Ekspresi Tama seolah sudah menjelaskan jika dirinya kecewa padaku, tapi aku bisa apa, kalau memang sudah ada tembok tinggi menghalangi hubungan kami di jalan. Diteruskan pun hanya akan membuat banyak orang terluka, termasuk aku.Jadi, gak salah, kan, kalau aku menolak cintanya?Atau, aku harus menerimanya dengan berbagai macam aral yang menghadang? “Sial! Kepalaku makin cekot-cekot kalau di rumah terus. Sebaiknya aku pergi, ya, aku harus mencari suasana baru supaya aku tak mati bego di apartemen ini sendiri.” Aku segera bergegas ke kamar.Kepergian Tama beberapa saat yang lalu sudah cukup membuat hariku semakin menggila. Setelah ditawari uang sama emaknya untuk menjauhi Tama, eh, anaknya justru datang dan memintaku untuk menikahinya. Sinting!Aku segera mengganti pakaian yang aku pakai tadi dengan pakaian yang lebih pantas untuk keluar. Walaupun gembel dan pengangguran, aku gak mungkin menampakkan keadaanku di depan orang-orang, dong. Bisa bahagia mereka melihatku semakin kere.Wala
Gartama Wirasesa. Entah kenapa nama itu terpatri begitu kuat dalam benakku. Apa pun kondisi yang sedang kami hadapi, walau badai menghadang, tanah longsor, nama pria itu selalu ada dalam hatiku. Cih, menjijikan. “Naina, apa kamu baik-baik saja?” Radit bertanya khawatir.Aku mengerjap bingung, lalu saat menyadari ada tangan yang meremas tanganku, segera kutarik. Kurang ajar. “Maaf, Pak. Tadi Anda tanya apa?” Aku berusaha untuk tetap tersenyum, walau dalam hati dongkol.Lagi-lagi dia tersenyum. Aku heran dengan bibirnya, apa dia tidak takut robek karena sedari tadi tidak berhenti tersenyum lebar. “Apa Naina bersedia bekerja denganku?” tanyanya kembali.Oh, itu. Aku meletakkan garpu yang sedari tadi kupegang untuk menusuk-nusuk cake di atas piring. Kini, aku merubah posisi duduk lebih condong ke depan dengan kedua tangan menempel di atas meja. Tidak lupa aku memberikan senyum manis. “Maaf, Pak Radit. Sepertinya saya masih ingin istirahat. Lagipula,” jedaku, menyandarkan punggung ke k
Jika di dunia ini menghalalkan segala macam cara untuk menyantet seseorang, maka aku akan daftarkan nama Gartama Wirasesa. Akan kubuat dia sengsara dan kujadikan kacung yang selalu kutindas. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Aku tertawa bahagia, tapi dalam mimpi. Sial! Aku terbangun dengan perasaan kesal. “Ngapain juga aku ngimpiin itu pak tua? Kayak gak ada laki lain aja. Shit! Bikin ambyar aja pagi-pagi itu orang,” dumelku kesal. Setelah memilih mengabaikan Tama kemarin sore, pria itu justru cosplay menjadi jelmaan setan yang selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Bersyukur dia masih tahu diri hingga tidak ikut masuk ke dalam apartemenku. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa dia harus datang ke dalam mimpi indahku? Mimpi yang harusnya hanya aku dan biasku, Babang Taehyung saja. Tapi, dengan gantengnya dia nyelip di sana.“Arghh! Lama-lama aku bisa gila!” teriakku frustasi sambil menendang-nendang selimut di bawah kaki.Belum reda kesalku, ponsel di bawah bantalku berbunyi.
Semenjak 15 menit yang lalu, kami hanya duduk diam di sofa tanpa melakukan apa pun, selain bernapas. Uap panas dari teh hijau yang aku buat pun kini sudah menghilang. Aku mendesah jengah. “Naina,” panggil Tama lirih. Yaelah, itu orang kenapa, sih? Lemes amat, Pak.Aku hanya berdeham sambil menyeruput teh milikku yang sudah mulai dingin. Tuh, kan? Rasanya udah gak seendul pas hangat. Aku mencebik kesal.“Apa yang kamu lakukan satu minggu ini? Apa kamu pergi?” Tama bertanya. Aku menggeleng. “Aku selalu di apartemen, kok,” jawabku santai, menaruh kembali gelas teh milikku di atas meja. Aku kemudian menggeser gelas miliknya. “Silakan diminum, Pak. Takutnya nanti tehnya udah dingin.” Aku mempersilakan.“Terima kasih.” Tama yang sedari tadi tidak melepaskan pandangannya kini mulai melirik ke arah gelasnya. Untuk sekian detik, dia hanya diam sebelum akhirnya memutuskan untuk menyeruput teh tanpa gula itu. Diam-diam aku melipat bibir, menahan senyum saat kening pria di hadapanku mengerny
Niat hati ingin mengusir Tama keluar setelah keadaan pria itu membaik, tapi kenyataannya pria itu justru demam, dan dia juga terus mengigau, memanggil namaku terus-menerus.Pandanganku beralih ke arah jendela kaca yang memperlihatkan betapa derasnya hujan malam ini, bahkan di beberapa titik terjadi pohon tumbang. Akses ke rumah sakit terdekat pun ditutup sehingga membuatku semakin frustasi.“Haduh, alamat ini mah bakalan begadang,” keluhku sambil memijat pangkal hidung.Kepedulian terhadap sesama akhirnya membuatku mengalah untuk merawat Tama di apartemenku. Sialnya, aku gak memiliki persediaan obat yang memadai. Sudah sedari tadi aku mengompres dahi dan ketiaknya–untuk bagian ini hanya inisiatifku saja, tidak untuk ditiru oleh siapa pun–, tetapi panasnya belum turun juga. Aku bahkan sudah memberikan obat penurun panas dan menempelkan bye-byefiver yang biasa digunakan untuk bayi ketika demam. Namun, usahaku belum juga berhasil. Pria itu terus mengigau hingga membuatku frustasi.“Mas
Katakanlah jika aku ini adalah wanita paling plin-plan di dunia. Paling lemah jika sudah dekat dengan Tama dan paling gak bisa jika sudah berurusan dengan pria tua itu. Huhuhuhu, ingin aku menangis.“Pak!” Aku mendorong tubuh Tama. Melerai tautan bibir kami yang sempat membuatku hilang akal. Menghindar. Ya, aku harus menghindar. “Naina!” Suara Tama terdengar kecewa. Matanya menatapku dengan sorot mata berkabut. “Kenapa kamu pergi?”Heuh, situ kalau ngoceh enak banget. Maaf, yah, Tama. Jiwaku ini selalu udah kek krupuk mlempem yang bakalan makin amem, kalau udah deket sama situ Aku berdiri menuju sofa single dan duduk di sana. “Sebaiknya saya duduk di sini saja, Pak.” Pria itu mencebik. Dia menyugar rambutnya ke belakang dan aku langsung mengumpat. Ganteng bener, njir!“Baiklah. Tapi, aku harap kamu percaya dengan apa yang aku katakan tadi.”“Yang mana?” tanyaku tak fokus.Pria itu menyeringai. “Ah, jadi sedari tadi kamu….” Menaik turunkan matanya seolah menggodaku.“Heuh! Tolong
Aku memandang sinis sosok Liliana yang kini tengah duduk di kursi single. Rambut dan beberapa anak kancing baju bagian atasnya, bahkan hilang entah sudah lari ke mana, aku pun tak peduli. Aku masih kesal padanya. Karena dia, rambutku hampir botak. Mataku kemudian melirik ke arah samping di mana Tama duduk. Pria itu tak beda jauh penampilannya denganku, rambut acak-acakan, dan juga ada bekas cakaran di bagian pipinya.Eh.Kira-kira, tangan siapa itu, yah? Apa aku? Aku menggeleng panik. Netraku lalu melihat ke arah kuku jari yang memang sudah beberapa minggu ini kubiarkan memanjang. Bibirku meringis, pasti aku penyebabnya.“Lili, aku tau jika apa yang sudah aku lakukan ini membuatmu kecewa. Tapi, yang namanya hati itu tidak bisa dipaksa. Aku tidak suka dengan kamu dan aku pun tahu jika kamu tidak menyukaiku—”“Kata siapa? Aku suka sama kamu, Mas Tama. Aku bahkan cinta sama kamu. Bagaimana bisa kamu justru mengira aku tidak mencintaimu,” potong Liliana cepat. Berdebatlah kalian berdua
Sejak kejadian tiga hari yang lalu, aku belum bertemu Tama lagi. Kata Nadia, dia sedang ada pekerjaan di luar kota dan aku sih, bodo amat. Langkahku kini tengah membawaku ke lorong paling ujung rumah sakit, lantai 3. Di mana seseorang sedang terbaring di salah satu ruangan yang membuatku sedih. Ruang Kamboja. Duh, kok, ngerinya. Vibesnya udah kek lagi di kuburan. Namun, yang membedakan di ruang sakit dan kuburan adalah aromanya. Jika di kuburan, ada khas bau tanah bercampur dengan Wangi bunga Kamboja.Brrrr! Tiba-tiba, merinding bulu romaku.Sedang di rumah sakit, wangi semerbak obat-obatan mulai menembus indra penciumanku dan itu membuat hidungku mengerut kurang nyaman.Jujur, aku tidak ada masalah apa pun dengan rumah sakit, atau sejenisnya. Hanya saja, bau pewangi lantai yang khas dan juga bau obat membuatku kurang suka.Sebelumya, ponselku berdering tadi pagi-pagi sekali dan ternyata dari si Nadia. Gile banget itu manusia. Jam 03.00 dini hari dia nelpon, seperti tak ada waktu la