Setelah kembali dari kantin untuk membeli kopi, aku memutuskan untuk langsung naik ke atas. Beberapa makanan juga sengaja aku beli untuk Deden dan juga kami ketika menunggu. Namun, belum sempat aku masuk ke dalam lift, suara suster terdengar panik.“Gawat, pasien dengan golongan darah rhesus negatif butuh donor, tapi rumah sakit sama sekali tidak memiliki stok.”“Serius? Wah, gila, sih. Itu adalah salah satu golongan darah yang paling langka dan pastinya jika ada yang memiliki hanya garis keturunannya saja. Terus, apa dokter sudah menghubungi keluarga pasien?”“Nah, masalahnya di situ.”“Maksudnya?” Aku menggigit bibirku ragu sambil tetap menunggu di depan lift. Ketika pintu besi itu terbuka, suara suster kembali menahan langkahku.“Keluarga pasien sudah tidak ada dan kemungkinan pasien itu akan meninggal.”Aku langsung menyentuh bagian dadaku. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku merasakan sakit yang cukup besar saat mendengar kabar tersebut. Siapa orang itu?Aku menoleh ke belakang dan
Miss you too, Tama.Berulang kali aku merapalkan kalimat itu, tapi hanya dalam benakku. Sulit sekali untuk diutarakan lewat mulut. Seolah-olah ada sesuatu yang menyangkut di dalam tenggorokan hingga membuatku sulit untuk berkata.Justru, sebuah kalimat lain yang terucap dari lidahku, “bisakah kamu datang menjemputku nanti siang?”Yakh! Aku berteriak frustasi.“Eh! Serius?” Aku langsung menutup mulut. Ikut terkejut dengan apa yang baru saja terlontar dari bibirku. Kini, yang bisa aku lakukan adalah membenturkan kening ke pagar pembatas berulang kali. “Bego banget, sih. Terus kenapa lagi ini mulut malah ngomong kayak gitu,” gumamku tak habis pikir.“Naina.”Menyesal pun percuma.“Naina, kamu masih ada di sana, ‘kan?”Mendengar pria itu yang berusaha memanggil namaku hingga berulang kali, emmbuat aku segera menempelkan ponsel itu ke teling. Aku berdeham lemas.“Duh, bisa diulang gak sih, ini waktu?” keluhku dalam hati.Terdengar kikikan dari seberang telepon yang pastinya adalah Tama. D
“Gak usah ngaco, deh! Yuk, buruan pergi!” “Yakh, kenapa aku malah ditinggalin?” Diam-diam aku mengulum senyum saat melihat seorang Tama berlari mengejarku. Kapan lagi bisa ngerjain bos yang terkenal menyebalkan dan suka bikin baper. “Kena kau!” “Astaga!” Aku melotot padanya. “Apaan, sih, Tam?!” Apalagi saat dengan seenaknya dia main peluk-peluk diriku. “Iih, lepas, Tama! Malu, banyak orang!” Mataku mengedar ke arah sekitar dengan perasaan canggung. “Kangen!” Bukannya mendengarkan, Tama justru memeluk tubuhku dari belakang. Duh, ini orang kenapa, sih? Kenapa manis banget. Kan, aku jadi baper, njir. “Tapi, gak di sini juga kali, Tama!” Aku tepuk lengannya yang berada di depan perut.Tama melepaskan pelukannya dan menatapku dengan wajah polos. “Kalau begitu, apa aku boleh memelukmu ketika tidak ada orang lain?” Matanya mengedip menggoda.Astaga! Ini laki kenapa, sih, seneng banget bikin hati aku ser-seran. Gak tau apa, ini jantung udah kek habis maraton menghadapi sikapnya yang suka
“Udah seminggu aku kembali menjadi makhluk rebahan. Tapi, kenapa hidupku gini-gini aja, yah? Mau kerja, tapi Tama udah wanti-wanti buat gak nerima kerjaan di tempat lain.”Aku menghela napas berat. Kubiarkan kaki ini selonjoran di kursi panjang yang ada di balkon. Suasana senja sore ini benar-benar membuatku ingin sekali pergi ke suatu tempat. “Tapi, ke mana?”Aku mengusap-usap daguku layaknya detektif yang hendak memecahkan kasus, padahal aku hanya sedang berpikir akan menghabiskan waktu weekend dengan siapa.“Nadia … gak mungkin. Dia baru aja ketemu pangeran kodoknya. Bang Kai?” Aku langsung mengibaskan tangan cepat. “Dia baru aja sembuh. Ya, kali aku ajak buat ke pantai. Terus, kira-kira siapa, yah?”“Arghhhh, kenapa hidupku harus jomblo menahun begini, sih?” Aku menjerit frustasi sambil meratapi nasibku yang tidak pernah bahagia,Ketika aku sedang sibuk merenungi nasib, bunyi bel apartemen berulah, maksudku berbunyi. Mataku langsung menatapnya sengit. “Siapa, sih? Gak tau apa kala
Panggilan terputus dan aku masih terdiam. Memegang ponsel sambil menatap wajah lelap Gartama Wirasesa yang terlihat begitu tak tenang dalam tidurnya. Kuusap kerutan di dahinya. Namun, ternyata hal itu justru membuatnya terbangun.“Siapa, Na?” “Oh!” Aku langsung terperanjat kaget saat Tama tiba-tiba berbisik di telingaku. Jarak wajah kami hanya sejengkal dan itu cukup membuatku menunduk malu. “Tuan Surya,” jawabku kemudian.“Papa?” Pria itu langsung beranjak bangun. “Kenapa kamu gak bangunin aku, Na? Terus, papa bilang apa?” Dia terlihat panik.Aku menyodorokan ponsel miliknya. “Maaf, jika aku lancang. Tapi, panggilan itu tak berhenti sedari tadi makanya aku angkat. Aku pikir….” Aku berusaha menjelaskan agar tak terjadi salah paham.Pria itu mendesah lelah sambil memijat kepalanya. Netranya menatap telat ke dalam kedua bola mataku dan aku pun tak sempat mengelak. “Jadi, kamu udah tahu?” Suaranya terdengar begitu lemah dan aku gak suka.Mana Tama yang biasanya bersikap tegas, penuh sem
“Sshhh!” Aku memegang bagian belakang kepalaku yang terasa berdenyut. “Shit! Sakit banget,” keluhku kemudian.“Apa kamu sudah bangun, Naina?”“Eh?” Suara dari arah samping membuatku langsung menoleh. “S-siapa Anda?” Aku menatap ke sekitar. Kosong. Hanya ada kami berdua, lalu pandanganku beralih ke arah tubuhku. Mataku mengerjap kaget saat mendapati jika diriku kini tengah berada di atas ranjang asing. Lantas, aku langsung melonjak mundur. Rasa waspada membuatku berada di ujung kasur. “Kamu gak perlu takut, Nak! Kamu aman berada di sini,” ucap pria tua itu. Aku menggeleng sambil memeluk tubuhku sendiri. “Tolong, jangan apa-apakan saya, Tuan! S-saya ini bukanlah perempuan yang enak dicicipi. S-saya bau, alot, bahkan keras. Terus, saya juga bau lembing, ah, bukan, maksudnya bau kambing.” Aku terus berusaha menjelaskan diriku sendiri di depan pria tua renta di depanku. “Tama, tolongin aku!” batinku menjerit minta tolong. Apalagi, ketika mendengar tawa pria tua renta itu, buku kudukku
Aku duduk dengan perasaan gelisah, sesekali tersenyum kecil saat pandangan mata kami bertemu. Akan tetapi, pria tua di hadapan yang mengaku jika dia adalah kakek dari seorang Naina Kayla Putri terus saja menatapku, membuatku semakin tak tenang.Matanya terus menjelajahi dari kepala hingga ujung kakiku dengan pandangan tak percaya, penuh rindu, bahkan ada air mata yang menggenang di atas pelupuk mata yang kini mulai berkeriput.Benarkah dia kakekku?Aku berdeham untuk menyudahi kecanggungan kami. Kakek Dirman mengerjap, lalu setetes air mata yang sedari tadi menggenang itu jatuh. Membasahi wajahnya yang sudah cukup renta, seolah semua kehidupan pahit dan manis sudah dilaluinya.“Tuan–”“Kakek, Naina! Panggil aku kakek!” sergahnya cepat.Wajahku berusaha untuk terlihat santai, tetapi tidak bisa. Pada dasarnya, rasa penasaran jauh lebih besar di dalam pikiranku sehingga untuk bersikap tak acuh … aku tidak bisa. “Ah, itu … nanti akan aku pikirkan,” jawabku.Kakek Dirman tersenyum pahit.
“Naina?” Mata yang tadinya mengantuk ketika membuka pintu, kini dipaksakan terbuka lebar. “Ada apa? Apa di luar hujan?” Keningnya mengernyit heran. “Terus, kenapa kamu basah semua?” Bukan di luar yang hujan, melainkan di dalam hatiku, Tama. Yah, aku memutuskan untuk langsung mendatangi penthouse milik Tama dalam keadaan basah kuyup. Bodoh.Ya, anggap saja aku bodoh. Fakta itu benar-benar membuatku linglung dan hampir gila.Tama mengernyitkan kening, mungkin dia bertanya-tanya dengan maksud kedatanganku yang serba dadakan ini, apalagi dengan keadaan basah kuyup dan entahlah, aku pun tidak tahu bagaimana rupaku sekarang.Mungkin sudah seperti zombie.“Naina!” panggilnya khawatir.Aku memandangnya tanpa kata hingga lelehan air mata itu sudah cukup membuat pria di hadapan mengetahui jika aku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Apa aku boleh masuk?” tanyaku pada akhirnya.“Dasar bodoh!” makinya. “Masuklah! Nanti kamu bisa ganti bajumu dengan milikku,” sambungnya sambil membuka
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu