“Maaf-maaf, emang dia pikir ini lebaran apa, pakai acara minta maaf segala!” Aku yang baru saja sampai di kamar, setelah bertemu dengan Tama kini memilih melepaskan sepatu high heels dan melempar tas kremes yang diberikan oleh kakek dengan asal.“Huhuhu, ternyata begini yah rasanya ditolak?” Aku langsung melempar diriku di atas ranjang empuk, bersprei putih itu. Menyembunyikan wajah kecewa di bawah bantal. “Terus, bagaimana keadaan perusahaan Wirasesa nanti?” Aku menurunkan bantal dari wajahku, menatap langit-langit kamar yang di lagi-lagi berwarna putih. “Argh! Kenapa jadi ribet begini, sih?” Perasaan kesal, bingung, dan entahlah. Aku sendiri gak bisa menggambarkan apa yang aku rasakan sekarang. Mau marah, tapi pada siapa? Ingin memaksa juga itu jelas bukan aku banget.Akhirnya, aku hanya bisa menggaruk-garuk rambutku sendiri hingga berantakan. “Si Tama Kacrut itu emang bener-bener, dah! Aku ajak kawin juga itu orang nanti!” dengkusku, menggigit ujung bantal.Pikiranku lalu kembal
Langkahku kini terasa begitu berat. Jalan yang aku pikir mulus, ternyata menyimpan banyak duri di sisi kiri dan kanannya, bahkan di depan, serta di belakang sudah ada yang siap menungguku lengah.“Kayaknya kisah percintaan ku semakin ke sini, makin ke sono.” Aku menghela napas berat. “Setelah cobaan restu dari orang tua Tama datang, kini jarak juga membuatku dan Tama tak bisa bertemu.”Huhuhu, aku ingin menangis.Aku menoleh, melihat sosok Kakek Dirman yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Keadaanya memang sudah stabil, bahkan dokters juga mengatakan semuanya sudah terlewat dengan baik. Syukurlah.Selama sebulan ini, aku Tidka ke mana-mana, hanya duduk dan menemani Kakek di ruangannya. Sempat heran dengan fasilitas rumah sakit bak hotel berbintang lima.Tapi, walaupun sebagus apa pun, aku tak Sudi untuk kembali lagi ke tempat ini. Mending ke Mall ketahuan refreshing, kalau rumah sakit? Ya, embung.Diam-diam, aku memijat bagian pangkal hidung, berharap dengan itu ra
Pov TamaDua hari setelah pertemuanku dengan Naina, aku dan Papa menemui para investor untuk bertanya keterkaitan mereka menarik saham pada perusahaan kami. Akan tetapi, bukannya sambutan, melainkan pengusiran yang kami dapatkan.Tidak hanya satu orang, melainkan beberapa. Mereka yang dulu datang untuk mendukung, menyanjung kami, kini justru berbalik memusuhi dan mengolok-olok kami.Sungguh tega sekali mereka itu.“Hentikan, Tama!” kata Papa.“Tapi, Pah. Jika kita hanya diam saja, nanti yang ada kita akan terus menjadi bahan ejekan mereka!” Aku mulai meradang. Namun, Papa justru hanya tersenyum kecil dan menepuk bahuku.“Papa udah gak kuat, Nak.” Papa akhirnya tumbang juga. Sedih, kecewa, bingung, geram, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ini keinginanku dan aku harus bisa menanggungnya. Mama bahkan menolak untuk makan, dia juga mendiamkanku. Padahal, di saat seperti sekarang yang aku butuhkan adalah dukungan dari beliau. Tapi, lagi-lagi ini adalah konsekuensi yang harus aku tangg
POV NainaSialan!Aku langsung mendorong tubuh Tama. Mataku menatapnya protes, kemudian melihat ke arah sekitar. Aku menghela napas lega saat tahu pengunjung cafe hari ini tidak begitu banyak. Syukurlah. Namun, aku langsung mencubit pinggang pria itu dan menatapnya penuh peringatan.“Apa sih, Sayang?” Tama langsung cekikikan.Dih. “Najis!” Aku langsung melengos. Namun, siapa sangka pipiku justru terasa panas, merona akan sikapnya yang selalu bisa membuatku tak bisa lama-lama marah. Jujur, aku kaget dan juga bahagia secara bersamaan. Di saat lelaki yang aku pikirkan selama ini akhirnya bisa kutatap langsung tanpa perantara. “Kangen gak?” tanyanya.“Kagak!” balasku cepat. Kagak salah, njir! Mulutku ingin sekali berkata seperti itu, tetapi aku ingat jika kamu sedang tak berada di negeri kami. “Emang kalau kalian udah di Indonesia, kalian mau ngapain? Gulat? Adu panco? Atau main engklek? Huh! Suka ngadi-ngadi emang,” batinku mulai ngawur.“Yahh, padahal aku kangen banget loh, Na.” Waja
Hampir 15 menit kami duduk diam, menikmati pelukan hangat yang memang cukup lama kami gak rasakan. Aroma tubuh Tama akhirnya kembali aku bisa hirup hingga membuat bibirku mengulas senyum cerah. Aku jadi teringat momen di mana kami sedang di ruang kantornya. Sial! Otakku sepertinya mulai konslet gegara udah lama gak ketemu sama dia.“Apa sekarang sudah jauh lebih baik?” Suara Tama kembali menyapa indera pendengaranku.Aku menengadah, menatap wajahnya yang hanya berjarak beberapa centi di hadapanku. Kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban. “Em.” Kini, aku merasa lebih ringan, lebih bisa menerima jika waktu pernah memisahkan kami karena sebuah alasan. “Makan, yuk!” ajak Tama, mengurai pelukan kami.Aku menaikkan alis. “Apa Mas Tama belum makan?”Tama terlihat memalingkan wajah, menggaruk belakang kepala dan jika dia sudah seperti itu, maka sudah kupastikan kalau jawabannya adalah, “belum. Makanya aku mau ngajak kamu makan, Naina!”Dih! Aku mendesah berat. “Apa sesulit itu membuatmu
Tiba di rumah sakit dengan perasaan kosong, aku meletakkan tas atas sofa. Lalu, aku masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dari wastafel. Helaan napasku langsung terembus, menatap pantulan diriku sendiri dengan pandangan kosong.Tanpa sadar, air mataku menetes. Pertemuan yang singkat itu, justru semakin membuatku tenggelam dalam keputusasaan. Break … Tama meminta waktu untuk berpisah. Apa aku sanggup?Lelaki kedua yang aku cintai setelah papa, kini mencoba mengubur impianku untuk hidup bahagia bersamanya. Aku mendongak, menahan laju air mata yang terus-menerus mendesak keluar dari kelenjar mataku. Aku merintih kesakitan dalam sepi, tersenyum pahit akan setiap kata yang diucapkan Tama barusan. “Apa semudah itu kata putus diucapkan oleh sang kekasih? Semudah itukah sebuah hubungan selesai tanpa tujuan?Atau … semudah itu juga pasangan meninggalkan kekasihnya hanya karena sebuah alasan tak berarti. Dan, aku tahu jika semua kejadian ini terjadi karena ada peran penting dari si
Aku berbalik dan seorang lelaki dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan jaket yang disampirkan di tangan, kini berjalan ke arahku sambil tetap menatapku dengan tatapan terkejut. “Hai,” sapaku sambil tersenyum lebar. Kusilakan rambutku ke belakang telinga. Astaga, itu aku? Kok, centil amat!Tama masih menatapku dengan bingung, menoleh ke sana-kemari, dan saat tak mendapati siapa-siapa, akhirnya dia menatapku lagi. “Kenapa kamu bisa ada di sini? Bukankah seharunya kamu masih ada di sana?”Aku berdeham agar tidak gugup. Berjalan menghampiri Tama. “Em, bisakah kita bicara?”Tama mengeluarkan tangan dari saku celananya. Menatapku, wajahnya terlihat lelah dan itu sedikit membuatku bersalah. “Masuklah!” Tama kemudian berjalan mendahuluiku untuk membuka pintu kaca ruko itu. Sementara aku tetap berjalan di belakang, mengikutinya tanpa kata.Kini, kami sudah berada di lantai 1. Duduk di sofa panjang, berdua saja, tetapi dengan jarak yang cukup jauh. Rasanya … kami seperti asing. Tidak, a
Keesokan paginya, aku memaksakan diri untuk bangun, berjalan lunglai menuju kamar mandi dan mulai menanggalkan semua pakaian. Berdiri dibawah pancuran yang langsung membuat tubuhku basah oleh air hangat.15 menit kemudian, aku berjalan keluar kamar mandi. Berpakaian seadanya ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang kesiangan. Secara ini sudah pukul 09.00 WIB. Salahkan saja Tama yang membuatku harus terus memikirkannya semalaman hingga aku baru terlelap pukul 4 dini hari. Emang kampret itu orang!Begitu selesai sarapan roti panggang dengan selai coklat di atasnya, aku menyibukkan diri. Menghubungi Ardian, berbicara dengan Kakek yang masih berada di rumah sakit selama hampir 1jam.Selesai panggilan itu, aku berjalan menuju dispenser, mengisi air ke dalam gelas, tetapi pikiranku kembali ke kejadian tadi malam. “Shit!” Aku mengumpat kala air itu luber dan membasahi lantai.Aku segera mengambil lap dan mengeringkan lantai. Setelah selesai, aku berdiri di konter dapur, bersandar di sana sa