Petugas kasir berpikir bahwa dengan kekurangan yang hanya seribu tujuh ratus rupiah, pembelinya hanya cukup mengeluarkan selembar pecahan dua ribu rupiah untuk membayar. Dan lembaran dua ribu rupiah dengan warna abu-abu yang khas itu ia lihat ada cukup banyak di dompet orang itu. Tapi petugas kasir terkaget ketika tiba-tiba pembelinya mengeluarkan selembar uang seribu rupiah.
“Masih kurang tujuh ratus,” kata petugas kasir.
Walau pelan, terlihat jelas bahwa ia mulai tak sabar. Astrid yang melihat adegan itu dan merasa tidak nyaman dengan ulah rekannya yang ia kenal cukup pelit, diam-diam keluar meninggalkan barisan.
“Sabar ya, Mbak,” Jason kembali mengaduk-aduk isi dompet. “Naaah… ketemu deh.”
Tangan Jason terulur. Tangannya menjatuhkan dua keping lima ratusan dan dua ratusan langsung ke tangan petugas kasir. Tapi entah siapa yang salah, sekeping dua ratusan tadi rupanya tidak jatuh dengan sempurna sehingga menyebabk
Mendengar pertanyaan tadi, dengan ragu-ragu Sinyo menampilkan diri dan duduk di samping Dessy. Dion sendiri yang masih terlihat tidak suka pada Dessy memutuskan berpindah ke kursi lain yang kosong di sisi tengah perahu dan berpura-pura tidak mendengar percakapan antara Sinyo dengan Dessy. “Banyak orang bilang aku punya sikap aneh. Itu gara-gara pengalaman buruk di masa kecil.” “Apa yang terjadi? Coba ceritain singkat aja.” “Di kampung aku di Tahuna, saat pagi hari sekitar jam sepuluh, aku pernah kecemplung ke dalam kuali besar. Isinya... anu.... isinya....” “Ramuan ajaib?” “Bukan. Itu kisah Obelix, temannya Asterix.” “O iya.” “Kalau cerita Sinyo, temannya Dion, bukan seperti itu.” “Bagaimana itu?” “Aku pernah kecemplung ke dalam kuali besar.” “Isinya?” “Cap tikus.” “Tikus?” “Cap tikus, itu lho minuman arak di daerah ini,” katanya sambil menerawang. “I
Dion terpekur. Jarinya memain-mainkan ujung-ujung tali tikar yang mencuat keluar karena semakin lapuk termakan usia. “Perubahan bukanlah perubahan,” ucap orangtua itu. Dan sebelum melanjutkan Dion sudah keburu menyambung kalimat yang terputus itu. “... sampai perubahan itu terjadi.” Segurat baris membentuk senyum di bibir orangtua itu. Ia memberi isyarat gerakan kepala ke arah dermaga yang dimaknai Dion sebagai sebuah perintah untuk pergi menemui Dessy. Tak lama kemudian. Di dermaga, di sebuah undakan kayu yang dijadikan tempatnya duduk, Dessy memegang erat-erat tas yang sedari tadi dibawanya. Matanya sembab karena cukup lama terlarut dalam tangis. Hawa dingin udara laut mulai merasuk kulit. Seiring beranjak malam, temperatur yang menurun membuat rasa dingin mulai membuatnya menggigil. Pakaian yang dikenakannya pun kini menjadi lembab akibat terus-menerus terkena tampias air laut yang menerpa tubuh di sepanjang pe
Bentakan skala seratusan desibel itu membuat Dion tak lagi ragu. Di depan gadis itu, ia melepas jins dan dengan hanya celana dalam menempel di tubuh ia menceburkan diri ke dalam laut. Dengan cepat ia berenang, meraih tas Dessy yang sempat hanyut, dan dengan perkasa kembali naik ke atas dermaga. Tak terkira rasa syukur dalam hati Dessy. Tak lama kemudian di tengah gerimis yang mulai turun, keduanya berjalan kaki ke arah rumah keluarga Dion. “Terima kasih udah nolongin gue.” Dion yang sudah kembali berpakaian lengkap hanya membalas dengan mengangguk kecil. Namun tak urung ia bersuara juga ketika melihat Dessy tersenyum-tersenyum. “Kamu pasti mengingat-ingat peristiwa tadi ya,” kata Dion serius. “Asal kamu tahu, aku berangkat dari rumah dalam keadaan terburu-buru karena kapal sudah mau berlayar. Hari pun masih gelap. Akhirnya aku memakai yang ada saja. Jadi kumohon tolong diam saja. Jangan bahas apa yang tadi kamu lihat.” “Ohhh OK....” Dessy tetap menanggapi dengan tawa tertahan. “J
Dengan hanya Dessy yang menyantap dengan sendok, acara makan malam di tengah rintik hujan pun dimulai. Dessy yang mulanya malu-malu, tak dapat lagi menahan hasrat ketika sebagian demi sebagian makanan tadi mengisi lambungnya. Makan siang serba sedikit akibat kesibukan program audisi, perjalanan panjang yang menguras energy dan emosi, serta menu serba lezat menjadi kolaborasi yang sempurna dalam ia menikmati santap malamnya. “Pingkan nanti sehabis makan jangan lupa cuci piringnya ya, Nak.” Pingkan yang baru saja mengakhiri santapannya mengiyakan. Ia mengambil piring dan gelasnya sendiri serta piring Dion dan ibunya yang sudah lebih dulu selesai dan kemudian pergi ke dapur. Siap melaksanakan apa yang tadi diminta ibunya. Dessy memandang dengan takjub karena di usia remaja Pingkan te
“Itu kubeli dari hasil tabunganku sendiri,” ungkap Dion. "Mengenai mutunya, tak patut dibandingkan dengan Epiphone Hummingbird." "Kamu masih ingat gitar itu?" “Aku jadi meyakini sesuatu yaitu di antara begitu banyak perbedaan, kesukaan bermain gitar mungkin adalah satu-satunya kesamaan di antara kita berdua.” Dessy tersenyum kecil pertanda menyetujui pandangan Dion tadi. Jemarinya kembali mendenting barisan senar. Melantun nada-nada baru. “Gue baru sadar nih. Bahasa Indonesia elo udah pinter ya. Nggak kaya’ dulu. Bikin mumet yang denger.” Dion tersenyum kecil, melihati permainan gitar Dessy. “Elo ngeliatin gue?” Dion menggeleng. “Untuk apa? Aku melihati permainan gitarmu.” Ge-er, pikir Dessy. “Kamu sedang menciptakan lagu?” Senyum Dessy berubah menjadi tawa. “Cuma suka aja genjrang-genjreng atau metik senar doang. Kenapa? Keren ya?” “Ya. Kamu lagi menc
“Dan masalah tante Sonya, coba introspeksi. Penilaianmu gak berlebihan kah? Sampai tega-teganya kamu nuduh penghuni kost lain terlalu agresif ngedekatin kamu.” “Kalau aku masuk kamar dan menemui dia tahu-tahu sudah berbaring di ranjangku dan itu sudah terjadi dua kali, berlebihankah pendapatku? Atau aku harus menunggu sampai sebuah kejadian terjadi?” Dion masih berujar beberapa kalimat yang sebetulnya sudah tak lagi Dessy perhatikan. Ia hanya memperhatikan gerakan bibirnya. O betapa ia tenggelam dalam rasa rindu berkepanjangan. Rasa rindu yang membuatnya ingin membaringkan diri di dada bidang itu. Menangis, melingkari leher dengan kedua lengan, dan mencurahkan segala bentuk galau yang lama terpendam. Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Sudah ada sesuatu yang terjadi. Ia kini sedang tak lagi sendiri. Ada pria lain. Bukan Arjun, tapi pria lain yang ia tahu sedang mengasihi dan menanti dirinya. Seorang pria yang ia terima kehadirannya setelah didera letih dan keputusasaan menanti
“Kamu yang malas bangun pagi lantas kenapa kamu marah-marah ke aku?” “Ya eyalah.” Dessy menghentak kaki dengan kesal dengan air mata mulai kembali menganaksungai di pipinya. “Gara-gara elo, gue ketinggalan. Elo tau kan kalo gue pengen cepet pulang. Gue gak mau lebih lama disini, tauk!” “Oh baguuus. Kamu yang ceroboh kenapa aku yang kamu salahkan?” “Elo bisa bangunin gue,” katanya tak mau kalah. “Aku sudah bangunkan dirimu!” jawab Dion keras. “Aku, Pingkan, Mama sudah bangunkan kamu. Apakah ini gaya hidup kamu selama ini ya? Susah tidur, susah pula saat dibangunkan?” Dessy mengerenyitkan kening. Dion sampai harus meyakinkan kembali. “Aku tidak bohong. Karena kamu tidak bangun-bangun kupikir kamu mau berangkat dengan kapal berikutnya. Kamu sempat bangun, jalan-jalan sebentar, tapi ternyata bobo’ lagi.” “J-jalan sambil tidur ya?” tanyanya retoris. Intonasinya pun melemah seketika.“Itu memang kebiasaan dari kecil yan
“Nggak, eh, nyanda Oom. Aku cuma mau tanya nomor telpon pemilik kapal di Manado untuk aku carter satu unit. Kata Dion, Oom punya nomornya.” Oom Allo terduduk di bangku kapal. “Oohh.. nomor ponsel?” “Iya, eh, iyooo. Aku mau carter dia pe kapal,” jawab Dessy yang mulai sedikit-sedikit bisa berbahasa daerah. Tak sulit memang karena kosakata bahasa Manado yang banyak berasimilasi dengan bahasa Indonesia. “Nona mau ke mana?” “Ke Manado.” “Nona mau pulang?” “Iya.” “Untuk apa?”