Tiba di rumah sakit dengan perasaan kosong, aku meletakkan tas atas sofa. Lalu, aku masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dari wastafel. Helaan napasku langsung terembus, menatap pantulan diriku sendiri dengan pandangan kosong.Tanpa sadar, air mataku menetes. Pertemuan yang singkat itu, justru semakin membuatku tenggelam dalam keputusasaan. Break … Tama meminta waktu untuk berpisah. Apa aku sanggup?Lelaki kedua yang aku cintai setelah papa, kini mencoba mengubur impianku untuk hidup bahagia bersamanya. Aku mendongak, menahan laju air mata yang terus-menerus mendesak keluar dari kelenjar mataku. Aku merintih kesakitan dalam sepi, tersenyum pahit akan setiap kata yang diucapkan Tama barusan. “Apa semudah itu kata putus diucapkan oleh sang kekasih? Semudah itukah sebuah hubungan selesai tanpa tujuan?Atau … semudah itu juga pasangan meninggalkan kekasihnya hanya karena sebuah alasan tak berarti. Dan, aku tahu jika semua kejadian ini terjadi karena ada peran penting dari si
Aku berbalik dan seorang lelaki dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan jaket yang disampirkan di tangan, kini berjalan ke arahku sambil tetap menatapku dengan tatapan terkejut. “Hai,” sapaku sambil tersenyum lebar. Kusilakan rambutku ke belakang telinga. Astaga, itu aku? Kok, centil amat!Tama masih menatapku dengan bingung, menoleh ke sana-kemari, dan saat tak mendapati siapa-siapa, akhirnya dia menatapku lagi. “Kenapa kamu bisa ada di sini? Bukankah seharunya kamu masih ada di sana?”Aku berdeham agar tidak gugup. Berjalan menghampiri Tama. “Em, bisakah kita bicara?”Tama mengeluarkan tangan dari saku celananya. Menatapku, wajahnya terlihat lelah dan itu sedikit membuatku bersalah. “Masuklah!” Tama kemudian berjalan mendahuluiku untuk membuka pintu kaca ruko itu. Sementara aku tetap berjalan di belakang, mengikutinya tanpa kata.Kini, kami sudah berada di lantai 1. Duduk di sofa panjang, berdua saja, tetapi dengan jarak yang cukup jauh. Rasanya … kami seperti asing. Tidak, a
Keesokan paginya, aku memaksakan diri untuk bangun, berjalan lunglai menuju kamar mandi dan mulai menanggalkan semua pakaian. Berdiri dibawah pancuran yang langsung membuat tubuhku basah oleh air hangat.15 menit kemudian, aku berjalan keluar kamar mandi. Berpakaian seadanya ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang kesiangan. Secara ini sudah pukul 09.00 WIB. Salahkan saja Tama yang membuatku harus terus memikirkannya semalaman hingga aku baru terlelap pukul 4 dini hari. Emang kampret itu orang!Begitu selesai sarapan roti panggang dengan selai coklat di atasnya, aku menyibukkan diri. Menghubungi Ardian, berbicara dengan Kakek yang masih berada di rumah sakit selama hampir 1jam.Selesai panggilan itu, aku berjalan menuju dispenser, mengisi air ke dalam gelas, tetapi pikiranku kembali ke kejadian tadi malam. “Shit!” Aku mengumpat kala air itu luber dan membasahi lantai.Aku segera mengambil lap dan mengeringkan lantai. Setelah selesai, aku berdiri di konter dapur, bersandar di sana sa
Melewati hari dengan perasaan yang tak tenang itu sungguh menyebalkan. Mau tidur tidak bisa, gelisah tak beralasan, mau makan, tapi tak ada nafsu menelan. Aku menghela napas kasar. Hari sudah malam, pukul 22.00 wib. Namun, rasa kantuk belum juga menggelayuti mataku. Justru, aku merasa segar bugar untuk seseorang yang butuh istirahat.Anjay! Pikiranku kini sedang berkelana jauh di tempat orang yang sepertinya sudah tak peduli padaku. “Cewek baru, eoh?” Satu sudut bibirku tertarik ke atas, menyikapi akan prasangka dalam hatiku akan sosok perempuan cantik di depan lobi supermarket.“Apa aku balik ke Singapura aja, yah?” tanyaku pada udara kosong di depanku. “Tapi, kalau kakek tau aku pulang ke sono dalam keadaan hubungan putus dengan si kampret itu … dia pasti akan kembali mengusirku!”Aku meletakkan tanganku di pinggiran besi pembatas pagar, menatap langit malam yang terlihat mendung. Sampai tetesan air dari langit kini mulai berjatuhan semakin deras, tapi aku memilih untuk tetap stan
Tama memasukkan tangannya ke dalam saku celana, berdiri menghadapku yang bagaikan tersangka pencurian sandal di tempat ibadah. Bibirku mengerut, tak suka dengan keadaan awkward ini.“K-kalau kamu gak mau ngasih tau juga gak apa-apa. I-itu … em … anggap saja kamu gak denger.” Aku tersenyum kaku, lalu memalingkan wajah. Memukul bibirku sendiri karena begitu saja langsung menyerah. Aku ingin menangis sekarang, tapi aku bukan anak kecil lagi yang bisa bebas menangis di segala tempat. Aku terlalu tua untuk menangisi hal yang jelas akan membuatku kehilangan harga diri. Akhirnya, yang kulakukan hanya menggigit bibir. Ingin pergi, tapi mata Tama terus membuatku sulit untuk beranjak.“Ayo dong, ngomong! Jangan cuma diem aja!” batinku gemas dengan kebisuan yang diciptakan oleh Tama. Aku menghela napas. Mengintip wajahnya yang sedari tadi datar bak jalan tol. Eh, tapi mending jalan tol ada belokannya dikit. Itu … ekspresi dia mah udah bener-bener bikin orang sakit perut.Melilit bos perutku
“A-aku permisi dulu!” Dengan kekuatan angin, aku langsung kabur. Melarikan diri dari rasa malu yang pastinya akan membuatku menyesal seumur hidup. Lingerie dan Tama … oh, itu jelas bukan kombinasi yang pas … ah, pokoknya tidak. Mereka tidak boleh disatukan.Otakku sepertinya sudah mulai gila.Setelah merasa aman, aku berhenti di sebuah lorong sepi, tak ada orang. Tubuhku luruh ke lantai, bersandar pada tembok dengan napas tersengal. “Shit! Sepertinya aku sudah lama tak olahraga. Jadi, baru lari sebentar saja udah engap.” Setelah itu, menyelonjorkan kaki layaknya orang yang baru saja lari maraton. Padahal tidak sampai 1 km, tapi diriku sudah KO. “Argh, capek, anjir!” keluhku.Aku mengipasi tubuh bagian atas ala kadarnya dengan baju yang kupakai. Melihat ke kanan dan kiri, sepi. Berarti aman, aku bisa bernapas lega.Tapi, “Gimana ini? Aku gak punya muka lagi buat ketemu sama Tama,” rutukku kemudian. Memejamkan mata sambil bersandar di tembok, meratapi nasib yang tidak ada ujungnya. “
“Kamu ke mobil dulu, Shel! Biar aku bicara dengan Naina!” “Tapi….”Tama mendorong tubuh Sheila pelan, meminta wanita itu dengan sangat. “Baiklah. Jangan lama-lama!” pinta Sheila manja.Aku sendiri hanya mendengkus, berakting mual ketika melihat kelakuan mereka. Kupalingkan wajah ke arah lain saat Tama memperhatikan, mencibir kelakuan Sheila yang sok cantik. “Huh! Padahal cantikkan aku ke mana-mana,” gumamku sambil mengibaskan rambut.Sebuah tarikan lembut di siku, membuat kami menjadi berdiri saling berhadapan. Ekspresi wajahnya masih datar dan itu sungguh membuatku kesal. “Apa?” tanyaku ketus.“Apa kamu sengaja melakukan itu?” Keningku mengerut. “Melakukan apa?”Ini orang lagi ngomongin apa, sih? Perasaan aku sedari tadi udah diem aja, loh. Yang bikin rusuh kan si onoh tadi. Huh, dasar lelaki gak jelas.“Itu!” Tangan Tama menunjuk wajahku, tepatnya bibirku.Aku mengerjap. “Apa, sih?” Aku menepis tangannya yang dengan seenak jidat mengusap bibirku. Dasar mesum!“Bibir kamu sudah s
Tiga hari kemudian, aku berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang jelas sangat jauh dari kata mewah. Kulihat sekitar yang dipenuhi oleh rumah-rumah warga dengan tipe yang sama, Perumahan Anggrek namanya.Aku tersenyum kelu saat melihat Mama Anggun. Ini jelas sangat berbeda dengan keadaan beberapa bulan lalu di mana sosok yang kini tengah menyiram tanaman masih berpenampilan modis, anggun, dan juga fashionable.Sekarang … wanita itu justru terlihat kuyu, berpenampilan seadanya, make up tipis, dan busana yang dikenakan pun hanya pakaian kebanggaan emak-emak, daster. Aku menghela napas, mencoba mencari keberanian yang sempat berkorbar ketika di apartemen. Namun, ketika melihat sosok Mana Anggun berdiri di depan rumahnya, justru nyaliku menciut.Kedatanganku pun sengaja tidak kuberitahukan pada Tama. Kenapa? Ya, karena aku ingin memperjuangkan cinta kami, apa pun rintangan yang menghadang, aku juga ingin berusaha untuk melewatinya.“Permisi, Tante,” sapaku sopan.Wanita itu menghentik