Keesokan paginya, aku memaksakan diri untuk bangun, berjalan lunglai menuju kamar mandi dan mulai menanggalkan semua pakaian. Berdiri dibawah pancuran yang langsung membuat tubuhku basah oleh air hangat.15 menit kemudian, aku berjalan keluar kamar mandi. Berpakaian seadanya ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang kesiangan. Secara ini sudah pukul 09.00 WIB. Salahkan saja Tama yang membuatku harus terus memikirkannya semalaman hingga aku baru terlelap pukul 4 dini hari. Emang kampret itu orang!Begitu selesai sarapan roti panggang dengan selai coklat di atasnya, aku menyibukkan diri. Menghubungi Ardian, berbicara dengan Kakek yang masih berada di rumah sakit selama hampir 1jam.Selesai panggilan itu, aku berjalan menuju dispenser, mengisi air ke dalam gelas, tetapi pikiranku kembali ke kejadian tadi malam. “Shit!” Aku mengumpat kala air itu luber dan membasahi lantai.Aku segera mengambil lap dan mengeringkan lantai. Setelah selesai, aku berdiri di konter dapur, bersandar di sana sa
Melewati hari dengan perasaan yang tak tenang itu sungguh menyebalkan. Mau tidur tidak bisa, gelisah tak beralasan, mau makan, tapi tak ada nafsu menelan. Aku menghela napas kasar. Hari sudah malam, pukul 22.00 wib. Namun, rasa kantuk belum juga menggelayuti mataku. Justru, aku merasa segar bugar untuk seseorang yang butuh istirahat.Anjay! Pikiranku kini sedang berkelana jauh di tempat orang yang sepertinya sudah tak peduli padaku. “Cewek baru, eoh?” Satu sudut bibirku tertarik ke atas, menyikapi akan prasangka dalam hatiku akan sosok perempuan cantik di depan lobi supermarket.“Apa aku balik ke Singapura aja, yah?” tanyaku pada udara kosong di depanku. “Tapi, kalau kakek tau aku pulang ke sono dalam keadaan hubungan putus dengan si kampret itu … dia pasti akan kembali mengusirku!”Aku meletakkan tanganku di pinggiran besi pembatas pagar, menatap langit malam yang terlihat mendung. Sampai tetesan air dari langit kini mulai berjatuhan semakin deras, tapi aku memilih untuk tetap stan
Tama memasukkan tangannya ke dalam saku celana, berdiri menghadapku yang bagaikan tersangka pencurian sandal di tempat ibadah. Bibirku mengerut, tak suka dengan keadaan awkward ini.“K-kalau kamu gak mau ngasih tau juga gak apa-apa. I-itu … em … anggap saja kamu gak denger.” Aku tersenyum kaku, lalu memalingkan wajah. Memukul bibirku sendiri karena begitu saja langsung menyerah. Aku ingin menangis sekarang, tapi aku bukan anak kecil lagi yang bisa bebas menangis di segala tempat. Aku terlalu tua untuk menangisi hal yang jelas akan membuatku kehilangan harga diri. Akhirnya, yang kulakukan hanya menggigit bibir. Ingin pergi, tapi mata Tama terus membuatku sulit untuk beranjak.“Ayo dong, ngomong! Jangan cuma diem aja!” batinku gemas dengan kebisuan yang diciptakan oleh Tama. Aku menghela napas. Mengintip wajahnya yang sedari tadi datar bak jalan tol. Eh, tapi mending jalan tol ada belokannya dikit. Itu … ekspresi dia mah udah bener-bener bikin orang sakit perut.Melilit bos perutku
“A-aku permisi dulu!” Dengan kekuatan angin, aku langsung kabur. Melarikan diri dari rasa malu yang pastinya akan membuatku menyesal seumur hidup. Lingerie dan Tama … oh, itu jelas bukan kombinasi yang pas … ah, pokoknya tidak. Mereka tidak boleh disatukan.Otakku sepertinya sudah mulai gila.Setelah merasa aman, aku berhenti di sebuah lorong sepi, tak ada orang. Tubuhku luruh ke lantai, bersandar pada tembok dengan napas tersengal. “Shit! Sepertinya aku sudah lama tak olahraga. Jadi, baru lari sebentar saja udah engap.” Setelah itu, menyelonjorkan kaki layaknya orang yang baru saja lari maraton. Padahal tidak sampai 1 km, tapi diriku sudah KO. “Argh, capek, anjir!” keluhku.Aku mengipasi tubuh bagian atas ala kadarnya dengan baju yang kupakai. Melihat ke kanan dan kiri, sepi. Berarti aman, aku bisa bernapas lega.Tapi, “Gimana ini? Aku gak punya muka lagi buat ketemu sama Tama,” rutukku kemudian. Memejamkan mata sambil bersandar di tembok, meratapi nasib yang tidak ada ujungnya. “
“Kamu ke mobil dulu, Shel! Biar aku bicara dengan Naina!” “Tapi….”Tama mendorong tubuh Sheila pelan, meminta wanita itu dengan sangat. “Baiklah. Jangan lama-lama!” pinta Sheila manja.Aku sendiri hanya mendengkus, berakting mual ketika melihat kelakuan mereka. Kupalingkan wajah ke arah lain saat Tama memperhatikan, mencibir kelakuan Sheila yang sok cantik. “Huh! Padahal cantikkan aku ke mana-mana,” gumamku sambil mengibaskan rambut.Sebuah tarikan lembut di siku, membuat kami menjadi berdiri saling berhadapan. Ekspresi wajahnya masih datar dan itu sungguh membuatku kesal. “Apa?” tanyaku ketus.“Apa kamu sengaja melakukan itu?” Keningku mengerut. “Melakukan apa?”Ini orang lagi ngomongin apa, sih? Perasaan aku sedari tadi udah diem aja, loh. Yang bikin rusuh kan si onoh tadi. Huh, dasar lelaki gak jelas.“Itu!” Tangan Tama menunjuk wajahku, tepatnya bibirku.Aku mengerjap. “Apa, sih?” Aku menepis tangannya yang dengan seenak jidat mengusap bibirku. Dasar mesum!“Bibir kamu sudah s
Tiga hari kemudian, aku berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang jelas sangat jauh dari kata mewah. Kulihat sekitar yang dipenuhi oleh rumah-rumah warga dengan tipe yang sama, Perumahan Anggrek namanya.Aku tersenyum kelu saat melihat Mama Anggun. Ini jelas sangat berbeda dengan keadaan beberapa bulan lalu di mana sosok yang kini tengah menyiram tanaman masih berpenampilan modis, anggun, dan juga fashionable.Sekarang … wanita itu justru terlihat kuyu, berpenampilan seadanya, make up tipis, dan busana yang dikenakan pun hanya pakaian kebanggaan emak-emak, daster. Aku menghela napas, mencoba mencari keberanian yang sempat berkorbar ketika di apartemen. Namun, ketika melihat sosok Mana Anggun berdiri di depan rumahnya, justru nyaliku menciut.Kedatanganku pun sengaja tidak kuberitahukan pada Tama. Kenapa? Ya, karena aku ingin memperjuangkan cinta kami, apa pun rintangan yang menghadang, aku juga ingin berusaha untuk melewatinya.“Permisi, Tante,” sapaku sopan.Wanita itu menghentik
Cafe pada hari biasa memang tak seramai jika hari weekend. Hanya ada beberapa pengunjung yang tengah bersantai, atau sibuk dengan laptop, dan makanan yang ada di meja.“Apa Bang Kai gila? Mencintai Naina? Huh! Yang bener aja!” Itu adalah suara Nadia dan entah bagaimana bisa Tama pun bersama dengannya. Aku langsung tersenyum, tetapi si Tama Kacrut itu justru melengos. Bibirku langsung cemberut. “Dia gak tau apa kalau aku habis dicecar sama ibu-ibu satu RT,” cibirku malas. Aku langsung menyuapkan satu sendok penuh black forest ke dalam mulutku. Mengunyahnya dengan perasaan jengkel luar biasa, mengacuhkan sapaan Nadia, ataupun mata Bang Kai yang terus tertuju padaku.“Kalian kapan datang?” Suara Bang Kai terdengar basa-basi. Jujur, hari ini aku gak berharap untuk bertemu tiga manusia-manusia di hadapanku. Me time hilang gara-gara ada penyusup waktu yang dengan seenak jidat meng-klaim, menganggap jika seorang single seperti diriku butuh teman untuk bertukar pikiran.Woi, aku gak butuh
Boleh koprol gak, sih?Arghhh! Demi apa Tama ngajak balikan? Sumpah! Ini tuh definisi kebahagiaan yang sesungguhnya. Astaga! Ya, Tuhan. Aku harus jawab apa? Apa aku tolak aja? Gak boleh!Gila aja! Bisa-bisa nanti yang ada dia malah narik lagi ucapannya. Kan, gak lucu baru diajak balikan malah gak jadi gegara aku yang sok jual mahal. Tapi, eh, tapi … ini jantung dugun-dugun banget anjir. Arghhh! Bisa gak sih, gak usah ada tanya jawab, langsung gas balikan lagi.“Naina,” panggil Tama.Duh, mana suara Tama serak-serak basah lagi, njir. Otak aku, tolong yah, jaga pikirannya!“Kamu mau, ‘kan, jadi pacar aku lagi?”Sekarang aku harus jawab apa? Langsung terima, atau harus tarik ulur dulu biar makin lama. Aku menatap wajah Tama yang sudah terlihat frustasi di depan. Aku mengatupkan bibir, mengulum senyum melihat wajahnya yang begitu menggemaskan.Aku bahkan sampai mengabaikan keriuhan yang ada di dalam pikiranku sehingga saling tak bisa mengalihkan pandangan dari dirinya. “Mau sampai k