Semenjak 15 menit yang lalu, kami hanya duduk diam di sofa tanpa melakukan apa pun, selain bernapas. Uap panas dari teh hijau yang aku buat pun kini sudah menghilang. Aku mendesah jengah. “Naina,” panggil Tama lirih. Yaelah, itu orang kenapa, sih? Lemes amat, Pak.Aku hanya berdeham sambil menyeruput teh milikku yang sudah mulai dingin. Tuh, kan? Rasanya udah gak seendul pas hangat. Aku mencebik kesal.“Apa yang kamu lakukan satu minggu ini? Apa kamu pergi?” Tama bertanya. Aku menggeleng. “Aku selalu di apartemen, kok,” jawabku santai, menaruh kembali gelas teh milikku di atas meja. Aku kemudian menggeser gelas miliknya. “Silakan diminum, Pak. Takutnya nanti tehnya udah dingin.” Aku mempersilakan.“Terima kasih.” Tama yang sedari tadi tidak melepaskan pandangannya kini mulai melirik ke arah gelasnya. Untuk sekian detik, dia hanya diam sebelum akhirnya memutuskan untuk menyeruput teh tanpa gula itu. Diam-diam aku melipat bibir, menahan senyum saat kening pria di hadapanku mengerny
Niat hati ingin mengusir Tama keluar setelah keadaan pria itu membaik, tapi kenyataannya pria itu justru demam, dan dia juga terus mengigau, memanggil namaku terus-menerus.Pandanganku beralih ke arah jendela kaca yang memperlihatkan betapa derasnya hujan malam ini, bahkan di beberapa titik terjadi pohon tumbang. Akses ke rumah sakit terdekat pun ditutup sehingga membuatku semakin frustasi.“Haduh, alamat ini mah bakalan begadang,” keluhku sambil memijat pangkal hidung.Kepedulian terhadap sesama akhirnya membuatku mengalah untuk merawat Tama di apartemenku. Sialnya, aku gak memiliki persediaan obat yang memadai. Sudah sedari tadi aku mengompres dahi dan ketiaknya–untuk bagian ini hanya inisiatifku saja, tidak untuk ditiru oleh siapa pun–, tetapi panasnya belum turun juga. Aku bahkan sudah memberikan obat penurun panas dan menempelkan bye-byefiver yang biasa digunakan untuk bayi ketika demam. Namun, usahaku belum juga berhasil. Pria itu terus mengigau hingga membuatku frustasi.“Mas
Katakanlah jika aku ini adalah wanita paling plin-plan di dunia. Paling lemah jika sudah dekat dengan Tama dan paling gak bisa jika sudah berurusan dengan pria tua itu. Huhuhuhu, ingin aku menangis.“Pak!” Aku mendorong tubuh Tama. Melerai tautan bibir kami yang sempat membuatku hilang akal. Menghindar. Ya, aku harus menghindar. “Naina!” Suara Tama terdengar kecewa. Matanya menatapku dengan sorot mata berkabut. “Kenapa kamu pergi?”Heuh, situ kalau ngoceh enak banget. Maaf, yah, Tama. Jiwaku ini selalu udah kek krupuk mlempem yang bakalan makin amem, kalau udah deket sama situ Aku berdiri menuju sofa single dan duduk di sana. “Sebaiknya saya duduk di sini saja, Pak.” Pria itu mencebik. Dia menyugar rambutnya ke belakang dan aku langsung mengumpat. Ganteng bener, njir!“Baiklah. Tapi, aku harap kamu percaya dengan apa yang aku katakan tadi.”“Yang mana?” tanyaku tak fokus.Pria itu menyeringai. “Ah, jadi sedari tadi kamu….” Menaik turunkan matanya seolah menggodaku.“Heuh! Tolong
Aku memandang sinis sosok Liliana yang kini tengah duduk di kursi single. Rambut dan beberapa anak kancing baju bagian atasnya, bahkan hilang entah sudah lari ke mana, aku pun tak peduli. Aku masih kesal padanya. Karena dia, rambutku hampir botak. Mataku kemudian melirik ke arah samping di mana Tama duduk. Pria itu tak beda jauh penampilannya denganku, rambut acak-acakan, dan juga ada bekas cakaran di bagian pipinya.Eh.Kira-kira, tangan siapa itu, yah? Apa aku? Aku menggeleng panik. Netraku lalu melihat ke arah kuku jari yang memang sudah beberapa minggu ini kubiarkan memanjang. Bibirku meringis, pasti aku penyebabnya.“Lili, aku tau jika apa yang sudah aku lakukan ini membuatmu kecewa. Tapi, yang namanya hati itu tidak bisa dipaksa. Aku tidak suka dengan kamu dan aku pun tahu jika kamu tidak menyukaiku—”“Kata siapa? Aku suka sama kamu, Mas Tama. Aku bahkan cinta sama kamu. Bagaimana bisa kamu justru mengira aku tidak mencintaimu,” potong Liliana cepat. Berdebatlah kalian berdua
Sejak kejadian tiga hari yang lalu, aku belum bertemu Tama lagi. Kata Nadia, dia sedang ada pekerjaan di luar kota dan aku sih, bodo amat. Langkahku kini tengah membawaku ke lorong paling ujung rumah sakit, lantai 3. Di mana seseorang sedang terbaring di salah satu ruangan yang membuatku sedih. Ruang Kamboja. Duh, kok, ngerinya. Vibesnya udah kek lagi di kuburan. Namun, yang membedakan di ruang sakit dan kuburan adalah aromanya. Jika di kuburan, ada khas bau tanah bercampur dengan Wangi bunga Kamboja.Brrrr! Tiba-tiba, merinding bulu romaku.Sedang di rumah sakit, wangi semerbak obat-obatan mulai menembus indra penciumanku dan itu membuat hidungku mengerut kurang nyaman.Jujur, aku tidak ada masalah apa pun dengan rumah sakit, atau sejenisnya. Hanya saja, bau pewangi lantai yang khas dan juga bau obat membuatku kurang suka.Sebelumya, ponselku berdering tadi pagi-pagi sekali dan ternyata dari si Nadia. Gile banget itu manusia. Jam 03.00 dini hari dia nelpon, seperti tak ada waktu la
Setelah kembali dari kantin untuk membeli kopi, aku memutuskan untuk langsung naik ke atas. Beberapa makanan juga sengaja aku beli untuk Deden dan juga kami ketika menunggu. Namun, belum sempat aku masuk ke dalam lift, suara suster terdengar panik.“Gawat, pasien dengan golongan darah rhesus negatif butuh donor, tapi rumah sakit sama sekali tidak memiliki stok.”“Serius? Wah, gila, sih. Itu adalah salah satu golongan darah yang paling langka dan pastinya jika ada yang memiliki hanya garis keturunannya saja. Terus, apa dokter sudah menghubungi keluarga pasien?”“Nah, masalahnya di situ.”“Maksudnya?” Aku menggigit bibirku ragu sambil tetap menunggu di depan lift. Ketika pintu besi itu terbuka, suara suster kembali menahan langkahku.“Keluarga pasien sudah tidak ada dan kemungkinan pasien itu akan meninggal.”Aku langsung menyentuh bagian dadaku. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku merasakan sakit yang cukup besar saat mendengar kabar tersebut. Siapa orang itu?Aku menoleh ke belakang dan
Miss you too, Tama.Berulang kali aku merapalkan kalimat itu, tapi hanya dalam benakku. Sulit sekali untuk diutarakan lewat mulut. Seolah-olah ada sesuatu yang menyangkut di dalam tenggorokan hingga membuatku sulit untuk berkata.Justru, sebuah kalimat lain yang terucap dari lidahku, “bisakah kamu datang menjemputku nanti siang?”Yakh! Aku berteriak frustasi.“Eh! Serius?” Aku langsung menutup mulut. Ikut terkejut dengan apa yang baru saja terlontar dari bibirku. Kini, yang bisa aku lakukan adalah membenturkan kening ke pagar pembatas berulang kali. “Bego banget, sih. Terus kenapa lagi ini mulut malah ngomong kayak gitu,” gumamku tak habis pikir.“Naina.”Menyesal pun percuma.“Naina, kamu masih ada di sana, ‘kan?”Mendengar pria itu yang berusaha memanggil namaku hingga berulang kali, emmbuat aku segera menempelkan ponsel itu ke teling. Aku berdeham lemas.“Duh, bisa diulang gak sih, ini waktu?” keluhku dalam hati.Terdengar kikikan dari seberang telepon yang pastinya adalah Tama. D
“Gak usah ngaco, deh! Yuk, buruan pergi!” “Yakh, kenapa aku malah ditinggalin?” Diam-diam aku mengulum senyum saat melihat seorang Tama berlari mengejarku. Kapan lagi bisa ngerjain bos yang terkenal menyebalkan dan suka bikin baper. “Kena kau!” “Astaga!” Aku melotot padanya. “Apaan, sih, Tam?!” Apalagi saat dengan seenaknya dia main peluk-peluk diriku. “Iih, lepas, Tama! Malu, banyak orang!” Mataku mengedar ke arah sekitar dengan perasaan canggung. “Kangen!” Bukannya mendengarkan, Tama justru memeluk tubuhku dari belakang. Duh, ini orang kenapa, sih? Kenapa manis banget. Kan, aku jadi baper, njir. “Tapi, gak di sini juga kali, Tama!” Aku tepuk lengannya yang berada di depan perut.Tama melepaskan pelukannya dan menatapku dengan wajah polos. “Kalau begitu, apa aku boleh memelukmu ketika tidak ada orang lain?” Matanya mengedip menggoda.Astaga! Ini laki kenapa, sih, seneng banget bikin hati aku ser-seran. Gak tau apa, ini jantung udah kek habis maraton menghadapi sikapnya yang suka
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu