“Kata-kata itu ‘kan yang kamu ingin dengar dari mulutku? Terlalu klise!” Tama terlihat tertawa sinis.“Apa?” Mata mengerjap kaget. Aku berusaha menyilakan anak rambut agar bisa mendengar dengan jelas ucapan dari pria yang kini tengah menatapku datar. “Maksud kamu apa, Tama?”“Kenapa? Kamu kaget?” Tama mendengkus. “Bukankah aku sudah pernah menyatakan cintaku padamu dua kali. Tapi, kamu tolak, ‘kan? Lalu, kamu berharap aku akan mengatakan itu lagi padamu … hah! Tidak, Naina! Terima kasih.” Wajah Tama seolah-olah mengatakan jika dia kini sudah mulai kesal dan mungkin juga bosan karena pernyataan cintanya tidak pernah aku tanggapi. Jujur, aku sedikit kecewa akan reaksi Tama sekarang. Tapi, aku lebih kecewa lagi dengan diriku sendiri yang masih berharap akan sosoknya yang terus memperjuangkanku. Apa memang ini akhir perjuanganmu untuk menaklukan hatiku, Tama? Entah kenapa aku benci dengan setiap prasangka yang aku rasakan sekarang.Kini, aku menyadari jika tidak semua kata cinta yang ke
Dunia memang tidak kejam kepadaku. Tapi, aku yang memilih kejam kepada diriku sendiri. Setelah 3 hari sejak kejadian di butik itu, aku sama sekali gak mengizinkan diriku terlibat dengan Tama.Bego, ‘kan? Padahal rasa rindu ingin bertemu sudah menggerogoti hatiku. Tapi, lagi-lagi ego dan rasa insecure membuatku menahan semua perasaan itu.“Huhuhu, Papa! Anakmu kangen sama Tama!” Wajahku mendongak dengan wajah memelas ke langit seolah memberitahukan papa jika anaknya tersiksa di sini sendirian.Aku kemudian melirik ke arah benda persegi panjang yang kini tergeletak tak berdaya di atas meja kecil. Diam, seolah tak punya daya hidup, padahal jelas-jelas sudah ‘ku cas tadi. Tapi, percuma juga jika tak ada yang mengirim pesan.“Biasanya juga di pak tua itu juga akan menghubungiku setiap waktu. Tapi, sekarang … jangankan sehari sekali, 3 hari ponselku sudah seperti mayat hidup yang tak terjamah oleh pesan atau panggilan darinya. Ngenes gak, tuh!”Senja di langit sore, kini menemani kesendiria
Pintu besi itu baru saja tertutup. Bukan aku pelakunya, melainkan sosok tamu tak diundang itulah yang melakukan. Setelah aku menyebutkan nominal yang katanya ‘sangat tidak masuk akal’ dia langsung pergi. Aku tersenyum sinis. Bagaimana bisa A-aku disamakan dengan perempuan di luaran sana yang mau mundur hanya karena sebuah uang. Aku mendecih.“Jika aku mau, aku sudah menjadi lintah untuk anakmu, Bu. Selama ini aku bekerja dengan profesional. Tapi, apa balasan yang aku dapat? Kalian justru membuatku harus menjadi pengangguran karena sebuah ambisi.” Aku tersenyum pahit.Kini, aku duduk seorang diri di apartemen. Kusandarkan punggung ini di sofa sambil menatap kosong layar plasma yang dalam keadaan mati.Huftttt.Mataku terpejam dengan tangan memijat bagian pangkal hidung. Kejadian barusan seolah semakin membuatku yakin jika aku bukanlah sosok yang diinginkan oleh keluarga Wirasesa.Aku mendengkus miris. “Wajah cantik, dan pintar tak menjamin jika dirimu akan diterima dalam keluarga merek
Ekspresi Tama seolah sudah menjelaskan jika dirinya kecewa padaku, tapi aku bisa apa, kalau memang sudah ada tembok tinggi menghalangi hubungan kami di jalan. Diteruskan pun hanya akan membuat banyak orang terluka, termasuk aku.Jadi, gak salah, kan, kalau aku menolak cintanya?Atau, aku harus menerimanya dengan berbagai macam aral yang menghadang? “Sial! Kepalaku makin cekot-cekot kalau di rumah terus. Sebaiknya aku pergi, ya, aku harus mencari suasana baru supaya aku tak mati bego di apartemen ini sendiri.” Aku segera bergegas ke kamar.Kepergian Tama beberapa saat yang lalu sudah cukup membuat hariku semakin menggila. Setelah ditawari uang sama emaknya untuk menjauhi Tama, eh, anaknya justru datang dan memintaku untuk menikahinya. Sinting!Aku segera mengganti pakaian yang aku pakai tadi dengan pakaian yang lebih pantas untuk keluar. Walaupun gembel dan pengangguran, aku gak mungkin menampakkan keadaanku di depan orang-orang, dong. Bisa bahagia mereka melihatku semakin kere.Wala
Gartama Wirasesa. Entah kenapa nama itu terpatri begitu kuat dalam benakku. Apa pun kondisi yang sedang kami hadapi, walau badai menghadang, tanah longsor, nama pria itu selalu ada dalam hatiku. Cih, menjijikan. “Naina, apa kamu baik-baik saja?” Radit bertanya khawatir.Aku mengerjap bingung, lalu saat menyadari ada tangan yang meremas tanganku, segera kutarik. Kurang ajar. “Maaf, Pak. Tadi Anda tanya apa?” Aku berusaha untuk tetap tersenyum, walau dalam hati dongkol.Lagi-lagi dia tersenyum. Aku heran dengan bibirnya, apa dia tidak takut robek karena sedari tadi tidak berhenti tersenyum lebar. “Apa Naina bersedia bekerja denganku?” tanyanya kembali.Oh, itu. Aku meletakkan garpu yang sedari tadi kupegang untuk menusuk-nusuk cake di atas piring. Kini, aku merubah posisi duduk lebih condong ke depan dengan kedua tangan menempel di atas meja. Tidak lupa aku memberikan senyum manis. “Maaf, Pak Radit. Sepertinya saya masih ingin istirahat. Lagipula,” jedaku, menyandarkan punggung ke k
Jika di dunia ini menghalalkan segala macam cara untuk menyantet seseorang, maka aku akan daftarkan nama Gartama Wirasesa. Akan kubuat dia sengsara dan kujadikan kacung yang selalu kutindas. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Aku tertawa bahagia, tapi dalam mimpi. Sial! Aku terbangun dengan perasaan kesal. “Ngapain juga aku ngimpiin itu pak tua? Kayak gak ada laki lain aja. Shit! Bikin ambyar aja pagi-pagi itu orang,” dumelku kesal. Setelah memilih mengabaikan Tama kemarin sore, pria itu justru cosplay menjadi jelmaan setan yang selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Bersyukur dia masih tahu diri hingga tidak ikut masuk ke dalam apartemenku. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa dia harus datang ke dalam mimpi indahku? Mimpi yang harusnya hanya aku dan biasku, Babang Taehyung saja. Tapi, dengan gantengnya dia nyelip di sana.“Arghh! Lama-lama aku bisa gila!” teriakku frustasi sambil menendang-nendang selimut di bawah kaki.Belum reda kesalku, ponsel di bawah bantalku berbunyi.
Semenjak 15 menit yang lalu, kami hanya duduk diam di sofa tanpa melakukan apa pun, selain bernapas. Uap panas dari teh hijau yang aku buat pun kini sudah menghilang. Aku mendesah jengah. “Naina,” panggil Tama lirih. Yaelah, itu orang kenapa, sih? Lemes amat, Pak.Aku hanya berdeham sambil menyeruput teh milikku yang sudah mulai dingin. Tuh, kan? Rasanya udah gak seendul pas hangat. Aku mencebik kesal.“Apa yang kamu lakukan satu minggu ini? Apa kamu pergi?” Tama bertanya. Aku menggeleng. “Aku selalu di apartemen, kok,” jawabku santai, menaruh kembali gelas teh milikku di atas meja. Aku kemudian menggeser gelas miliknya. “Silakan diminum, Pak. Takutnya nanti tehnya udah dingin.” Aku mempersilakan.“Terima kasih.” Tama yang sedari tadi tidak melepaskan pandangannya kini mulai melirik ke arah gelasnya. Untuk sekian detik, dia hanya diam sebelum akhirnya memutuskan untuk menyeruput teh tanpa gula itu. Diam-diam aku melipat bibir, menahan senyum saat kening pria di hadapanku mengerny
Niat hati ingin mengusir Tama keluar setelah keadaan pria itu membaik, tapi kenyataannya pria itu justru demam, dan dia juga terus mengigau, memanggil namaku terus-menerus.Pandanganku beralih ke arah jendela kaca yang memperlihatkan betapa derasnya hujan malam ini, bahkan di beberapa titik terjadi pohon tumbang. Akses ke rumah sakit terdekat pun ditutup sehingga membuatku semakin frustasi.“Haduh, alamat ini mah bakalan begadang,” keluhku sambil memijat pangkal hidung.Kepedulian terhadap sesama akhirnya membuatku mengalah untuk merawat Tama di apartemenku. Sialnya, aku gak memiliki persediaan obat yang memadai. Sudah sedari tadi aku mengompres dahi dan ketiaknya–untuk bagian ini hanya inisiatifku saja, tidak untuk ditiru oleh siapa pun–, tetapi panasnya belum turun juga. Aku bahkan sudah memberikan obat penurun panas dan menempelkan bye-byefiver yang biasa digunakan untuk bayi ketika demam. Namun, usahaku belum juga berhasil. Pria itu terus mengigau hingga membuatku frustasi.“Mas