Hari ini adalah hari ke-7 aku menjadi seorang pengangguran. Menyedihkan sekali memang nasibku sekarang. Jika ditanya senang atau tidak menjadi pengangguran maka aku akan menjawab, 50:50. Why? Senangnya aku tidak perlu bertemu dan mengurusi hidupnya si pak tua itu lagi.Kabar buruknya, sekarang rekeningku tidak akan ada yang menyuntikan dan pastinya akan membuat hidupku dua bulan kedepan akan menjadi masa-masa paling suram.Untuk dua bulan ini sih, kehidupanku masih terjamin karena ada uang sisa pesangon. Untuk masalah cicilan apartemenku semua sudah kulunasi kemarin. Bersyukur banget sih aku. Mengingat akan saat di mana waktu itu bernego di kantor satu minggu kemarin, membuatku tertawa. Di mana aku meminta pesangon atas kerja kerasku dan juga kesetiaanku selama mengabdi di perusahaan Wirasesa dan apa yang diberikan oleh Tama?Coba tebak!Jika kalian mengira dia akan memberikanku pesangon puluhan juta salah. Salah besar! Karena kenyataannya dia justru memberikan black card. Iya, Bla
“Aku gak mau!” tolakku keras. Gengsi, dong aku. Masa iya udah minta duit pesangon tiba-tiba balik lagi ke tempat kerja yang kemarin.Sebenarnya sah-sah saja, sih. Tapi, gak elit juga aku balik lagi, padahal baru saja satu Minggu tak bekerja di sana. Nanti, yang ada mereka yang tidak suka denganku semakin mencibir. “Tapi, aku gak bisa kerja seperti ini terus, Na.”Aku tahu, kalau dirimu sudah cukup bergantung denganku. Bukankah aku terlalu percaya diri? Tapi, semua orang juga sudah tahu dan banyak buktinya juga. Di mana Tama yang tidak bisa tanpa aku. Aku tersenyum bangga pada diriku sendiri. Akan tetapi, aku masih punya harga diri untuk menerima ajakan si bos. “Pak–” Belum sempat aku berbicara, tetapi Tama sudah memotong ucapanku. Emang benar-benar ini laki satu. Untung duitnya banyak. Huft.“Bisakah jangan panggil aku Pak! Kita tidak sedang dalam sebuah perjanjian kontrak kerja, Na!”Kalau bukan bapak, atau Pak, mau situ aku panggil kakek? Bibirku cemberut. Aku melengos dan mencib
Kalau nyumpahin bos jadi miskin boleh gak, sih? Gak boleh, yah? Sial! “Naina, bukankah ini cocok buatku?” Aku melirik malas pria yang baru saja keluar dari ruang ganti salah satu butik terkenal dengan mengenakan pakaian yang harganya bikin. Menjerit dompetku. “Perfect!” ujarku tersenyum, tapi setelahnya mencibir. “Mau pakai baju atau gak juga gak bakalan ngaruh di aku, Pak.”“Kamu emang paling tahu aku!” Sebuah kedipan mata ditujukkan untukku dan aku langsung menunduk ngeri. Namun, satu tangan tiba-tiba mengusap rambutku.Aku mendongak dan melihat Tama yang hari ini begitu banyak mengumbar senyum. “Apa kamu udah selesai, Tam?”Pria itu melepaskan jas yang tadi dicobanya, tanpa melepaskan kemeja dan juga celananya. Lah, kok, otakku mulai gila. Lagian gak mungkin juga Tama melakukan itu di sini Naina. Ngaco banget sih itu otak. “Udah, sih. Tinggal bayar aja. Lagian aku juga gak beli banyak,” jawabnya sambil mengedikkan bahu acuh.Whatever! Situ mau beli sama butiknya juga aku gak ped
“Kata-kata itu ‘kan yang kamu ingin dengar dari mulutku? Terlalu klise!” Tama terlihat tertawa sinis.“Apa?” Mata mengerjap kaget. Aku berusaha menyilakan anak rambut agar bisa mendengar dengan jelas ucapan dari pria yang kini tengah menatapku datar. “Maksud kamu apa, Tama?”“Kenapa? Kamu kaget?” Tama mendengkus. “Bukankah aku sudah pernah menyatakan cintaku padamu dua kali. Tapi, kamu tolak, ‘kan? Lalu, kamu berharap aku akan mengatakan itu lagi padamu … hah! Tidak, Naina! Terima kasih.” Wajah Tama seolah-olah mengatakan jika dia kini sudah mulai kesal dan mungkin juga bosan karena pernyataan cintanya tidak pernah aku tanggapi. Jujur, aku sedikit kecewa akan reaksi Tama sekarang. Tapi, aku lebih kecewa lagi dengan diriku sendiri yang masih berharap akan sosoknya yang terus memperjuangkanku. Apa memang ini akhir perjuanganmu untuk menaklukan hatiku, Tama? Entah kenapa aku benci dengan setiap prasangka yang aku rasakan sekarang.Kini, aku menyadari jika tidak semua kata cinta yang ke
Dunia memang tidak kejam kepadaku. Tapi, aku yang memilih kejam kepada diriku sendiri. Setelah 3 hari sejak kejadian di butik itu, aku sama sekali gak mengizinkan diriku terlibat dengan Tama.Bego, ‘kan? Padahal rasa rindu ingin bertemu sudah menggerogoti hatiku. Tapi, lagi-lagi ego dan rasa insecure membuatku menahan semua perasaan itu.“Huhuhu, Papa! Anakmu kangen sama Tama!” Wajahku mendongak dengan wajah memelas ke langit seolah memberitahukan papa jika anaknya tersiksa di sini sendirian.Aku kemudian melirik ke arah benda persegi panjang yang kini tergeletak tak berdaya di atas meja kecil. Diam, seolah tak punya daya hidup, padahal jelas-jelas sudah ‘ku cas tadi. Tapi, percuma juga jika tak ada yang mengirim pesan.“Biasanya juga di pak tua itu juga akan menghubungiku setiap waktu. Tapi, sekarang … jangankan sehari sekali, 3 hari ponselku sudah seperti mayat hidup yang tak terjamah oleh pesan atau panggilan darinya. Ngenes gak, tuh!”Senja di langit sore, kini menemani kesendiria
Pintu besi itu baru saja tertutup. Bukan aku pelakunya, melainkan sosok tamu tak diundang itulah yang melakukan. Setelah aku menyebutkan nominal yang katanya ‘sangat tidak masuk akal’ dia langsung pergi. Aku tersenyum sinis. Bagaimana bisa A-aku disamakan dengan perempuan di luaran sana yang mau mundur hanya karena sebuah uang. Aku mendecih.“Jika aku mau, aku sudah menjadi lintah untuk anakmu, Bu. Selama ini aku bekerja dengan profesional. Tapi, apa balasan yang aku dapat? Kalian justru membuatku harus menjadi pengangguran karena sebuah ambisi.” Aku tersenyum pahit.Kini, aku duduk seorang diri di apartemen. Kusandarkan punggung ini di sofa sambil menatap kosong layar plasma yang dalam keadaan mati.Huftttt.Mataku terpejam dengan tangan memijat bagian pangkal hidung. Kejadian barusan seolah semakin membuatku yakin jika aku bukanlah sosok yang diinginkan oleh keluarga Wirasesa.Aku mendengkus miris. “Wajah cantik, dan pintar tak menjamin jika dirimu akan diterima dalam keluarga merek
Ekspresi Tama seolah sudah menjelaskan jika dirinya kecewa padaku, tapi aku bisa apa, kalau memang sudah ada tembok tinggi menghalangi hubungan kami di jalan. Diteruskan pun hanya akan membuat banyak orang terluka, termasuk aku.Jadi, gak salah, kan, kalau aku menolak cintanya?Atau, aku harus menerimanya dengan berbagai macam aral yang menghadang? “Sial! Kepalaku makin cekot-cekot kalau di rumah terus. Sebaiknya aku pergi, ya, aku harus mencari suasana baru supaya aku tak mati bego di apartemen ini sendiri.” Aku segera bergegas ke kamar.Kepergian Tama beberapa saat yang lalu sudah cukup membuat hariku semakin menggila. Setelah ditawari uang sama emaknya untuk menjauhi Tama, eh, anaknya justru datang dan memintaku untuk menikahinya. Sinting!Aku segera mengganti pakaian yang aku pakai tadi dengan pakaian yang lebih pantas untuk keluar. Walaupun gembel dan pengangguran, aku gak mungkin menampakkan keadaanku di depan orang-orang, dong. Bisa bahagia mereka melihatku semakin kere.Wala
Gartama Wirasesa. Entah kenapa nama itu terpatri begitu kuat dalam benakku. Apa pun kondisi yang sedang kami hadapi, walau badai menghadang, tanah longsor, nama pria itu selalu ada dalam hatiku. Cih, menjijikan. “Naina, apa kamu baik-baik saja?” Radit bertanya khawatir.Aku mengerjap bingung, lalu saat menyadari ada tangan yang meremas tanganku, segera kutarik. Kurang ajar. “Maaf, Pak. Tadi Anda tanya apa?” Aku berusaha untuk tetap tersenyum, walau dalam hati dongkol.Lagi-lagi dia tersenyum. Aku heran dengan bibirnya, apa dia tidak takut robek karena sedari tadi tidak berhenti tersenyum lebar. “Apa Naina bersedia bekerja denganku?” tanyanya kembali.Oh, itu. Aku meletakkan garpu yang sedari tadi kupegang untuk menusuk-nusuk cake di atas piring. Kini, aku merubah posisi duduk lebih condong ke depan dengan kedua tangan menempel di atas meja. Tidak lupa aku memberikan senyum manis. “Maaf, Pak Radit. Sepertinya saya masih ingin istirahat. Lagipula,” jedaku, menyandarkan punggung ke k
“Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju
Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T
“Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data
Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa
Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah
"Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m
Tiga hari kemudian, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang tengah muntah-muntah. “Itu siapa, sih?” keluhku. Aku meraba ke sisi ranjang, mencari keberadaan suami tercintaku. Namun, kosong. Sontak, mataku terbuka. Rasa kantukku langsung hilang tatkala menyadari jika Mas Tama tak ada di mana-mana. “Mas, kamu di mana?” Suaraku serak. Aku segera bangun, duduk di atas ranjang dengan sedikit sisa kantuk. Aku mengucek kelopak mataku, lalu bergumam, “Mas Tama ke mana, sih? Masa iya, dia udah ke kantor?”Mulutku menguap, tetapi segera kututup dengan lengan. Setelah itu, mataku mengedar dengan tangan menggaruk rambut, linglung. Sekitar kosong, dan lagi-lagi suara itu kembali terdengar. “Itu siapa, sih, yang lagi muntah? Atau, jangan-jangan….”Mas Tama.Sontak, perasaanku dilingkupi cemas. “Mas, apa kamu di dalam?” Aku segera turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rambut segera ku gelung ke atas agar tidak mengganggu. Ketika tiba di depan pintu kamar mandi yang terbuka, suara
Sepanjang perjalanan, Mas Tama tak pernah melepaskan tautan tangan kami. Dia bahkan melakukan pemindahan perseneling saja masih dengan tangan kami seperti itu.Seneng, sih, dapat perhatian, dan merasa disayang. Tapi, ngeri-ngeri sedep juga, kalau terjadi sesuatu. Apalagi, kita kan lagi di jalan raya, dan tahu dong, bagaimana kondisi lalu lintasnya? Mau heran, tapi dia suamiku. “Kita mau makan apa, Dear?” tanya Mas Tama. Dia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali melihat ke arah depan.“Mas. Bukankah kita baru saja makan tadi di rumah mama?” Aku bertanya heran. Ya, kali perutnya yang udah kek roti sobek itu mau dihancurkan dengan makan malam, lagi. “Aku lapar, Sayang. Aku pengin makan di tempat langganan aku beli. Kamu mau ikut, kan?” Wajahnya begitu memelas. Aku pun menggaruk belakang kepala. Mau menolak, tetapi gak enak. Tapi, kalau aku iyakan, mau ditaruh mana itu makanan. Secara, aku masih kenyang. Kalaupun diisi, palingan hanya minuman saja yang muat.“Apa aku punya pilihan?”
Menjadi seorang istri adalah hal yang baru buatku. Namun, untuk membuatkan sarapan, menyiapkan teh, dan juga baju untuk Mas Tama, itu sudah menjadi kebiasaan untukku beberapa tahun lalu. Maksudnya, aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai saja. Untuk memasak, aku masih harus menjalani kursus agar tidak membakar apartemen suamiku.Tidak lucu, kan, kalau pasangan suami istri yang baru saja menikah dikabarkan mati, dikarenakan si istri membakar rumahnya karena lupa cara mematikan kompor. Itu jelas nanti akan sangat mencoreng nama baik Naina. Jadi, hari ini aku berkesempatan untuk mengikuti les memasak dengan para mama muda yang usianya di bawahku. Iya, kalian gak salah lihat. Seorang Naina rela meluangkan waktunya hanya untuk membuat dirinya dianggap sebagai istri yang pandai memasak. Aish, tolong jangan melihatku dengan syirik begitu. Santai saja.Tapi, aku sedikit canggung karena, you know lah, usiaku paling tua di sini. Huhuhu, nyesel banget sekarang. Kenapa gak sedari dulu