***Pertanyaan bingung Yerinsa terbungkam sebelum sempat keluar, bibir tipis dengan polesan lipbalm setiap sebelum tidur itu disapu habis Luga dalam ciuman dalam. Bisa Luga rasakan tubuh itu menegang kaku, terlambat mencerna keadaan karena keterkejutan.Yerinsa membolakan mata seakan itu bisa meloncat dari rongganya, meremas kedua pundak Luga menahan dorongan begitu kuat yang membuat kepala termundur. Belum pernah berciuman sebelum ini menyulut gelenyar asing merambat ke seluruh tubuhnya."Manis sekali," bisik Luga setelah memisahkan tautan bibir dengan seuntai saliva di ujung.Mengusap bibir berkilau di tengah keremangan cahaya, Luga tersenyum sebelum kembali menyesap benda kenyal terasa manis itu.Tengkuk ditahan dengan satu tangan, sementara satu tangan lain melingkari pinggang. Belum sempat bernapas lega, pernapasan Yerinsa disumbat kembali hingga butuh sedikit usaha untuk meminta ruang."Tung- ... umm ... tunggu-" erang Yerinsa protes, mendorong pelan dada Luga untuk melepaskan d
***Setuju dengan apa yang Luga katakan bukan berarti Yerinsa juga menerima sepenuhnya tinggal satu rumah dengan laki-laki itu selamanya. Yerinsa hanya harus di sini sampai keluarganya stabil dan bisa baik-baik saja, entah sampai kapan itu."Kenapa aku harus memakai ini? Kami hanya akan sarapan, kan?" tanya Yerinsa mengernyit terganggu dengan semua perintilan pakaian yang disiapkan Ruan Ruan."Tuan Muda yang menyuruh kami mempersiapkan Anda seperti ini," jawab Chang Mei yang mengikatkan kawat seperti tudung saji ke pinggang ramping Yerinsa."Ini merepotkan dan hanya membuang waktu," komentar Yerinsa yang berdiri memperhatikan dua pelayan itu membantu mengenakan sebuah dress rumit.Sebenarnya tidak terlalu rumit, hanya saja Yerinsa masih mengantuk dan malas bangun pagi untuk berdandan sebelum sarapan bersama Luga di lantai bawah."Tuan sangat memperhatikan hal-hal terkecil tentang Anda, Nona, tolong jangan membuatnya marah," kata Chang Mei agak berkerut dahi."Baiklah, baik. Aku tidak
***Luga tidak repot-repot menyangkal sorot mata terpesona yang melayang pada sosok di ambang pintu ruangan, mengabaikan dua perempuan lain di belakang Yerinsa seakan itu hanya pajangan meja.Melihat Yerinsa berpenampilan seperti ini membuat Luga harus meredam degup jantung euforia yang perlahan melonjak naik. Kesukaannya pada hal-hal indah membuat Luga ingin lebih mempercantik Yerinsa dengan segala kemewahan.Melihat sosok seperti malaikat memikat itu sekarang, bagaimana Luga bisa rela membiarkannya lepas suatu hari nanti?Tentu saja Luga tidak akan dengan mudah membiarkan Yerinsa bebas, iming-iming yang diucapkan tadi malam hanya sebuah omong kosong. Memanipulasi pikiran lugu Yerinsa bukan hal sulit bagi Luga, semakin gadis itu tunduk, semakin mudah mencengkeramnya.Jika bisa Luga ingin mengerangkeng gadis itu ..."Kenapa berhenti di sana?" tanya Luga sambil menyingkirkan handphone dari tangan dan bangkit berdiri.Sebenarnya, Yerinsa diam karena malu, melihat Luga hanya mengenakan s
***"Kamu belum menekan tombolnya." Sosok Yerinsa di layar rekaman video menyeletuk sambil menoleh pada seseorang di samping yang tidak tersorot kamera."Sudah. Lihat, ini, kamu bisa bicara sekarang."Suara orang itu terdengar membalas dengan telunjuk mengarah ke layar, sepertinya dia juga yang memegang alat perekam karena kedua tangan Yerinsa diam merapat."Oh, aku tidak melihat itu tadi. Ekhem, baiklah ..." Yerinsa menatap fokus kembali pada layar seakan menatap seseorang yang akan menonton."Uh, halo Ibu, Gabby. Bagaimana kabar kalian? Kurahap baik-baik saja, seperti aku sekarang."Baru sebait kalimat keluar, Yerinsa sudah menjeda lama untuk menelan ludah yang terasa mencekik di tengah tenggorokan, menghela napas singkat sebelum melanjutkan."Maaf, kalian pasti khawatir karena aku menghilang tiba-tiba, kalian pasti mengalami kesulitan mencariku, maafkan aku sudah merepotkan. Tapi, setelah ini kuharap kalian tidak terlalu menghawatirkanku lagi, aku ... aku tidak apa-apa, aku baik-ba
***"Sungguh, ini merepotkan."Keluhan kesal sekali lagi keluar dari mulut berpoles lipstik merah muda tampak berkilau dengan lipgloss itu."Kamu sejak tadi berjalan di lantai yang datar, Vie. Kenapa banyak sekali mengeluh? Aku sudah menawarkan akan menggendong, tapi kamu menolak."Luga mau tidak mau membalas keluhan ke sekian kali itu dengan cibiran halus, melirik gadis di samping yang hari ini kembali mengenakan Lolita dress yang cantik."Aku tidak mengeluh karena lantainya, tapi pakaianku," kilah Yerinsa dengan bibir mencebik.Satu tangan digandeng Luga, berjalan menyusuri lorong mansion yang tidak bisa dikatakan kecil. Sedikit melebih-lebihkan karena nyatanya dress dengan warna dominan merah-hitam dan kerah putih itu panjanganya hanya sedikit di bawah lutut."Kalau kamu mengeluh sekali lagi, aku akan membelikan gaun pengantin," ancam Luga datar.Yerinsa membuka mulut akan memprotes, tapi urung saat menatap laki-laki itu yang membalas dingin tatapannya. Akhirnya Yerinsa hanya melay
***"Kakek tidak ingin melihatku ada di Italy, jadi mengirim ke sini agar aku sibuk hingga tidak bisa pulang," terang Luga dengan pandangan lurus menerawang pada kumpulan bunga."Kenapa?" tanya Yerinsa lebih hati-hati."Karena aku tidak mau menjadi seperti yang dia inginkan," jawab Luga, melirik Yerinsa sebelum terkekeh pelan.Menatap genggaman tangan mereka, Luga melanjutkan, "sebenarnya, menjadi salah satu dari pemilik nama Roosevelt itu ... seperti hidup dalam neraka."Yerinsa tertegun, memang sudah tau bahwa Luga hidup dalam keluarga yang tidak ada cinta di antara anggotanya, tapi jika disejajarkan dengan kata neraka itu agak menakutkan."Kakek memiliki prinsip yang tidak sama seperti kebanyakan orang, anak dan cucunya dituntut untuk menjadi Raja dalam segala hal, kalau tidak sanggup, nama Roosevelt tidak pantas diterima," terang Luga perlahan."Tapi kamu memiliki nama Roosevelt, bukankah artinya kamu pantas?" Yerinsa mengernyit dahi, bertanya sedikit tidak mengerti.Genggaman tan
***{ Tiada hari tanpa raut sendu di wajah cantik itu, iris biru selalu berlinang air mata, dan awan mendung senantiasa menggantung di atas kepala gadis dengan gaun indah itu.Gabriella menatap kosong pada pergelangan tangan kiri yang diperban kain kasa, keputusasaan selalu menyebar pada gadis itu setiap saat.Pintu kamar tidur menjeblak terbuka ditendang dari luar, sosok tinggi semampai Luga muncul dengan raut garang tak tertahankan, berjalan masuk seakan setiap langkah yang diambil mengeluarkan aura membunuh keberanian lawan."Mencoba bunuh diri lagi?"Pertanyaan dingin keluar dari mulut itu, berhenti setelah berdiri tepat di depan Gabriella yang duduk menunduk.Mata amber setajam belati memindai keadaan gadis kurus di sofa, tubuh itu jauh lebih kurus dari pertama mereka berkenalan. Menemukan pergelangan tangan berbalut kain kasa, sepertinya luka irisan di nadi."Harus berapa kali kukatakan untuk berhenti melakukan hal bodoh semacam itu?" geram Luga rendah, merundukkan tubuh untuk m
***Tersenyum saat melihat gadis itu mengunyah cepat seperti kelinci, alis bertaut menatapnya dengan mata bulat berlensa kontak hijau."Apa maksudmu aku-" Yerinsa hampir menyanggah kalimat Luga sebelum terhenti mendadak, pupil mengecil saat satu kemungkinan muncul di benaknya."Oh-!" pekik Yerinsa kencang, seketika menelan kunyahan buah. Menatap Luga seakan tidak percaya pada sesuatu yang sudah terpikirkan dalam kepala."Tentu saja. Ya. Aku tau. Kalau aku mati, kamu akan membuat Gabby menempati posisi sepertiku sekarang, kan? Hah, kamu memang sejahat itu," tuding Yerinsa mantap, telunjuk teracung di ujung hidung Luga.Tapi Luga tidak langsung merespon, wajah masih tenang sesaat sebelum menunjukkan sebuah senyum ringan."Aku terlanjur menginginkanmu, jadi harus bagaimana? Kalau kamu mati, mungkin aku akan menjadikan Gabriel sebagai gantinya. Wajah kalian memang tidak mirip bagiku, tapi setidaknya memiliki DNA yang sama," ujar Luga tanpa beban.Sukses membuat Yerinsa mengerjab berkali-k