Pov TamaDua hari setelah pertemuanku dengan Naina, aku dan Papa menemui para investor untuk bertanya keterkaitan mereka menarik saham pada perusahaan kami. Akan tetapi, bukannya sambutan, melainkan pengusiran yang kami dapatkan.Tidak hanya satu orang, melainkan beberapa. Mereka yang dulu datang untuk mendukung, menyanjung kami, kini justru berbalik memusuhi dan mengolok-olok kami.Sungguh tega sekali mereka itu.“Hentikan, Tama!” kata Papa.“Tapi, Pah. Jika kita hanya diam saja, nanti yang ada kita akan terus menjadi bahan ejekan mereka!” Aku mulai meradang. Namun, Papa justru hanya tersenyum kecil dan menepuk bahuku.“Papa udah gak kuat, Nak.” Papa akhirnya tumbang juga. Sedih, kecewa, bingung, geram, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ini keinginanku dan aku harus bisa menanggungnya. Mama bahkan menolak untuk makan, dia juga mendiamkanku. Padahal, di saat seperti sekarang yang aku butuhkan adalah dukungan dari beliau. Tapi, lagi-lagi ini adalah konsekuensi yang harus aku tangg
POV NainaSialan!Aku langsung mendorong tubuh Tama. Mataku menatapnya protes, kemudian melihat ke arah sekitar. Aku menghela napas lega saat tahu pengunjung cafe hari ini tidak begitu banyak. Syukurlah. Namun, aku langsung mencubit pinggang pria itu dan menatapnya penuh peringatan.“Apa sih, Sayang?” Tama langsung cekikikan.Dih. “Najis!” Aku langsung melengos. Namun, siapa sangka pipiku justru terasa panas, merona akan sikapnya yang selalu bisa membuatku tak bisa lama-lama marah. Jujur, aku kaget dan juga bahagia secara bersamaan. Di saat lelaki yang aku pikirkan selama ini akhirnya bisa kutatap langsung tanpa perantara. “Kangen gak?” tanyanya.“Kagak!” balasku cepat. Kagak salah, njir! Mulutku ingin sekali berkata seperti itu, tetapi aku ingat jika kamu sedang tak berada di negeri kami. “Emang kalau kalian udah di Indonesia, kalian mau ngapain? Gulat? Adu panco? Atau main engklek? Huh! Suka ngadi-ngadi emang,” batinku mulai ngawur.“Yahh, padahal aku kangen banget loh, Na.” Waja
Hampir 15 menit kami duduk diam, menikmati pelukan hangat yang memang cukup lama kami gak rasakan. Aroma tubuh Tama akhirnya kembali aku bisa hirup hingga membuat bibirku mengulas senyum cerah. Aku jadi teringat momen di mana kami sedang di ruang kantornya. Sial! Otakku sepertinya mulai konslet gegara udah lama gak ketemu sama dia.“Apa sekarang sudah jauh lebih baik?” Suara Tama kembali menyapa indera pendengaranku.Aku menengadah, menatap wajahnya yang hanya berjarak beberapa centi di hadapanku. Kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban. “Em.” Kini, aku merasa lebih ringan, lebih bisa menerima jika waktu pernah memisahkan kami karena sebuah alasan. “Makan, yuk!” ajak Tama, mengurai pelukan kami.Aku menaikkan alis. “Apa Mas Tama belum makan?”Tama terlihat memalingkan wajah, menggaruk belakang kepala dan jika dia sudah seperti itu, maka sudah kupastikan kalau jawabannya adalah, “belum. Makanya aku mau ngajak kamu makan, Naina!”Dih! Aku mendesah berat. “Apa sesulit itu membuatmu
Tiba di rumah sakit dengan perasaan kosong, aku meletakkan tas atas sofa. Lalu, aku masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dari wastafel. Helaan napasku langsung terembus, menatap pantulan diriku sendiri dengan pandangan kosong.Tanpa sadar, air mataku menetes. Pertemuan yang singkat itu, justru semakin membuatku tenggelam dalam keputusasaan. Break … Tama meminta waktu untuk berpisah. Apa aku sanggup?Lelaki kedua yang aku cintai setelah papa, kini mencoba mengubur impianku untuk hidup bahagia bersamanya. Aku mendongak, menahan laju air mata yang terus-menerus mendesak keluar dari kelenjar mataku. Aku merintih kesakitan dalam sepi, tersenyum pahit akan setiap kata yang diucapkan Tama barusan. “Apa semudah itu kata putus diucapkan oleh sang kekasih? Semudah itukah sebuah hubungan selesai tanpa tujuan?Atau … semudah itu juga pasangan meninggalkan kekasihnya hanya karena sebuah alasan tak berarti. Dan, aku tahu jika semua kejadian ini terjadi karena ada peran penting dari si
Aku berbalik dan seorang lelaki dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan jaket yang disampirkan di tangan, kini berjalan ke arahku sambil tetap menatapku dengan tatapan terkejut. “Hai,” sapaku sambil tersenyum lebar. Kusilakan rambutku ke belakang telinga. Astaga, itu aku? Kok, centil amat!Tama masih menatapku dengan bingung, menoleh ke sana-kemari, dan saat tak mendapati siapa-siapa, akhirnya dia menatapku lagi. “Kenapa kamu bisa ada di sini? Bukankah seharunya kamu masih ada di sana?”Aku berdeham agar tidak gugup. Berjalan menghampiri Tama. “Em, bisakah kita bicara?”Tama mengeluarkan tangan dari saku celananya. Menatapku, wajahnya terlihat lelah dan itu sedikit membuatku bersalah. “Masuklah!” Tama kemudian berjalan mendahuluiku untuk membuka pintu kaca ruko itu. Sementara aku tetap berjalan di belakang, mengikutinya tanpa kata.Kini, kami sudah berada di lantai 1. Duduk di sofa panjang, berdua saja, tetapi dengan jarak yang cukup jauh. Rasanya … kami seperti asing. Tidak, a
Keesokan paginya, aku memaksakan diri untuk bangun, berjalan lunglai menuju kamar mandi dan mulai menanggalkan semua pakaian. Berdiri dibawah pancuran yang langsung membuat tubuhku basah oleh air hangat.15 menit kemudian, aku berjalan keluar kamar mandi. Berpakaian seadanya ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang kesiangan. Secara ini sudah pukul 09.00 WIB. Salahkan saja Tama yang membuatku harus terus memikirkannya semalaman hingga aku baru terlelap pukul 4 dini hari. Emang kampret itu orang!Begitu selesai sarapan roti panggang dengan selai coklat di atasnya, aku menyibukkan diri. Menghubungi Ardian, berbicara dengan Kakek yang masih berada di rumah sakit selama hampir 1jam.Selesai panggilan itu, aku berjalan menuju dispenser, mengisi air ke dalam gelas, tetapi pikiranku kembali ke kejadian tadi malam. “Shit!” Aku mengumpat kala air itu luber dan membasahi lantai.Aku segera mengambil lap dan mengeringkan lantai. Setelah selesai, aku berdiri di konter dapur, bersandar di sana sa
Melewati hari dengan perasaan yang tak tenang itu sungguh menyebalkan. Mau tidur tidak bisa, gelisah tak beralasan, mau makan, tapi tak ada nafsu menelan. Aku menghela napas kasar. Hari sudah malam, pukul 22.00 wib. Namun, rasa kantuk belum juga menggelayuti mataku. Justru, aku merasa segar bugar untuk seseorang yang butuh istirahat.Anjay! Pikiranku kini sedang berkelana jauh di tempat orang yang sepertinya sudah tak peduli padaku. “Cewek baru, eoh?” Satu sudut bibirku tertarik ke atas, menyikapi akan prasangka dalam hatiku akan sosok perempuan cantik di depan lobi supermarket.“Apa aku balik ke Singapura aja, yah?” tanyaku pada udara kosong di depanku. “Tapi, kalau kakek tau aku pulang ke sono dalam keadaan hubungan putus dengan si kampret itu … dia pasti akan kembali mengusirku!”Aku meletakkan tanganku di pinggiran besi pembatas pagar, menatap langit malam yang terlihat mendung. Sampai tetesan air dari langit kini mulai berjatuhan semakin deras, tapi aku memilih untuk tetap stan
Tama memasukkan tangannya ke dalam saku celana, berdiri menghadapku yang bagaikan tersangka pencurian sandal di tempat ibadah. Bibirku mengerut, tak suka dengan keadaan awkward ini.“K-kalau kamu gak mau ngasih tau juga gak apa-apa. I-itu … em … anggap saja kamu gak denger.” Aku tersenyum kaku, lalu memalingkan wajah. Memukul bibirku sendiri karena begitu saja langsung menyerah. Aku ingin menangis sekarang, tapi aku bukan anak kecil lagi yang bisa bebas menangis di segala tempat. Aku terlalu tua untuk menangisi hal yang jelas akan membuatku kehilangan harga diri. Akhirnya, yang kulakukan hanya menggigit bibir. Ingin pergi, tapi mata Tama terus membuatku sulit untuk beranjak.“Ayo dong, ngomong! Jangan cuma diem aja!” batinku gemas dengan kebisuan yang diciptakan oleh Tama. Aku menghela napas. Mengintip wajahnya yang sedari tadi datar bak jalan tol. Eh, tapi mending jalan tol ada belokannya dikit. Itu … ekspresi dia mah udah bener-bener bikin orang sakit perut.Melilit bos perutku