Aku duduk dengan perasaan gelisah, sesekali tersenyum kecil saat pandangan mata kami bertemu. Akan tetapi, pria tua di hadapan yang mengaku jika dia adalah kakek dari seorang Naina Kayla Putri terus saja menatapku, membuatku semakin tak tenang.Matanya terus menjelajahi dari kepala hingga ujung kakiku dengan pandangan tak percaya, penuh rindu, bahkan ada air mata yang menggenang di atas pelupuk mata yang kini mulai berkeriput.Benarkah dia kakekku?Aku berdeham untuk menyudahi kecanggungan kami. Kakek Dirman mengerjap, lalu setetes air mata yang sedari tadi menggenang itu jatuh. Membasahi wajahnya yang sudah cukup renta, seolah semua kehidupan pahit dan manis sudah dilaluinya.“Tuan–”“Kakek, Naina! Panggil aku kakek!” sergahnya cepat.Wajahku berusaha untuk terlihat santai, tetapi tidak bisa. Pada dasarnya, rasa penasaran jauh lebih besar di dalam pikiranku sehingga untuk bersikap tak acuh … aku tidak bisa. “Ah, itu … nanti akan aku pikirkan,” jawabku.Kakek Dirman tersenyum pahit.
“Naina?” Mata yang tadinya mengantuk ketika membuka pintu, kini dipaksakan terbuka lebar. “Ada apa? Apa di luar hujan?” Keningnya mengernyit heran. “Terus, kenapa kamu basah semua?” Bukan di luar yang hujan, melainkan di dalam hatiku, Tama. Yah, aku memutuskan untuk langsung mendatangi penthouse milik Tama dalam keadaan basah kuyup. Bodoh.Ya, anggap saja aku bodoh. Fakta itu benar-benar membuatku linglung dan hampir gila.Tama mengernyitkan kening, mungkin dia bertanya-tanya dengan maksud kedatanganku yang serba dadakan ini, apalagi dengan keadaan basah kuyup dan entahlah, aku pun tidak tahu bagaimana rupaku sekarang.Mungkin sudah seperti zombie.“Naina!” panggilnya khawatir.Aku memandangnya tanpa kata hingga lelehan air mata itu sudah cukup membuat pria di hadapan mengetahui jika aku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Apa aku boleh masuk?” tanyaku pada akhirnya.“Dasar bodoh!” makinya. “Masuklah! Nanti kamu bisa ganti bajumu dengan milikku,” sambungnya sambil membuka
Butuh sepuluh menit bagiku untuk bisa memutuskan apa yang aku lakukan sekarang. “Jika aku mengatakan, kalau aku ini adalah cucu dari Tuan Dirman … apa kamu percaya, Tama?”Aku menatap Tama, mata kami bertemu dan terkunci. Namun, seolah tidak ingin berlama-lama dia menunjukku dengan tangan, lalu mengibaskan tangan seolah itu hal yang mustahil. Please, Na! Berharap dia akan percaya dengan omonganmu itu sama saja kamu menyuruh Tama untuk percaya jika Kim Taehyung adalah suamimu.“Come on, Naina! Kalau kamu mau halu itu, gak usah terlalu tinggi. Nanti, kalau jatuh sakit!”Sudah kudugong jika dia akan mengatakan hal itu. “Bangun, Naina!” Tangannya tiba-tiba mendarat dengan enteng di kepalaku. Dia menjitakku.“Ish, Tama!” Aku mendelik padanya. Tidak keras, sih. Tapi, tetap saja itu sangat menyebalkan. Bibirku mengerucut sambil menatapnya dengan sebal. “Kenapa malah memukulku?”Tama tergelak. “Lagian jadi manusia itu gak usah kebanyakan halu. Hidup apa yang ada di sekelilingmu aja. Gak usa
Keesokan paginya, aku berjalan dengan begitu anggun melewati para karyawan Perusahaan Wirasesa. Mereka memandangku dengan berbagai macam reaksi. Ada yang biasa saja sambil lewat, tapi ada pula yang tersenyum menyapaku.“Bukankah Itu Bu Naina? Tapi, kok beliau datang dikawal sama pria berjas, sih?”“Iya, bukankah dia udah dipecat sama Pak Tama, yah?”“Halah, palingan dia ke sini cuma mau godain Pak Tama doang. Duitnya udah habis kali dia makanya dia mau morotin bos kita lagi. Secara dia itu kan cewek kegatelan!”Langkahku berhenti, tepat beberapa meter dari dua karyawati yang tengah sibuk bergunjing tentangku. Aku menengadah, menahan perasaan muak karena sudah dibicarakan di belakang. Aku menelengkan kepalaku risih. “Sumpah, yah. AKu tuh gak nyangka, kalau berita itu masih saja menempel padaku. Padahal, mereka saja tidak mengenalku, tapi kenapa mereka seolah bertingkah jika sudah mengenal luar dalam tentangku,” gumamku.“Ada apa, Nona?” tanya salah satu pengawal di belakangku.“Gak ad
POV TamaKenapa harus aku?Aku merasa seperti tengah dijorokkan ke jurang terdalam oleh orang tuaku sendiri. Jurang yang tak berdasar dan sangat dalam. Suara-suara terdengar di telingaku memecah keheningan pagi ini. Mereka, Papa, Mama, dan kedua orang tua Lili tengah duduk di ruang kerjaku. Membicarakan tentang masa depanku dan masa depan wanita yang kini duduk dengan angkuh di depanku.Aku menyeringai.Pagi yang biasanya selalu kuhadapi dengan semangat kerja yang tinggi. Kini, justru harus diawali dengan kata-kata bujukan, rayuan, hingga ancaman dari mulut-mulut orang di sekitarku.Lucu.“Tama, kamu harus menikah dengan Lili! Jika tidak, kita semua akan berakhir menjadi gelandangan, bahkan semua kemewahan yang biasanya kamu dapat akan raib semua, Nak!” Benarkah itu suara Ibuku? Orang yang sudah melahirkanku? Tapi, kenapa aku seolah tak mengenalnya. Kupandangi wajahnya yang kini terlihat begitu kalut di sampingku.“Ini semua demi kamu, Nak!” bisiknya lagi, memeluk lenganku dengan tat
Pov NainaAku menyunggingkan senyum, lalu berubah terkikik geli saat melihat ekspresinya. “Bisa biasa aja gak, sih?” Tama menatapku, masih dengan mata menyipitnya. “Biasa gimana? Jelas di sini aku tuh lagi bingung, Naina. Jadi, wajar dong, kalau aku ngeliatin kamu kaya gitu!”Aku terkikik sambil menutup mulut. Akan tetapi, yang terjadi selanjutnya dia justru menghadiahiku sentilan di kening. “Oh, why?” Bibirku mengerucut, menatapnya protes sambil mengusap dahi.“Gak usah ngaco, deh! Lagian itu bibir gak usah di maju-majuin gitu. Mau nyamain sama mulutnya si bebek apa gimana, hm?” Tama menarik tanganku dan menggantikannya dengan tangan miliknya. Pria itu mengusapnya dengan lembut. “Mana ada bebek cantiknya kayak aku!” Aku memalingkan wajah saat terus-menerus diperhatikan. Gak tahan, Bray! Aku mengulum senyum saat tangan Tama mengalung di bahuku. “Malu, Tama!” Aku memukul bahunya. Mataku menoleh ke belakang tubuh Tama dan orang-orang itu masih berdiri tegak. Sial!Aku harus ngomong
“Maaf-maaf, emang dia pikir ini lebaran apa, pakai acara minta maaf segala!” Aku yang baru saja sampai di kamar, setelah bertemu dengan Tama kini memilih melepaskan sepatu high heels dan melempar tas kremes yang diberikan oleh kakek dengan asal.“Huhuhu, ternyata begini yah rasanya ditolak?” Aku langsung melempar diriku di atas ranjang empuk, bersprei putih itu. Menyembunyikan wajah kecewa di bawah bantal. “Terus, bagaimana keadaan perusahaan Wirasesa nanti?” Aku menurunkan bantal dari wajahku, menatap langit-langit kamar yang di lagi-lagi berwarna putih. “Argh! Kenapa jadi ribet begini, sih?” Perasaan kesal, bingung, dan entahlah. Aku sendiri gak bisa menggambarkan apa yang aku rasakan sekarang. Mau marah, tapi pada siapa? Ingin memaksa juga itu jelas bukan aku banget.Akhirnya, aku hanya bisa menggaruk-garuk rambutku sendiri hingga berantakan. “Si Tama Kacrut itu emang bener-bener, dah! Aku ajak kawin juga itu orang nanti!” dengkusku, menggigit ujung bantal.Pikiranku lalu kembal
Langkahku kini terasa begitu berat. Jalan yang aku pikir mulus, ternyata menyimpan banyak duri di sisi kiri dan kanannya, bahkan di depan, serta di belakang sudah ada yang siap menungguku lengah.“Kayaknya kisah percintaan ku semakin ke sini, makin ke sono.” Aku menghela napas berat. “Setelah cobaan restu dari orang tua Tama datang, kini jarak juga membuatku dan Tama tak bisa bertemu.”Huhuhu, aku ingin menangis.Aku menoleh, melihat sosok Kakek Dirman yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Keadaanya memang sudah stabil, bahkan dokters juga mengatakan semuanya sudah terlewat dengan baik. Syukurlah.Selama sebulan ini, aku Tidka ke mana-mana, hanya duduk dan menemani Kakek di ruangannya. Sempat heran dengan fasilitas rumah sakit bak hotel berbintang lima.Tapi, walaupun sebagus apa pun, aku tak Sudi untuk kembali lagi ke tempat ini. Mending ke Mall ketahuan refreshing, kalau rumah sakit? Ya, embung.Diam-diam, aku memijat bagian pangkal hidung, berharap dengan itu ra