***"Kakek tidak ingin melihatku ada di Italy, jadi mengirim ke sini agar aku sibuk hingga tidak bisa pulang," terang Luga dengan pandangan lurus menerawang pada kumpulan bunga."Kenapa?" tanya Yerinsa lebih hati-hati."Karena aku tidak mau menjadi seperti yang dia inginkan," jawab Luga, melirik Yerinsa sebelum terkekeh pelan.Menatap genggaman tangan mereka, Luga melanjutkan, "sebenarnya, menjadi salah satu dari pemilik nama Roosevelt itu ... seperti hidup dalam neraka."Yerinsa tertegun, memang sudah tau bahwa Luga hidup dalam keluarga yang tidak ada cinta di antara anggotanya, tapi jika disejajarkan dengan kata neraka itu agak menakutkan."Kakek memiliki prinsip yang tidak sama seperti kebanyakan orang, anak dan cucunya dituntut untuk menjadi Raja dalam segala hal, kalau tidak sanggup, nama Roosevelt tidak pantas diterima," terang Luga perlahan."Tapi kamu memiliki nama Roosevelt, bukankah artinya kamu pantas?" Yerinsa mengernyit dahi, bertanya sedikit tidak mengerti.Genggaman tan
***{ Tiada hari tanpa raut sendu di wajah cantik itu, iris biru selalu berlinang air mata, dan awan mendung senantiasa menggantung di atas kepala gadis dengan gaun indah itu.Gabriella menatap kosong pada pergelangan tangan kiri yang diperban kain kasa, keputusasaan selalu menyebar pada gadis itu setiap saat.Pintu kamar tidur menjeblak terbuka ditendang dari luar, sosok tinggi semampai Luga muncul dengan raut garang tak tertahankan, berjalan masuk seakan setiap langkah yang diambil mengeluarkan aura membunuh keberanian lawan."Mencoba bunuh diri lagi?"Pertanyaan dingin keluar dari mulut itu, berhenti setelah berdiri tepat di depan Gabriella yang duduk menunduk.Mata amber setajam belati memindai keadaan gadis kurus di sofa, tubuh itu jauh lebih kurus dari pertama mereka berkenalan. Menemukan pergelangan tangan berbalut kain kasa, sepertinya luka irisan di nadi."Harus berapa kali kukatakan untuk berhenti melakukan hal bodoh semacam itu?" geram Luga rendah, merundukkan tubuh untuk m
***Tersenyum saat melihat gadis itu mengunyah cepat seperti kelinci, alis bertaut menatapnya dengan mata bulat berlensa kontak hijau."Apa maksudmu aku-" Yerinsa hampir menyanggah kalimat Luga sebelum terhenti mendadak, pupil mengecil saat satu kemungkinan muncul di benaknya."Oh-!" pekik Yerinsa kencang, seketika menelan kunyahan buah. Menatap Luga seakan tidak percaya pada sesuatu yang sudah terpikirkan dalam kepala."Tentu saja. Ya. Aku tau. Kalau aku mati, kamu akan membuat Gabby menempati posisi sepertiku sekarang, kan? Hah, kamu memang sejahat itu," tuding Yerinsa mantap, telunjuk teracung di ujung hidung Luga.Tapi Luga tidak langsung merespon, wajah masih tenang sesaat sebelum menunjukkan sebuah senyum ringan."Aku terlanjur menginginkanmu, jadi harus bagaimana? Kalau kamu mati, mungkin aku akan menjadikan Gabriel sebagai gantinya. Wajah kalian memang tidak mirip bagiku, tapi setidaknya memiliki DNA yang sama," ujar Luga tanpa beban.Sukses membuat Yerinsa mengerjab berkali-k
***Rantai bergemerincing di kaki Yerinsa saat berjalan keluar dari kamar mandi, baru saja mandi meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Ada Chang Mei yang sedang meletakkan nampan sarapan di atas meja di depan sofa yang berhadapan dengan televisi menempel di dinding."Mari, saya bantu mengenakan pakaian, Nona." Ruan Ruan menuntun Yerinsa ke ruang ganti di mana sebuah terusan sweater rajut sudah disiapkan.Tidak ada Luga, Yerinsa tidak perlu berdandan seperti boneka dengan dress lolita. Tapi, seperti yang pernah Luga katakan, rantai Yerinsa kembali dipasang jika laki-laki itu meninggalkan mansion.Selesai memakai pakaian, Yerinsa digiring keluar dari ruang ganti dan duduk di kursi meja rias. Chang Mei mendekati nona muda itu dan meraih sisir di meja nakas, baru satu sisiran, sejumlah rambut rontok tersangkut di gigi sisir.Yerinsa juga melihat itu, hanya berwajah tenang seperti biasa karena sudah tidak asing lagi dengan kerontokan sejak sebelum diculik. Rambut coklat kemerahan itu
***Pemberitahuan dari satu pengawal menghentikan langkah tenang Luga beberapa langkah di depan sebuah ruang rawat. Sejenak Luga hanya menatap pintu bercat hitam itu, bisa melihat ke dalam ruangan dari kaca persegi panjang di tengah atas pintu.Melihat seorang pria bersandar setengah terbaring di ranjang rawat tampak sedang bicara pada wanita yang mengeluarkan ekspresi rumit. Hanya ada pasangan itu di sana, gadis yang berwajah jiplakan Yerinsa tidak terlihat.Dengan buku jari Luga mengetuk pintu menginterupsi obrolan di dalam sana, beberapa saat menunggu Margareth mendekat untuk membukakan pintu, akhirnya benda itu dibuka."Ah, Tuan Luga." Margareth tampak sedikit terkejut dengan kedatangan tamu itu, melirik sebentar pada sang suami di ranjang, lalu menatap Luga lagi dengan senyum yang tidak sepenuhnya tulus."Masuklah, kamu berkunjung tepat saat suamiku siuman hari ini," ajak Margareth menunjukkan keramahan.Luga mengangguk, melangkah masuk sendiri setelah pintu dibuka lebih lebar, s
***Bantingan pintu mansion terdengar keras memecah keheningan malam, menyentak para pelayan yang menyambut di lantai pintu utama. Ekspresi keras Luga menandakan suasana hatinya sedang tidak bisa diajak beramah-tamah.Di antara para pelayan, tidak ada yang tau alasan kemarahan laki-laki itu tersulut, mereka bahkan tidak menduga kedatangan sang tuan muda yang begitu mendadak malam ini, hampir di saat semua penghuni kediaman sudah tidur."Tuan Muda, apakah Anda membutuhkan sesuatu?" Kepala pelayan bertanya dengan nada hati-hati."Tidak." Luga menjawab singkat sambil terus melangkah.Mantel dengan sedikit salju menempel di bagian pundak dilepas Luga kasar, melempar sembarangan ke arah seorang pelayan sambil terus menuju tangga utama.Langkah kaki berbalut jeans hitam dan sepatu vans putih menggema di tangga hingga ke lorong lantai dua. Dengan atasan sweater, tujuannya hanya satu, kamar Yerinsa.Luga membuka pintu kamar tidur tanpa menurunkan sedikitpun intensitas langkah, pencahayaan tem
***"Masuk," suruh Luga tidak terlalu keras.Pintu itu perlahan terbuka, Chang Mei masuk diikuti Ruan Ruan membawa sebuah nampan di tangan. Tampak linglung sesaat untuk meletakkan di mana mangkuk sarapan itu, berusaha tidak terlalu lama menatap pasangan di atas ranjang.Luga menyibak selimut pelan-pelan. "Siapkan air hangat!" perintahnya rendah."Saya siapkan," sahut Ruan Ruan segera bergegas ke kamar mandi, sementara Chang Mei menata sarapan di meja di depan sofa.Luga menggendong gadis dalam pelukan untuk turun dari kasur, memasuki kamar mandi melihat pelayan mengisi bathup dengan air dari keran yang mengeluarkan uap hangat, dan cairan wewangian."Sudah, Tuan," kata Ruan Ruan berbalik dari bak mandi ke arah Luga yang berdiri di ambang pintu.Melihat bathup sudah penuh terisi air dan busa samar di permukaan, Luga mendekat dan dengan lembut merendam Yerinsa. Ada sedikit reaksi dari tubuh itu, bergidik dan melenguh pelan, tanpa sadar mencengkeram ujung baju Luga."Siapa yang mengganti
***Bagi orangtua, tidak akan ada hal yang lebih berharga dari keluarga dan anak-anak, begitupun Margareth dan Abrady. Mereka bisa saja rela kehilangan harta benda dan kekayaan, tapi tidak untuk melepaskan putri tercinta.Yerinsa adalah putri yang bahkan mereka besarkan seperti cangkang telur mudah pecah, dan bagi Gabriella dia adalah setengah jiwanya yang terpecah sejak di dalam kandungan.Bagaimana mereka bisa melepaskan sosok yang seperti permata?Dua bulan melewati masa pemulihan, Abrady dinyatakan sembuh dan boleh pulang dari rumah sakit. Dengan itu keluarga De Vries perlahan merintis naik kembali usaha mereka, dibantu sokongan dari segelintir rekan bisnis dan kolega yang mau berbaik hati.Bantuan dari Luga juga sudah mereka hentikan, ditolak secara halus dan sopan, karena bagaimanapun mereka yakin Yerinsa bersama Luga, takut putri bungsu itu mendapat perlakuan tidak baik jika De Vries bersikap kasar.Pembicaraan yang dibawa Luga dua bulan lalu dengan sang kepala keluarga De Vrie