu, kamu berharap aku akan mengatakan itu lagi padamu … hah! Tidak, Naina! Terima kasih.” Wajah Tama seolah-olah mengatakan jika dia kini sudah mulai kesal dan mungkin juga bosan karena pernyataan cintanya tidak pernah aku tanggapi. Jujur, aku sedikit kecewa akan reaksi Tama sekarang. Tapi, aku lebih kecewa lagi dengan diriku sendiri yang masih berharap akan sosoknya yang terus memperjuangkanku. Apa memang ini akhir perjuanganmu untuk menaklukan hatiku, Tama? Entah kenapa aku benci dengan setiap prasangka yang aku rasakan sekarang.Kini, aku menyadari jika tidak semua kata cinta yang ke
Dunia memang tidak kejam kepadaku. Tapi, aku yang memilih kejam kepada diriku sendiri. Setelah 3 hari sejak kejadian di butik itu, aku sama sekali gak mengizinkan diriku terlibat dengan Tama.Bego, ‘kan? Padahal rasa rindu ingin bertemu sudah menggerogoti hatiku. Tapi, lagi-lagi ego dan rasa insecure membuatku menahan semua perasaan itu.“Huhuhu, Papa! Anakmu kangen sama Tama!” Wajahku mendongak dengan wajah memelas ke langit seolah memberitahukan papa jika anaknya tersiksa di sini sendirian.Aku kemudian melirik ke arah benda persegi panjang yang kini tergeletak tak berdaya di atas meja kecil. Diam, seolah tak punya daya hidup, padahal jelas-jelas sudah ‘ku cas tadi. Tapi, percuma juga jika tak ada yang mengirim pesan.“Biasanya juga di pak tua itu juga akan menghubungiku setiap waktu. Tapi, sekarang … jangankan sehari sekali, 3 hari ponselku sudah seperti mayat hidup yang tak terjamah oleh pesan atau panggilan darinya. Ngenes gak, tuh!”Senja di langit sore, kini menemani kesendiria
Pintu besi itu baru saja tertutup. Bukan aku pelakunya, melainkan sosok tamu tak diundang itulah yang melakukan. Setelah aku menyebutkan nominal yang katanya ‘sangat tidak masuk akal’ dia langsung pergi. Aku tersenyum sinis. Bagaimana bisa A-aku disamakan dengan perempuan di luaran sana yang mau mundur hanya karena sebuah uang. Aku mendecih.“Jika aku mau, aku sudah menjadi lintah untuk anakmu, Bu. Selama ini aku bekerja dengan profesional. Tapi, apa balasan yang aku dapat? Kalian justru membuatku harus menjadi pengangguran karena sebuah ambisi.” Aku tersenyum pahit.Kini, aku duduk seorang diri di apartemen. Kusandarkan punggung ini di sofa sambil menatap kosong layar plasma yang dalam keadaan mati.Huftttt.Mataku terpejam dengan tangan memijat bagian pangkal hidung. Kejadian barusan seolah semakin membuatku yakin jika aku bukanlah sosok yang diinginkan oleh keluarga Wirasesa.Aku mendengkus miris. “Wajah cantik, dan pintar tak menjamin jika dirimu akan diterima dalam keluarga merek
Ekspresi Tama seolah sudah menjelaskan jika dirinya kecewa padaku, tapi aku bisa apa, kalau memang sudah ada tembok tinggi menghalangi hubungan kami di jalan. Diteruskan pun hanya akan membuat banyak orang terluka, termasuk aku.Jadi, gak salah, kan, kalau aku menolak cintanya?Atau, aku harus menerimanya dengan berbagai macam aral yang menghadang? “Sial! Kepalaku makin cekot-cekot kalau di rumah terus. Sebaiknya aku pergi, ya, aku harus mencari suasana baru supaya aku tak mati bego di apartemen ini sendiri.” Aku segera bergegas ke kamar.Kepergian Tama beberapa saat yang lalu sudah cukup membuat hariku semakin menggila. Setelah ditawari uang sama emaknya untuk menjauhi Tama, eh, anaknya justru datang dan memintaku untuk menikahinya. Sinting!Aku segera mengganti pakaian yang aku pakai tadi dengan pakaian yang lebih pantas untuk keluar. Walaupun gembel dan pengangguran, aku gak mungkin menampakkan keadaanku di depan orang-orang, dong. Bisa bahagia mereka melihatku semakin kere.Wala