Sejak kejadian tiga hari yang lalu, aku belum bertemu Tama lagi. Kata Nadia, dia sedang ada pekerjaan di luar kota dan aku sih, bodo amat. Langkahku kini tengah membawaku ke lorong paling ujung rumah sakit, lantai 3. Di mana seseorang sedang terbaring di salah satu ruangan yang membuatku sedih. Ruang Kamboja. Duh, kok, ngerinya. Vibesnya udah kek lagi di kuburan. Namun, yang membedakan di ruang sakit dan kuburan adalah aromanya. Jika di kuburan, ada khas bau tanah bercampur dengan Wangi bunga Kamboja.Brrrr! Tiba-tiba, merinding bulu romaku.Sedang di rumah sakit, wangi semerbak obat-obatan mulai menembus indra penciumanku dan itu membuat hidungku mengerut kurang nyaman.Jujur, aku tidak ada masalah apa pun dengan rumah sakit, atau sejenisnya. Hanya saja, bau pewangi lantai yang khas dan juga bau obat membuatku kurang suka.Sebelumya, ponselku berdering tadi pagi-pagi sekali dan ternyata dari si Nadia. Gile banget itu manusia. Jam 03.00 dini hari dia nelpon, seperti tak ada waktu la
Setelah kembali dari kantin untuk membeli kopi, aku memutuskan untuk langsung naik ke atas. Beberapa makanan juga sengaja aku beli untuk Deden dan juga kami ketika menunggu. Namun, belum sempat aku masuk ke dalam lift, suara suster terdengar panik.“Gawat, pasien dengan golongan darah rhesus negatif butuh donor, tapi rumah sakit sama sekali tidak memiliki stok.”“Serius? Wah, gila, sih. Itu adalah salah satu golongan darah yang paling langka dan pastinya jika ada yang memiliki hanya garis keturunannya saja. Terus, apa dokter sudah menghubungi keluarga pasien?”“Nah, masalahnya di situ.”“Maksudnya?” Aku menggigit bibirku ragu sambil tetap menunggu di depan lift. Ketika pintu besi itu terbuka, suara suster kembali menahan langkahku.“Keluarga pasien sudah tidak ada dan kemungkinan pasien itu akan meninggal.”Aku langsung menyentuh bagian dadaku. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku merasakan sakit yang cukup besar saat mendengar kabar tersebut. Siapa orang itu?Aku menoleh ke belakang dan
Miss you too, Tama.Berulang kali aku merapalkan kalimat itu, tapi hanya dalam benakku. Sulit sekali untuk diutarakan lewat mulut. Seolah-olah ada sesuatu yang menyangkut di dalam tenggorokan hingga membuatku sulit untuk berkata.Justru, sebuah kalimat lain yang terucap dari lidahku, “bisakah kamu datang menjemputku nanti siang?”Yakh! Aku berteriak frustasi.“Eh! Serius?” Aku langsung menutup mulut. Ikut terkejut dengan apa yang baru saja terlontar dari bibirku. Kini, yang bisa aku lakukan adalah membenturkan kening ke pagar pembatas berulang kali. “Bego banget, sih. Terus kenapa lagi ini mulut malah ngomong kayak gitu,” gumamku tak habis pikir.“Naina.”Menyesal pun percuma.“Naina, kamu masih ada di sana, ‘kan?”Mendengar pria itu yang berusaha memanggil namaku hingga berulang kali, emmbuat aku segera menempelkan ponsel itu ke teling. Aku berdeham lemas.“Duh, bisa diulang gak sih, ini waktu?” keluhku dalam hati.Terdengar kikikan dari seberang telepon yang pastinya adalah Tama. D
“Gak usah ngaco, deh! Yuk, buruan pergi!” “Yakh, kenapa aku malah ditinggalin?” Diam-diam aku mengulum senyum saat melihat seorang Tama berlari mengejarku. Kapan lagi bisa ngerjain bos yang terkenal menyebalkan dan suka bikin baper. “Kena kau!” “Astaga!” Aku melotot padanya. “Apaan, sih, Tam?!” Apalagi saat dengan seenaknya dia main peluk-peluk diriku. “Iih, lepas, Tama! Malu, banyak orang!” Mataku mengedar ke arah sekitar dengan perasaan canggung. “Kangen!” Bukannya mendengarkan, Tama justru memeluk tubuhku dari belakang. Duh, ini orang kenapa, sih? Kenapa manis banget. Kan, aku jadi baper, njir. “Tapi, gak di sini juga kali, Tama!” Aku tepuk lengannya yang berada di depan perut.Tama melepaskan pelukannya dan menatapku dengan wajah polos. “Kalau begitu, apa aku boleh memelukmu ketika tidak ada orang lain?” Matanya mengedip menggoda.Astaga! Ini laki kenapa, sih, seneng banget bikin hati aku ser-seran. Gak tau apa, ini jantung udah kek habis maraton menghadapi sikapnya yang suka
“Udah seminggu aku kembali menjadi makhluk rebahan. Tapi, kenapa hidupku gini-gini aja, yah? Mau kerja, tapi Tama udah wanti-wanti buat gak nerima kerjaan di tempat lain.”Aku menghela napas berat. Kubiarkan kaki ini selonjoran di kursi panjang yang ada di balkon. Suasana senja sore ini benar-benar membuatku ingin sekali pergi ke suatu tempat. “Tapi, ke mana?”Aku mengusap-usap daguku layaknya detektif yang hendak memecahkan kasus, padahal aku hanya sedang berpikir akan menghabiskan waktu weekend dengan siapa.“Nadia … gak mungkin. Dia baru aja ketemu pangeran kodoknya. Bang Kai?” Aku langsung mengibaskan tangan cepat. “Dia baru aja sembuh. Ya, kali aku ajak buat ke pantai. Terus, kira-kira siapa, yah?”“Arghhhh, kenapa hidupku harus jomblo menahun begini, sih?” Aku menjerit frustasi sambil meratapi nasibku yang tidak pernah bahagia,Ketika aku sedang sibuk merenungi nasib, bunyi bel apartemen berulah, maksudku berbunyi. Mataku langsung menatapnya sengit. “Siapa, sih? Gak tau apa kala
Panggilan terputus dan aku masih terdiam. Memegang ponsel sambil menatap wajah lelap Gartama Wirasesa yang terlihat begitu tak tenang dalam tidurnya. Kuusap kerutan di dahinya. Namun, ternyata hal itu justru membuatnya terbangun.“Siapa, Na?” “Oh!” Aku langsung terperanjat kaget saat Tama tiba-tiba berbisik di telingaku. Jarak wajah kami hanya sejengkal dan itu cukup membuatku menunduk malu. “Tuan Surya,” jawabku kemudian.“Papa?” Pria itu langsung beranjak bangun. “Kenapa kamu gak bangunin aku, Na? Terus, papa bilang apa?” Dia terlihat panik.Aku menyodorokan ponsel miliknya. “Maaf, jika aku lancang. Tapi, panggilan itu tak berhenti sedari tadi makanya aku angkat. Aku pikir….” Aku berusaha menjelaskan agar tak terjadi salah paham.Pria itu mendesah lelah sambil memijat kepalanya. Netranya menatap telat ke dalam kedua bola mataku dan aku pun tak sempat mengelak. “Jadi, kamu udah tahu?” Suaranya terdengar begitu lemah dan aku gak suka.Mana Tama yang biasanya bersikap tegas, penuh sem
“Sshhh!” Aku memegang bagian belakang kepalaku yang terasa berdenyut. “Shit! Sakit banget,” keluhku kemudian.“Apa kamu sudah bangun, Naina?”“Eh?” Suara dari arah samping membuatku langsung menoleh. “S-siapa Anda?” Aku menatap ke sekitar. Kosong. Hanya ada kami berdua, lalu pandanganku beralih ke arah tubuhku. Mataku mengerjap kaget saat mendapati jika diriku kini tengah berada di atas ranjang asing. Lantas, aku langsung melonjak mundur. Rasa waspada membuatku berada di ujung kasur. “Kamu gak perlu takut, Nak! Kamu aman berada di sini,” ucap pria tua itu. Aku menggeleng sambil memeluk tubuhku sendiri. “Tolong, jangan apa-apakan saya, Tuan! S-saya ini bukanlah perempuan yang enak dicicipi. S-saya bau, alot, bahkan keras. Terus, saya juga bau lembing, ah, bukan, maksudnya bau kambing.” Aku terus berusaha menjelaskan diriku sendiri di depan pria tua renta di depanku. “Tama, tolongin aku!” batinku menjerit minta tolong. Apalagi, ketika mendengar tawa pria tua renta itu, buku kudukku
Aku duduk dengan perasaan gelisah, sesekali tersenyum kecil saat pandangan mata kami bertemu. Akan tetapi, pria tua di hadapan yang mengaku jika dia adalah kakek dari seorang Naina Kayla Putri terus saja menatapku, membuatku semakin tak tenang.Matanya terus menjelajahi dari kepala hingga ujung kakiku dengan pandangan tak percaya, penuh rindu, bahkan ada air mata yang menggenang di atas pelupuk mata yang kini mulai berkeriput.Benarkah dia kakekku?Aku berdeham untuk menyudahi kecanggungan kami. Kakek Dirman mengerjap, lalu setetes air mata yang sedari tadi menggenang itu jatuh. Membasahi wajahnya yang sudah cukup renta, seolah semua kehidupan pahit dan manis sudah dilaluinya.“Tuan–”“Kakek, Naina! Panggil aku kakek!” sergahnya cepat.Wajahku berusaha untuk terlihat santai, tetapi tidak bisa. Pada dasarnya, rasa penasaran jauh lebih besar di dalam pikiranku sehingga untuk bersikap tak acuh … aku tidak bisa. “Ah, itu … nanti akan aku pikirkan,” jawabku.Kakek Dirman tersenyum pahit.