Butuh sepuluh menit bagiku untuk bisa memutuskan apa yang aku lakukan sekarang. “Jika aku mengatakan, kalau aku ini adalah cucu dari Tuan Dirman … apa kamu percaya, Tama?”Aku menatap Tama, mata kami bertemu dan terkunci. Namun, seolah tidak ingin berlama-lama dia menunjukku dengan tangan, lalu mengibaskan tangan seolah itu hal yang mustahil. Please, Na! Berharap dia akan percaya dengan omonganmu itu sama saja kamu menyuruh Tama untuk percaya jika Kim Taehyung adalah suamimu.“Come on, Naina! Kalau kamu mau halu itu, gak usah terlalu tinggi. Nanti, kalau jatuh sakit!”Sudah kudugong jika dia akan mengatakan hal itu. “Bangun, Naina!” Tangannya tiba-tiba mendarat dengan enteng di kepalaku. Dia menjitakku.“Ish, Tama!” Aku mendelik padanya. Tidak keras, sih. Tapi, tetap saja itu sangat menyebalkan. Bibirku mengerucut sambil menatapnya dengan sebal. “Kenapa malah memukulku?”Tama tergelak. “Lagian jadi manusia itu gak usah kebanyakan halu. Hidup apa yang ada di sekelilingmu aja. Gak usa
Keesokan paginya, aku berjalan dengan begitu anggun melewati para karyawan Perusahaan Wirasesa. Mereka memandangku dengan berbagai macam reaksi. Ada yang biasa saja sambil lewat, tapi ada pula yang tersenyum menyapaku.“Bukankah Itu Bu Naina? Tapi, kok beliau datang dikawal sama pria berjas, sih?”“Iya, bukankah dia udah dipecat sama Pak Tama, yah?”“Halah, palingan dia ke sini cuma mau godain Pak Tama doang. Duitnya udah habis kali dia makanya dia mau morotin bos kita lagi. Secara dia itu kan cewek kegatelan!”Langkahku berhenti, tepat beberapa meter dari dua karyawati yang tengah sibuk bergunjing tentangku. Aku menengadah, menahan perasaan muak karena sudah dibicarakan di belakang. Aku menelengkan kepalaku risih. “Sumpah, yah. AKu tuh gak nyangka, kalau berita itu masih saja menempel padaku. Padahal, mereka saja tidak mengenalku, tapi kenapa mereka seolah bertingkah jika sudah mengenal luar dalam tentangku,” gumamku.“Ada apa, Nona?” tanya salah satu pengawal di belakangku.“Gak ad
POV TamaKenapa harus aku?Aku merasa seperti tengah dijorokkan ke jurang terdalam oleh orang tuaku sendiri. Jurang yang tak berdasar dan sangat dalam. Suara-suara terdengar di telingaku memecah keheningan pagi ini. Mereka, Papa, Mama, dan kedua orang tua Lili tengah duduk di ruang kerjaku. Membicarakan tentang masa depanku dan masa depan wanita yang kini duduk dengan angkuh di depanku.Aku menyeringai.Pagi yang biasanya selalu kuhadapi dengan semangat kerja yang tinggi. Kini, justru harus diawali dengan kata-kata bujukan, rayuan, hingga ancaman dari mulut-mulut orang di sekitarku.Lucu.“Tama, kamu harus menikah dengan Lili! Jika tidak, kita semua akan berakhir menjadi gelandangan, bahkan semua kemewahan yang biasanya kamu dapat akan raib semua, Nak!” Benarkah itu suara Ibuku? Orang yang sudah melahirkanku? Tapi, kenapa aku seolah tak mengenalnya. Kupandangi wajahnya yang kini terlihat begitu kalut di sampingku.“Ini semua demi kamu, Nak!” bisiknya lagi, memeluk lenganku dengan tat
Pov NainaAku menyunggingkan senyum, lalu berubah terkikik geli saat melihat ekspresinya. “Bisa biasa aja gak, sih?” Tama menatapku, masih dengan mata menyipitnya. “Biasa gimana? Jelas di sini aku tuh lagi bingung, Naina. Jadi, wajar dong, kalau aku ngeliatin kamu kaya gitu!”Aku terkikik sambil menutup mulut. Akan tetapi, yang terjadi selanjutnya dia justru menghadiahiku sentilan di kening. “Oh, why?” Bibirku mengerucut, menatapnya protes sambil mengusap dahi.“Gak usah ngaco, deh! Lagian itu bibir gak usah di maju-majuin gitu. Mau nyamain sama mulutnya si bebek apa gimana, hm?” Tama menarik tanganku dan menggantikannya dengan tangan miliknya. Pria itu mengusapnya dengan lembut. “Mana ada bebek cantiknya kayak aku!” Aku memalingkan wajah saat terus-menerus diperhatikan. Gak tahan, Bray! Aku mengulum senyum saat tangan Tama mengalung di bahuku. “Malu, Tama!” Aku memukul bahunya. Mataku menoleh ke belakang tubuh Tama dan orang-orang itu masih berdiri tegak. Sial!Aku harus ngomong
“Maaf-maaf, emang dia pikir ini lebaran apa, pakai acara minta maaf segala!” Aku yang baru saja sampai di kamar, setelah bertemu dengan Tama kini memilih melepaskan sepatu high heels dan melempar tas kremes yang diberikan oleh kakek dengan asal.“Huhuhu, ternyata begini yah rasanya ditolak?” Aku langsung melempar diriku di atas ranjang empuk, bersprei putih itu. Menyembunyikan wajah kecewa di bawah bantal. “Terus, bagaimana keadaan perusahaan Wirasesa nanti?” Aku menurunkan bantal dari wajahku, menatap langit-langit kamar yang di lagi-lagi berwarna putih. “Argh! Kenapa jadi ribet begini, sih?” Perasaan kesal, bingung, dan entahlah. Aku sendiri gak bisa menggambarkan apa yang aku rasakan sekarang. Mau marah, tapi pada siapa? Ingin memaksa juga itu jelas bukan aku banget.Akhirnya, aku hanya bisa menggaruk-garuk rambutku sendiri hingga berantakan. “Si Tama Kacrut itu emang bener-bener, dah! Aku ajak kawin juga itu orang nanti!” dengkusku, menggigit ujung bantal.Pikiranku lalu kembal
Langkahku kini terasa begitu berat. Jalan yang aku pikir mulus, ternyata menyimpan banyak duri di sisi kiri dan kanannya, bahkan di depan, serta di belakang sudah ada yang siap menungguku lengah.“Kayaknya kisah percintaan ku semakin ke sini, makin ke sono.” Aku menghela napas berat. “Setelah cobaan restu dari orang tua Tama datang, kini jarak juga membuatku dan Tama tak bisa bertemu.”Huhuhu, aku ingin menangis.Aku menoleh, melihat sosok Kakek Dirman yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Keadaanya memang sudah stabil, bahkan dokters juga mengatakan semuanya sudah terlewat dengan baik. Syukurlah.Selama sebulan ini, aku Tidka ke mana-mana, hanya duduk dan menemani Kakek di ruangannya. Sempat heran dengan fasilitas rumah sakit bak hotel berbintang lima.Tapi, walaupun sebagus apa pun, aku tak Sudi untuk kembali lagi ke tempat ini. Mending ke Mall ketahuan refreshing, kalau rumah sakit? Ya, embung.Diam-diam, aku memijat bagian pangkal hidung, berharap dengan itu ra
Pov TamaDua hari setelah pertemuanku dengan Naina, aku dan Papa menemui para investor untuk bertanya keterkaitan mereka menarik saham pada perusahaan kami. Akan tetapi, bukannya sambutan, melainkan pengusiran yang kami dapatkan.Tidak hanya satu orang, melainkan beberapa. Mereka yang dulu datang untuk mendukung, menyanjung kami, kini justru berbalik memusuhi dan mengolok-olok kami.Sungguh tega sekali mereka itu.“Hentikan, Tama!” kata Papa.“Tapi, Pah. Jika kita hanya diam saja, nanti yang ada kita akan terus menjadi bahan ejekan mereka!” Aku mulai meradang. Namun, Papa justru hanya tersenyum kecil dan menepuk bahuku.“Papa udah gak kuat, Nak.” Papa akhirnya tumbang juga. Sedih, kecewa, bingung, geram, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ini keinginanku dan aku harus bisa menanggungnya. Mama bahkan menolak untuk makan, dia juga mendiamkanku. Padahal, di saat seperti sekarang yang aku butuhkan adalah dukungan dari beliau. Tapi, lagi-lagi ini adalah konsekuensi yang harus aku tangg
POV NainaSialan!Aku langsung mendorong tubuh Tama. Mataku menatapnya protes, kemudian melihat ke arah sekitar. Aku menghela napas lega saat tahu pengunjung cafe hari ini tidak begitu banyak. Syukurlah. Namun, aku langsung mencubit pinggang pria itu dan menatapnya penuh peringatan.“Apa sih, Sayang?” Tama langsung cekikikan.Dih. “Najis!” Aku langsung melengos. Namun, siapa sangka pipiku justru terasa panas, merona akan sikapnya yang selalu bisa membuatku tak bisa lama-lama marah. Jujur, aku kaget dan juga bahagia secara bersamaan. Di saat lelaki yang aku pikirkan selama ini akhirnya bisa kutatap langsung tanpa perantara. “Kangen gak?” tanyanya.“Kagak!” balasku cepat. Kagak salah, njir! Mulutku ingin sekali berkata seperti itu, tetapi aku ingat jika kamu sedang tak berada di negeri kami. “Emang kalau kalian udah di Indonesia, kalian mau ngapain? Gulat? Adu panco? Atau main engklek? Huh! Suka ngadi-ngadi emang,” batinku mulai ngawur.“Yahh, padahal aku kangen banget loh, Na.” Waja
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu