“Terima kasih. Tapi apa yang membuat kak Dessy terlihat baik di matamu? Kita belum pernah ketemu sebelumnya.”
“Sikap seseorang pasti kelihatan dari perilakunya, baik perilaku dalam kata-kata dan tindakan. Sama halnya bahwa darah yang akan dipergunakan sebagai petunjuk kesehatan hanya diperlukan dalam jumlah sedikit – bahkan kalau perlu setetes – begitu juga sikap manusia.”
Dessy terkesima. Tak menyangka bisa begitu dalam pemikiran bocah ini.
“Jadi menurutmu kak Dessy ini orang baik?”
“Sangat baik.”
“Kak Dessy kadang jutek lho.”
“Nggak apa-apa. Itu wajar. Anggap saja bumbunya.”
Dessy tersanjung. Ia spontan memeluk bahu Pingkan.
“Kamu pintar memikat hati orang,” cetus Dessy dalam peluknya.
“Kakak juga. Kakak lebih pintar lagi.”
Dessy tersenyum sampai kemudian Pingkan menyambung.
“Kak gunakan kepintaran itu juga untuk kakakku
“Sori banget, Dion. Tapi, selama sembilan tahun, gue cari elo. Dan gue cari secara non stop. Di F*, Twitter, I*, dan medsos lain. Berharap elo buka akun supaya gue bisa lacak keberadaan elo. Gue juga minta bantuan Monique, Farel, semuanya untuk infoin gue kalo elo sempat contact mereka. Semua dengan satu tujuan yaitu untuk minta maaf atas kebrengsekan gue selama di sekolah.” “K-kamu nyari aku?” Dessy menatap ke arah Dion dengan tatap penuh penyesalan. “Forgive me.” Mata Dessy berkejap-kejap. “Maafin gue, Dion. Gue ngedatengin tempat elo kost, cuma untuk nemuin kesedihan-kesedihan berikutnya. Kesedihan karena elo kembaliin ponsel dari Mama yang sebetulnya kami kasih dengan tulus. Kesedihan karena elo juga tinggalin SIM card di dalemnya yang berarti elo nggak mau lagi gue hubungi. Soal pedal efek juga dimana elo harus ganti rugi padahal gue yang rusakin.” “Hari itu adalah hari ulang tahun gue ketujuhbelas,” Dessy melanjutkan sambil sekuat tenaga menahan airmata yang sejak tadi sudah
Semua pergerakan di bawah air yang amat jernih disaksikan Dessy dengan kagum. Tak sadar bahwa ia sendiri sebetulnya tengah diperhatikan Sinyo. Walau dari desa, Sinyo tak bodoh. Ia mengetahui dengan pasti bahwa suasana hati Dessy terhadap sahabatnya telah berubah. Ada aura rindu berbalut kagum dan ketertarikan yang besar terpancar dari sorot mata gadis itu. Sinyo mendehem agak keras sehingga Dessy menoleh ke arahnya. “Kalian sudah berbaikan?” Dari atas kapal, pertanyaan itu dijawab Dessy dengan anggukan kecil. “Syukurlah. Sahabatku ini memang lugu, keras kepala, tapi sebetulnya dia baik. Hanya memang Dion kurang pandai dalam menyampaikannya.” “Aku tahu. Terima kasih untuk kebaikanmu.” Berteman ikan warna-warni, di bawah laut masih terlihat Dion yang tengah sibuk menanam bibit-bibit karang. “O ya,” Dessy mendadak teringat sesuatu. “Aku sudah kasih nomor telponku ke Pingkan. Kalau ada apa-apa, misalny
Sinyo pura-pura tak mendengar dan malah makin menambah kecepatan. Tak ada jalan lain. Mau tak mau Dion memang harus menumpang speedboat yang dinaiki Dessy. Dengan malas-malasan Dion kembali mendekati tepi kapal. “Perlu gue bantu?” tanya Dessy sembari mengulurkan tangan ketika Dion sudah tiba di sisi kapal. Dion tak keberatan. Dengan dibantu Dessy ia naik ke atas kapal dan duduk di bangku persis di depan Dessy. Ketika Dion belum lagi duduk dengan sempurna, Dessy sudah buru-buru mengeluarkan sapu tangan dan sebungkus kertas tisyu dari tasnya yang belum pernah dibuka, dan menyodorkan ke Dion. Di saat itulah Dessy terpana. Matanya lekat menatap postur maskulin seorang pemuda 26 - 27 tahun di depannya. Dalam jarak tak lebih dari satu meter, tubuh atletis dengan dada bidang dan perut rata six-pack di depannya sungguh membuat Dessy tercekat. Kendati tak putih benar karena acap terbakar matahari tubuh Dion terlihat bersih tanpa rajah setitik p
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....