Dengan hanya Dessy yang menyantap dengan sendok, acara makan malam di tengah rintik hujan pun dimulai. Dessy yang mulanya malu-malu, tak dapat lagi menahan hasrat ketika sebagian demi sebagian makanan tadi mengisi lambungnya. Makan siang serba sedikit akibat kesibukan program audisi, perjalanan panjang yang menguras energy dan emosi, serta menu serba lezat menjadi kolaborasi yang sempurna dalam ia menikmati santap malamnya. “Pingkan nanti sehabis makan jangan lupa cuci piringnya ya, Nak.” Pingkan yang baru saja mengakhiri santapannya mengiyakan. Ia mengambil piring dan gelasnya sendiri serta piring Dion dan ibunya yang sudah lebih dulu selesai dan kemudian pergi ke dapur. Siap melaksanakan apa yang tadi diminta ibunya. Dessy memandang dengan takjub karena di usia remaja Pingkan te
“Itu kubeli dari hasil tabunganku sendiri,” ungkap Dion. "Mengenai mutunya, tak patut dibandingkan dengan Epiphone Hummingbird." "Kamu masih ingat gitar itu?" “Aku jadi meyakini sesuatu yaitu di antara begitu banyak perbedaan, kesukaan bermain gitar mungkin adalah satu-satunya kesamaan di antara kita berdua.” Dessy tersenyum kecil pertanda menyetujui pandangan Dion tadi. Jemarinya kembali mendenting barisan senar. Melantun nada-nada baru. “Gue baru sadar nih. Bahasa Indonesia elo udah pinter ya. Nggak kaya’ dulu. Bikin mumet yang denger.” Dion tersenyum kecil, melihati permainan gitar Dessy. “Elo ngeliatin gue?” Dion menggeleng. “Untuk apa? Aku melihati permainan gitarmu.” Ge-er, pikir Dessy. “Kamu sedang menciptakan lagu?” Senyum Dessy berubah menjadi tawa. “Cuma suka aja genjrang-genjreng atau metik senar doang. Kenapa? Keren ya?” “Ya. Kamu lagi menc
“Dan masalah tante Sonya, coba introspeksi. Penilaianmu gak berlebihan kah? Sampai tega-teganya kamu nuduh penghuni kost lain terlalu agresif ngedekatin kamu.” “Kalau aku masuk kamar dan menemui dia tahu-tahu sudah berbaring di ranjangku dan itu sudah terjadi dua kali, berlebihankah pendapatku? Atau aku harus menunggu sampai sebuah kejadian terjadi?” Dion masih berujar beberapa kalimat yang sebetulnya sudah tak lagi Dessy perhatikan. Ia hanya memperhatikan gerakan bibirnya. O betapa ia tenggelam dalam rasa rindu berkepanjangan. Rasa rindu yang membuatnya ingin membaringkan diri di dada bidang itu. Menangis, melingkari leher dengan kedua lengan, dan mencurahkan segala bentuk galau yang lama terpendam. Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Sudah ada sesuatu yang terjadi. Ia kini sedang tak lagi sendiri. Ada pria lain. Bukan Arjun, tapi pria lain yang ia tahu sedang mengasihi dan menanti dirinya. Seorang pria yang ia terima kehadirannya setelah didera letih dan keputusasaan menanti
“Kamu yang malas bangun pagi lantas kenapa kamu marah-marah ke aku?” “Ya eyalah.” Dessy menghentak kaki dengan kesal dengan air mata mulai kembali menganaksungai di pipinya. “Gara-gara elo, gue ketinggalan. Elo tau kan kalo gue pengen cepet pulang. Gue gak mau lebih lama disini, tauk!” “Oh baguuus. Kamu yang ceroboh kenapa aku yang kamu salahkan?” “Elo bisa bangunin gue,” katanya tak mau kalah. “Aku sudah bangunkan dirimu!” jawab Dion keras. “Aku, Pingkan, Mama sudah bangunkan kamu. Apakah ini gaya hidup kamu selama ini ya? Susah tidur, susah pula saat dibangunkan?” Dessy mengerenyitkan kening. Dion sampai harus meyakinkan kembali. “Aku tidak bohong. Karena kamu tidak bangun-bangun kupikir kamu mau berangkat dengan kapal berikutnya. Kamu sempat bangun, jalan-jalan sebentar, tapi ternyata bobo’ lagi.” “J-jalan sambil tidur ya?” tanyanya retoris. Intonasinya pun melemah seketika.“Itu memang kebiasaan dari kecil yan
“Nggak, eh, nyanda Oom. Aku cuma mau tanya nomor telpon pemilik kapal di Manado untuk aku carter satu unit. Kata Dion, Oom punya nomornya.” Oom Allo terduduk di bangku kapal. “Oohh.. nomor ponsel?” “Iya, eh, iyooo. Aku mau carter dia pe kapal,” jawab Dessy yang mulai sedikit-sedikit bisa berbahasa daerah. Tak sulit memang karena kosakata bahasa Manado yang banyak berasimilasi dengan bahasa Indonesia. “Nona mau ke mana?” “Ke Manado.” “Nona mau pulang?” “Iya.” “Untuk apa?” 
“Terima kasih. Tapi apa yang membuat kak Dessy terlihat baik di matamu? Kita belum pernah ketemu sebelumnya.” “Sikap seseorang pasti kelihatan dari perilakunya, baik perilaku dalam kata-kata dan tindakan. Sama halnya bahwa darah yang akan dipergunakan sebagai petunjuk kesehatan hanya diperlukan dalam jumlah sedikit – bahkan kalau perlu setetes – begitu juga sikap manusia.” Dessy terkesima. Tak menyangka bisa begitu dalam pemikiran bocah ini. “Jadi menurutmu kak Dessy ini orang baik?” “Sangat baik.” “Kak Dessy kadang jutek lho.” “Nggak apa-apa. Itu wajar. Anggap saja bumbunya.” Dessy tersanjung. Ia spontan memeluk bahu Pingkan. “Kamu pintar memikat hati orang,” cetus Dessy dalam peluknya. “Kakak juga. Kakak lebih pintar lagi.” Dessy tersenyum sampai kemudian Pingkan menyambung. “Kak gunakan kepintaran itu juga untuk kakakku
“Sori banget, Dion. Tapi, selama sembilan tahun, gue cari elo. Dan gue cari secara non stop. Di F*, Twitter, I*, dan medsos lain. Berharap elo buka akun supaya gue bisa lacak keberadaan elo. Gue juga minta bantuan Monique, Farel, semuanya untuk infoin gue kalo elo sempat contact mereka. Semua dengan satu tujuan yaitu untuk minta maaf atas kebrengsekan gue selama di sekolah.” “K-kamu nyari aku?” Dessy menatap ke arah Dion dengan tatap penuh penyesalan. “Forgive me.” Mata Dessy berkejap-kejap. “Maafin gue, Dion. Gue ngedatengin tempat elo kost, cuma untuk nemuin kesedihan-kesedihan berikutnya. Kesedihan karena elo kembaliin ponsel dari Mama yang sebetulnya kami kasih dengan tulus. Kesedihan karena elo juga tinggalin SIM card di dalemnya yang berarti elo nggak mau lagi gue hubungi. Soal pedal efek juga dimana elo harus ganti rugi padahal gue yang rusakin.” “Hari itu adalah hari ulang tahun gue ketujuhbelas,” Dessy melanjutkan sambil sekuat tenaga menahan airmata yang sejak tadi sudah
Semua pergerakan di bawah air yang amat jernih disaksikan Dessy dengan kagum. Tak sadar bahwa ia sendiri sebetulnya tengah diperhatikan Sinyo. Walau dari desa, Sinyo tak bodoh. Ia mengetahui dengan pasti bahwa suasana hati Dessy terhadap sahabatnya telah berubah. Ada aura rindu berbalut kagum dan ketertarikan yang besar terpancar dari sorot mata gadis itu. Sinyo mendehem agak keras sehingga Dessy menoleh ke arahnya. “Kalian sudah berbaikan?” Dari atas kapal, pertanyaan itu dijawab Dessy dengan anggukan kecil. “Syukurlah. Sahabatku ini memang lugu, keras kepala, tapi sebetulnya dia baik. Hanya memang Dion kurang pandai dalam menyampaikannya.” “Aku tahu. Terima kasih untuk kebaikanmu.” Berteman ikan warna-warni, di bawah laut masih terlihat Dion yang tengah sibuk menanam bibit-bibit karang. “O ya,” Dessy mendadak teringat sesuatu. “Aku sudah kasih nomor telponku ke Pingkan. Kalau ada apa-apa, misalny