Hampir 15 menit kami duduk diam, menikmati pelukan hangat yang memang cukup lama kami gak rasakan. Aroma tubuh Tama akhirnya kembali aku bisa hirup hingga membuat bibirku mengulas senyum cerah. Aku jadi teringat momen di mana kami sedang di ruang kantornya. Sial! Otakku sepertinya mulai konslet gegara udah lama gak ketemu sama dia.“Apa sekarang sudah jauh lebih baik?” Suara Tama kembali menyapa indera pendengaranku.Aku menengadah, menatap wajahnya yang hanya berjarak beberapa centi di hadapanku. Kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban. “Em.” Kini, aku merasa lebih ringan, lebih bisa menerima jika waktu pernah memisahkan kami karena sebuah alasan. “Makan, yuk!” ajak Tama, mengurai pelukan kami.Aku menaikkan alis. “Apa Mas Tama belum makan?”Tama terlihat memalingkan wajah, menggaruk belakang kepala dan jika dia sudah seperti itu, maka sudah kupastikan kalau jawabannya adalah, “belum. Makanya aku mau ngajak kamu makan, Naina!”Dih! Aku mendesah berat. “Apa sesulit itu membuatmu
Tiba di rumah sakit dengan perasaan kosong, aku meletakkan tas atas sofa. Lalu, aku masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dari wastafel. Helaan napasku langsung terembus, menatap pantulan diriku sendiri dengan pandangan kosong.Tanpa sadar, air mataku menetes. Pertemuan yang singkat itu, justru semakin membuatku tenggelam dalam keputusasaan. Break … Tama meminta waktu untuk berpisah. Apa aku sanggup?Lelaki kedua yang aku cintai setelah papa, kini mencoba mengubur impianku untuk hidup bahagia bersamanya. Aku mendongak, menahan laju air mata yang terus-menerus mendesak keluar dari kelenjar mataku. Aku merintih kesakitan dalam sepi, tersenyum pahit akan setiap kata yang diucapkan Tama barusan. “Apa semudah itu kata putus diucapkan oleh sang kekasih? Semudah itukah sebuah hubungan selesai tanpa tujuan?Atau … semudah itu juga pasangan meninggalkan kekasihnya hanya karena sebuah alasan tak berarti. Dan, aku tahu jika semua kejadian ini terjadi karena ada peran penting dari si
Aku berbalik dan seorang lelaki dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan jaket yang disampirkan di tangan, kini berjalan ke arahku sambil tetap menatapku dengan tatapan terkejut. “Hai,” sapaku sambil tersenyum lebar. Kusilakan rambutku ke belakang telinga. Astaga, itu aku? Kok, centil amat!Tama masih menatapku dengan bingung, menoleh ke sana-kemari, dan saat tak mendapati siapa-siapa, akhirnya dia menatapku lagi. “Kenapa kamu bisa ada di sini? Bukankah seharunya kamu masih ada di sana?”Aku berdeham agar tidak gugup. Berjalan menghampiri Tama. “Em, bisakah kita bicara?”Tama mengeluarkan tangan dari saku celananya. Menatapku, wajahnya terlihat lelah dan itu sedikit membuatku bersalah. “Masuklah!” Tama kemudian berjalan mendahuluiku untuk membuka pintu kaca ruko itu. Sementara aku tetap berjalan di belakang, mengikutinya tanpa kata.Kini, kami sudah berada di lantai 1. Duduk di sofa panjang, berdua saja, tetapi dengan jarak yang cukup jauh. Rasanya … kami seperti asing. Tidak, a
Keesokan paginya, aku memaksakan diri untuk bangun, berjalan lunglai menuju kamar mandi dan mulai menanggalkan semua pakaian. Berdiri dibawah pancuran yang langsung membuat tubuhku basah oleh air hangat.15 menit kemudian, aku berjalan keluar kamar mandi. Berpakaian seadanya ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang kesiangan. Secara ini sudah pukul 09.00 WIB. Salahkan saja Tama yang membuatku harus terus memikirkannya semalaman hingga aku baru terlelap pukul 4 dini hari. Emang kampret itu orang!Begitu selesai sarapan roti panggang dengan selai coklat di atasnya, aku menyibukkan diri. Menghubungi Ardian, berbicara dengan Kakek yang masih berada di rumah sakit selama hampir 1jam.Selesai panggilan itu, aku berjalan menuju dispenser, mengisi air ke dalam gelas, tetapi pikiranku kembali ke kejadian tadi malam. “Shit!” Aku mengumpat kala air itu luber dan membasahi lantai.Aku segera mengambil lap dan mengeringkan lantai. Setelah selesai, aku berdiri di konter dapur, bersandar di sana sa
Melewati hari dengan perasaan yang tak tenang itu sungguh menyebalkan. Mau tidur tidak bisa, gelisah tak beralasan, mau makan, tapi tak ada nafsu menelan. Aku menghela napas kasar. Hari sudah malam, pukul 22.00 wib. Namun, rasa kantuk belum juga menggelayuti mataku. Justru, aku merasa segar bugar untuk seseorang yang butuh istirahat.Anjay! Pikiranku kini sedang berkelana jauh di tempat orang yang sepertinya sudah tak peduli padaku. “Cewek baru, eoh?” Satu sudut bibirku tertarik ke atas, menyikapi akan prasangka dalam hatiku akan sosok perempuan cantik di depan lobi supermarket.“Apa aku balik ke Singapura aja, yah?” tanyaku pada udara kosong di depanku. “Tapi, kalau kakek tau aku pulang ke sono dalam keadaan hubungan putus dengan si kampret itu … dia pasti akan kembali mengusirku!”Aku meletakkan tanganku di pinggiran besi pembatas pagar, menatap langit malam yang terlihat mendung. Sampai tetesan air dari langit kini mulai berjatuhan semakin deras, tapi aku memilih untuk tetap stan
Tama memasukkan tangannya ke dalam saku celana, berdiri menghadapku yang bagaikan tersangka pencurian sandal di tempat ibadah. Bibirku mengerut, tak suka dengan keadaan awkward ini.“K-kalau kamu gak mau ngasih tau juga gak apa-apa. I-itu … em … anggap saja kamu gak denger.” Aku tersenyum kaku, lalu memalingkan wajah. Memukul bibirku sendiri karena begitu saja langsung menyerah. Aku ingin menangis sekarang, tapi aku bukan anak kecil lagi yang bisa bebas menangis di segala tempat. Aku terlalu tua untuk menangisi hal yang jelas akan membuatku kehilangan harga diri. Akhirnya, yang kulakukan hanya menggigit bibir. Ingin pergi, tapi mata Tama terus membuatku sulit untuk beranjak.“Ayo dong, ngomong! Jangan cuma diem aja!” batinku gemas dengan kebisuan yang diciptakan oleh Tama. Aku menghela napas. Mengintip wajahnya yang sedari tadi datar bak jalan tol. Eh, tapi mending jalan tol ada belokannya dikit. Itu … ekspresi dia mah udah bener-bener bikin orang sakit perut.Melilit bos perutku
“A-aku permisi dulu!” Dengan kekuatan angin, aku langsung kabur. Melarikan diri dari rasa malu yang pastinya akan membuatku menyesal seumur hidup. Lingerie dan Tama … oh, itu jelas bukan kombinasi yang pas … ah, pokoknya tidak. Mereka tidak boleh disatukan.Otakku sepertinya sudah mulai gila.Setelah merasa aman, aku berhenti di sebuah lorong sepi, tak ada orang. Tubuhku luruh ke lantai, bersandar pada tembok dengan napas tersengal. “Shit! Sepertinya aku sudah lama tak olahraga. Jadi, baru lari sebentar saja udah engap.” Setelah itu, menyelonjorkan kaki layaknya orang yang baru saja lari maraton. Padahal tidak sampai 1 km, tapi diriku sudah KO. “Argh, capek, anjir!” keluhku.Aku mengipasi tubuh bagian atas ala kadarnya dengan baju yang kupakai. Melihat ke kanan dan kiri, sepi. Berarti aman, aku bisa bernapas lega.Tapi, “Gimana ini? Aku gak punya muka lagi buat ketemu sama Tama,” rutukku kemudian. Memejamkan mata sambil bersandar di tembok, meratapi nasib yang tidak ada ujungnya. “
“Kamu ke mobil dulu, Shel! Biar aku bicara dengan Naina!” “Tapi….”Tama mendorong tubuh Sheila pelan, meminta wanita itu dengan sangat. “Baiklah. Jangan lama-lama!” pinta Sheila manja.Aku sendiri hanya mendengkus, berakting mual ketika melihat kelakuan mereka. Kupalingkan wajah ke arah lain saat Tama memperhatikan, mencibir kelakuan Sheila yang sok cantik. “Huh! Padahal cantikkan aku ke mana-mana,” gumamku sambil mengibaskan rambut.Sebuah tarikan lembut di siku, membuat kami menjadi berdiri saling berhadapan. Ekspresi wajahnya masih datar dan itu sungguh membuatku kesal. “Apa?” tanyaku ketus.“Apa kamu sengaja melakukan itu?” Keningku mengerut. “Melakukan apa?”Ini orang lagi ngomongin apa, sih? Perasaan aku sedari tadi udah diem aja, loh. Yang bikin rusuh kan si onoh tadi. Huh, dasar lelaki gak jelas.“Itu!” Tangan Tama menunjuk wajahku, tepatnya bibirku.Aku mengerjap. “Apa, sih?” Aku menepis tangannya yang dengan seenak jidat mengusap bibirku. Dasar mesum!“Bibir kamu sudah s
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu