Katakanlah jika aku ini adalah wanita paling plin-plan di dunia. Paling lemah jika sudah dekat dengan Tama dan paling gak bisa jika sudah berurusan dengan pria tua itu. Huhuhuhu, ingin aku menangis.“Pak!” Aku mendorong tubuh Tama. Melerai tautan bibir kami yang sempat membuatku hilang akal. Menghindar. Ya, aku harus menghindar. “Naina!” Suara Tama terdengar kecewa. Matanya menatapku dengan sorot mata berkabut. “Kenapa kamu pergi?”Heuh, situ kalau ngoceh enak banget. Maaf, yah, Tama. Jiwaku ini selalu udah kek krupuk mlempem yang bakalan makin amem, kalau udah deket sama situ Aku berdiri menuju sofa single dan duduk di sana. “Sebaiknya saya duduk di sini saja, Pak.” Pria itu mencebik. Dia menyugar rambutnya ke belakang dan aku langsung mengumpat. Ganteng bener, njir!“Baiklah. Tapi, aku harap kamu percaya dengan apa yang aku katakan tadi.”“Yang mana?” tanyaku tak fokus.Pria itu menyeringai. “Ah, jadi sedari tadi kamu….” Menaik turunkan matanya seolah menggodaku.“Heuh! Tolong
Aku memandang sinis sosok Liliana yang kini tengah duduk di kursi single. Rambut dan beberapa anak kancing baju bagian atasnya, bahkan hilang entah sudah lari ke mana, aku pun tak peduli. Aku masih kesal padanya. Karena dia, rambutku hampir botak. Mataku kemudian melirik ke arah samping di mana Tama duduk. Pria itu tak beda jauh penampilannya denganku, rambut acak-acakan, dan juga ada bekas cakaran di bagian pipinya.Eh.Kira-kira, tangan siapa itu, yah? Apa aku? Aku menggeleng panik. Netraku lalu melihat ke arah kuku jari yang memang sudah beberapa minggu ini kubiarkan memanjang. Bibirku meringis, pasti aku penyebabnya.“Lili, aku tau jika apa yang sudah aku lakukan ini membuatmu kecewa. Tapi, yang namanya hati itu tidak bisa dipaksa. Aku tidak suka dengan kamu dan aku pun tahu jika kamu tidak menyukaiku—”“Kata siapa? Aku suka sama kamu, Mas Tama. Aku bahkan cinta sama kamu. Bagaimana bisa kamu justru mengira aku tidak mencintaimu,” potong Liliana cepat. Berdebatlah kalian berdua
Sejak kejadian tiga hari yang lalu, aku belum bertemu Tama lagi. Kata Nadia, dia sedang ada pekerjaan di luar kota dan aku sih, bodo amat. Langkahku kini tengah membawaku ke lorong paling ujung rumah sakit, lantai 3. Di mana seseorang sedang terbaring di salah satu ruangan yang membuatku sedih. Ruang Kamboja. Duh, kok, ngerinya. Vibesnya udah kek lagi di kuburan. Namun, yang membedakan di ruang sakit dan kuburan adalah aromanya. Jika di kuburan, ada khas bau tanah bercampur dengan Wangi bunga Kamboja.Brrrr! Tiba-tiba, merinding bulu romaku.Sedang di rumah sakit, wangi semerbak obat-obatan mulai menembus indra penciumanku dan itu membuat hidungku mengerut kurang nyaman.Jujur, aku tidak ada masalah apa pun dengan rumah sakit, atau sejenisnya. Hanya saja, bau pewangi lantai yang khas dan juga bau obat membuatku kurang suka.Sebelumya, ponselku berdering tadi pagi-pagi sekali dan ternyata dari si Nadia. Gile banget itu manusia. Jam 03.00 dini hari dia nelpon, seperti tak ada waktu la
Setelah kembali dari kantin untuk membeli kopi, aku memutuskan untuk langsung naik ke atas. Beberapa makanan juga sengaja aku beli untuk Deden dan juga kami ketika menunggu. Namun, belum sempat aku masuk ke dalam lift, suara suster terdengar panik.“Gawat, pasien dengan golongan darah rhesus negatif butuh donor, tapi rumah sakit sama sekali tidak memiliki stok.”“Serius? Wah, gila, sih. Itu adalah salah satu golongan darah yang paling langka dan pastinya jika ada yang memiliki hanya garis keturunannya saja. Terus, apa dokter sudah menghubungi keluarga pasien?”“Nah, masalahnya di situ.”“Maksudnya?” Aku menggigit bibirku ragu sambil tetap menunggu di depan lift. Ketika pintu besi itu terbuka, suara suster kembali menahan langkahku.“Keluarga pasien sudah tidak ada dan kemungkinan pasien itu akan meninggal.”Aku langsung menyentuh bagian dadaku. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku merasakan sakit yang cukup besar saat mendengar kabar tersebut. Siapa orang itu?Aku menoleh ke belakang dan
Miss you too, Tama.Berulang kali aku merapalkan kalimat itu, tapi hanya dalam benakku. Sulit sekali untuk diutarakan lewat mulut. Seolah-olah ada sesuatu yang menyangkut di dalam tenggorokan hingga membuatku sulit untuk berkata.Justru, sebuah kalimat lain yang terucap dari lidahku, “bisakah kamu datang menjemputku nanti siang?”Yakh! Aku berteriak frustasi.“Eh! Serius?” Aku langsung menutup mulut. Ikut terkejut dengan apa yang baru saja terlontar dari bibirku. Kini, yang bisa aku lakukan adalah membenturkan kening ke pagar pembatas berulang kali. “Bego banget, sih. Terus kenapa lagi ini mulut malah ngomong kayak gitu,” gumamku tak habis pikir.“Naina.”Menyesal pun percuma.“Naina, kamu masih ada di sana, ‘kan?”Mendengar pria itu yang berusaha memanggil namaku hingga berulang kali, emmbuat aku segera menempelkan ponsel itu ke teling. Aku berdeham lemas.“Duh, bisa diulang gak sih, ini waktu?” keluhku dalam hati.Terdengar kikikan dari seberang telepon yang pastinya adalah Tama. D
“Gak usah ngaco, deh! Yuk, buruan pergi!” “Yakh, kenapa aku malah ditinggalin?” Diam-diam aku mengulum senyum saat melihat seorang Tama berlari mengejarku. Kapan lagi bisa ngerjain bos yang terkenal menyebalkan dan suka bikin baper. “Kena kau!” “Astaga!” Aku melotot padanya. “Apaan, sih, Tam?!” Apalagi saat dengan seenaknya dia main peluk-peluk diriku. “Iih, lepas, Tama! Malu, banyak orang!” Mataku mengedar ke arah sekitar dengan perasaan canggung. “Kangen!” Bukannya mendengarkan, Tama justru memeluk tubuhku dari belakang. Duh, ini orang kenapa, sih? Kenapa manis banget. Kan, aku jadi baper, njir. “Tapi, gak di sini juga kali, Tama!” Aku tepuk lengannya yang berada di depan perut.Tama melepaskan pelukannya dan menatapku dengan wajah polos. “Kalau begitu, apa aku boleh memelukmu ketika tidak ada orang lain?” Matanya mengedip menggoda.Astaga! Ini laki kenapa, sih, seneng banget bikin hati aku ser-seran. Gak tau apa, ini jantung udah kek habis maraton menghadapi sikapnya yang suka
“Udah seminggu aku kembali menjadi makhluk rebahan. Tapi, kenapa hidupku gini-gini aja, yah? Mau kerja, tapi Tama udah wanti-wanti buat gak nerima kerjaan di tempat lain.”Aku menghela napas berat. Kubiarkan kaki ini selonjoran di kursi panjang yang ada di balkon. Suasana senja sore ini benar-benar membuatku ingin sekali pergi ke suatu tempat. “Tapi, ke mana?”Aku mengusap-usap daguku layaknya detektif yang hendak memecahkan kasus, padahal aku hanya sedang berpikir akan menghabiskan waktu weekend dengan siapa.“Nadia … gak mungkin. Dia baru aja ketemu pangeran kodoknya. Bang Kai?” Aku langsung mengibaskan tangan cepat. “Dia baru aja sembuh. Ya, kali aku ajak buat ke pantai. Terus, kira-kira siapa, yah?”“Arghhhh, kenapa hidupku harus jomblo menahun begini, sih?” Aku menjerit frustasi sambil meratapi nasibku yang tidak pernah bahagia,Ketika aku sedang sibuk merenungi nasib, bunyi bel apartemen berulah, maksudku berbunyi. Mataku langsung menatapnya sengit. “Siapa, sih? Gak tau apa kala
Panggilan terputus dan aku masih terdiam. Memegang ponsel sambil menatap wajah lelap Gartama Wirasesa yang terlihat begitu tak tenang dalam tidurnya. Kuusap kerutan di dahinya. Namun, ternyata hal itu justru membuatnya terbangun.“Siapa, Na?” “Oh!” Aku langsung terperanjat kaget saat Tama tiba-tiba berbisik di telingaku. Jarak wajah kami hanya sejengkal dan itu cukup membuatku menunduk malu. “Tuan Surya,” jawabku kemudian.“Papa?” Pria itu langsung beranjak bangun. “Kenapa kamu gak bangunin aku, Na? Terus, papa bilang apa?” Dia terlihat panik.Aku menyodorokan ponsel miliknya. “Maaf, jika aku lancang. Tapi, panggilan itu tak berhenti sedari tadi makanya aku angkat. Aku pikir….” Aku berusaha menjelaskan agar tak terjadi salah paham.Pria itu mendesah lelah sambil memijat kepalanya. Netranya menatap telat ke dalam kedua bola mataku dan aku pun tak sempat mengelak. “Jadi, kamu udah tahu?” Suaranya terdengar begitu lemah dan aku gak suka.Mana Tama yang biasanya bersikap tegas, penuh sem