“Gak usah ngaco, deh! Yuk, buruan pergi!” “Yakh, kenapa aku malah ditinggalin?” Diam-diam aku mengulum senyum saat melihat seorang Tama berlari mengejarku. Kapan lagi bisa ngerjain bos yang terkenal menyebalkan dan suka bikin baper. “Kena kau!” “Astaga!” Aku melotot padanya. “Apaan, sih, Tam?!” Apalagi saat dengan seenaknya dia main peluk-peluk diriku. “Iih, lepas, Tama! Malu, banyak orang!” Mataku mengedar ke arah sekitar dengan perasaan canggung. “Kangen!” Bukannya mendengarkan, Tama justru memeluk tubuhku dari belakang. Duh, ini orang kenapa, sih? Kenapa manis banget. Kan, aku jadi baper, njir. “Tapi, gak di sini juga kali, Tama!” Aku tepuk lengannya yang berada di depan perut.Tama melepaskan pelukannya dan menatapku dengan wajah polos. “Kalau begitu, apa aku boleh memelukmu ketika tidak ada orang lain?” Matanya mengedip menggoda.Astaga! Ini laki kenapa, sih, seneng banget bikin hati aku ser-seran. Gak tau apa, ini jantung udah kek habis maraton menghadapi sikapnya yang suka
“Udah seminggu aku kembali menjadi makhluk rebahan. Tapi, kenapa hidupku gini-gini aja, yah? Mau kerja, tapi Tama udah wanti-wanti buat gak nerima kerjaan di tempat lain.”Aku menghela napas berat. Kubiarkan kaki ini selonjoran di kursi panjang yang ada di balkon. Suasana senja sore ini benar-benar membuatku ingin sekali pergi ke suatu tempat. “Tapi, ke mana?”Aku mengusap-usap daguku layaknya detektif yang hendak memecahkan kasus, padahal aku hanya sedang berpikir akan menghabiskan waktu weekend dengan siapa.“Nadia … gak mungkin. Dia baru aja ketemu pangeran kodoknya. Bang Kai?” Aku langsung mengibaskan tangan cepat. “Dia baru aja sembuh. Ya, kali aku ajak buat ke pantai. Terus, kira-kira siapa, yah?”“Arghhhh, kenapa hidupku harus jomblo menahun begini, sih?” Aku menjerit frustasi sambil meratapi nasibku yang tidak pernah bahagia,Ketika aku sedang sibuk merenungi nasib, bunyi bel apartemen berulah, maksudku berbunyi. Mataku langsung menatapnya sengit. “Siapa, sih? Gak tau apa kala
Panggilan terputus dan aku masih terdiam. Memegang ponsel sambil menatap wajah lelap Gartama Wirasesa yang terlihat begitu tak tenang dalam tidurnya. Kuusap kerutan di dahinya. Namun, ternyata hal itu justru membuatnya terbangun.“Siapa, Na?” “Oh!” Aku langsung terperanjat kaget saat Tama tiba-tiba berbisik di telingaku. Jarak wajah kami hanya sejengkal dan itu cukup membuatku menunduk malu. “Tuan Surya,” jawabku kemudian.“Papa?” Pria itu langsung beranjak bangun. “Kenapa kamu gak bangunin aku, Na? Terus, papa bilang apa?” Dia terlihat panik.Aku menyodorokan ponsel miliknya. “Maaf, jika aku lancang. Tapi, panggilan itu tak berhenti sedari tadi makanya aku angkat. Aku pikir….” Aku berusaha menjelaskan agar tak terjadi salah paham.Pria itu mendesah lelah sambil memijat kepalanya. Netranya menatap telat ke dalam kedua bola mataku dan aku pun tak sempat mengelak. “Jadi, kamu udah tahu?” Suaranya terdengar begitu lemah dan aku gak suka.Mana Tama yang biasanya bersikap tegas, penuh sem
“Sshhh!” Aku memegang bagian belakang kepalaku yang terasa berdenyut. “Shit! Sakit banget,” keluhku kemudian.“Apa kamu sudah bangun, Naina?”“Eh?” Suara dari arah samping membuatku langsung menoleh. “S-siapa Anda?” Aku menatap ke sekitar. Kosong. Hanya ada kami berdua, lalu pandanganku beralih ke arah tubuhku. Mataku mengerjap kaget saat mendapati jika diriku kini tengah berada di atas ranjang asing. Lantas, aku langsung melonjak mundur. Rasa waspada membuatku berada di ujung kasur. “Kamu gak perlu takut, Nak! Kamu aman berada di sini,” ucap pria tua itu. Aku menggeleng sambil memeluk tubuhku sendiri. “Tolong, jangan apa-apakan saya, Tuan! S-saya ini bukanlah perempuan yang enak dicicipi. S-saya bau, alot, bahkan keras. Terus, saya juga bau lembing, ah, bukan, maksudnya bau kambing.” Aku terus berusaha menjelaskan diriku sendiri di depan pria tua renta di depanku. “Tama, tolongin aku!” batinku menjerit minta tolong. Apalagi, ketika mendengar tawa pria tua renta itu, buku kudukku
Aku duduk dengan perasaan gelisah, sesekali tersenyum kecil saat pandangan mata kami bertemu. Akan tetapi, pria tua di hadapan yang mengaku jika dia adalah kakek dari seorang Naina Kayla Putri terus saja menatapku, membuatku semakin tak tenang.Matanya terus menjelajahi dari kepala hingga ujung kakiku dengan pandangan tak percaya, penuh rindu, bahkan ada air mata yang menggenang di atas pelupuk mata yang kini mulai berkeriput.Benarkah dia kakekku?Aku berdeham untuk menyudahi kecanggungan kami. Kakek Dirman mengerjap, lalu setetes air mata yang sedari tadi menggenang itu jatuh. Membasahi wajahnya yang sudah cukup renta, seolah semua kehidupan pahit dan manis sudah dilaluinya.“Tuan–”“Kakek, Naina! Panggil aku kakek!” sergahnya cepat.Wajahku berusaha untuk terlihat santai, tetapi tidak bisa. Pada dasarnya, rasa penasaran jauh lebih besar di dalam pikiranku sehingga untuk bersikap tak acuh … aku tidak bisa. “Ah, itu … nanti akan aku pikirkan,” jawabku.Kakek Dirman tersenyum pahit.
“Naina?” Mata yang tadinya mengantuk ketika membuka pintu, kini dipaksakan terbuka lebar. “Ada apa? Apa di luar hujan?” Keningnya mengernyit heran. “Terus, kenapa kamu basah semua?” Bukan di luar yang hujan, melainkan di dalam hatiku, Tama. Yah, aku memutuskan untuk langsung mendatangi penthouse milik Tama dalam keadaan basah kuyup. Bodoh.Ya, anggap saja aku bodoh. Fakta itu benar-benar membuatku linglung dan hampir gila.Tama mengernyitkan kening, mungkin dia bertanya-tanya dengan maksud kedatanganku yang serba dadakan ini, apalagi dengan keadaan basah kuyup dan entahlah, aku pun tidak tahu bagaimana rupaku sekarang.Mungkin sudah seperti zombie.“Naina!” panggilnya khawatir.Aku memandangnya tanpa kata hingga lelehan air mata itu sudah cukup membuat pria di hadapan mengetahui jika aku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Apa aku boleh masuk?” tanyaku pada akhirnya.“Dasar bodoh!” makinya. “Masuklah! Nanti kamu bisa ganti bajumu dengan milikku,” sambungnya sambil membuka
Butuh sepuluh menit bagiku untuk bisa memutuskan apa yang aku lakukan sekarang. “Jika aku mengatakan, kalau aku ini adalah cucu dari Tuan Dirman … apa kamu percaya, Tama?”Aku menatap Tama, mata kami bertemu dan terkunci. Namun, seolah tidak ingin berlama-lama dia menunjukku dengan tangan, lalu mengibaskan tangan seolah itu hal yang mustahil. Please, Na! Berharap dia akan percaya dengan omonganmu itu sama saja kamu menyuruh Tama untuk percaya jika Kim Taehyung adalah suamimu.“Come on, Naina! Kalau kamu mau halu itu, gak usah terlalu tinggi. Nanti, kalau jatuh sakit!”Sudah kudugong jika dia akan mengatakan hal itu. “Bangun, Naina!” Tangannya tiba-tiba mendarat dengan enteng di kepalaku. Dia menjitakku.“Ish, Tama!” Aku mendelik padanya. Tidak keras, sih. Tapi, tetap saja itu sangat menyebalkan. Bibirku mengerucut sambil menatapnya dengan sebal. “Kenapa malah memukulku?”Tama tergelak. “Lagian jadi manusia itu gak usah kebanyakan halu. Hidup apa yang ada di sekelilingmu aja. Gak usa
Keesokan paginya, aku berjalan dengan begitu anggun melewati para karyawan Perusahaan Wirasesa. Mereka memandangku dengan berbagai macam reaksi. Ada yang biasa saja sambil lewat, tapi ada pula yang tersenyum menyapaku.“Bukankah Itu Bu Naina? Tapi, kok beliau datang dikawal sama pria berjas, sih?”“Iya, bukankah dia udah dipecat sama Pak Tama, yah?”“Halah, palingan dia ke sini cuma mau godain Pak Tama doang. Duitnya udah habis kali dia makanya dia mau morotin bos kita lagi. Secara dia itu kan cewek kegatelan!”Langkahku berhenti, tepat beberapa meter dari dua karyawati yang tengah sibuk bergunjing tentangku. Aku menengadah, menahan perasaan muak karena sudah dibicarakan di belakang. Aku menelengkan kepalaku risih. “Sumpah, yah. AKu tuh gak nyangka, kalau berita itu masih saja menempel padaku. Padahal, mereka saja tidak mengenalku, tapi kenapa mereka seolah bertingkah jika sudah mengenal luar dalam tentangku,” gumamku.“Ada apa, Nona?” tanya salah satu pengawal di belakangku.“Gak ad