Gimme your heart. Be with me forever.
I’m gonna thank God when you’re mine.
Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana.
Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana.
*
Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
“Ayolah.” “Nggak bisa, Ma.” “Kamu sayang Mama kan?” “Sangat.” “Nah itulah. Kamu itu ganteng lho.” “Ngerti, Ma.” “Ya udah. Lakukanlah.” “Noooo. Please, Mama.” “Mama udah nggak tahan. Apa Mama yang perlu cariin di sini?” Percakapan antara Adri dengan Mama, ibunya nun jauh di sana itu sebetulnya terjadi dalam bahasa lokal mereka. Tapi apa pun itu, Adri tengah gundah bin galau. Entah karena dipengaruhi orang atau sesuatu kondisi tertentu tapi sudah beberapa kali ini sang ibu menelpon. Topik obrolan sih awalnya biasa saja. Menanyakan kondisi kesehatan, cuaca, biaya sekolah. Tapi ujung-ujungnya selalu bertanya lagi kapan dirinya punya jodoh. Jodoh? Halowww, pacar pun dirinya belum punya. Pacaran pun belum pernah. Means what? Yup! He’d never been kissed before. Sekalipun ia berasal dari sebuah desa yang tergolong terpencil bukan berarti ia tidak mengikuti perkembangan zaman. Koq tega sih di era kayak gini mau nikahin anaknya yang masih SMA! * Prannngggg!!! Sebuah tempat alat-alat
Sehabis pelajaran olahraga, saat mengganti baju di toilet, Adrianus dikerjai lagi. Entah siapa yang jadi pelakunya. Kamar mandi pria di sekolah itu punya sekat-sekat toilet dan Adri menggunakan salah satu tempat itu untuk mengganti baju. Karena kebetulan di toilet yang dia masuki tidak ada tempat mencantel baju, ia menyangkutkan begitu saja kaosnya yang sudah sangat berkeringat di pintu toilet bersama dengan seragam yang akan ia pakai setelah itu. Tidak lama kemudian ia menyadari kedua pakaian itu tak lagi di tempatnya. Ia meminta dengan sopan untuk dikembalikan, tapi tidak ada yang tahu siapa pelakunya. Tidak ada juga yang tahu dimana mereka menyembunyikan. Mereka seperti sepakat menyatakan tidak tahu. Ada juga satu anak lain yang tahu tapi sepertinya terlalu takut untuk mengatakan kebenaran. Ini membuat Adri mau tidak mau harus keluar kamar mandi dan mencari kesana kemari. Dan dalam pencarian itulah mukanya harus merah padam menahan ma
Pernah suatu saat dalam pelajaran Bahasa Inggris, para siswa diminta membaca buku berbahasa Inggris yang bisa dipinjam dari perpustakaan atau bawa sendiri dari rumah. Di situ para siswa harus memilih sebuah buku dan menguasai satu bab sebelum kemudian memberikan penjelasan di depan kelas namun dalam Bahasa Inggris. Bukunya boleh fiksi atau non fiksi. Ini sudah dilakukan minggu lalu dan minggu ini, tepatnya hari ini, juga dilakukan pengajaran dengan cara yang sama. Apa yang dibaca siswa pada hari itu haruslah sama dengan yang dibaca minggu lalu.Nah, di sinilah kreatifitas iseng Arjun bekerja. Ia melihat bahwa buku yang dipilih oleh Adri adalah sebuah buku dimana cover bukunya ada dua buah. Cover pertama yang menyatu dengan buku, dan cover kedua sebagai cover utama adalah yang full color dan bisa dilepas.Hari itu, Arjun kembali mengerjai Adri. Ia rupanya sudah merancang sejak kemarin untuk melakukan aksi isengnya. Ketika guru keluar ruangan
Latar belakang Adri memang beda dan tidak ada yang istimewa dari dirinya. Latar belakang ekonominya biasa saja. Miskin sekali jelas tidak, namun ia sangat jauh untuk bisa disebut kaya. Si Bopung, alias bocah kampung adalah julukan yang diberikan Arjun cs. Si bopung yang sudah tak berayah ini di beberapa hari pertama sudah lazim dipanggil ‘Tarzan’ karena ucapan dan ulahnya yang memang ‘katro'' alias kampungan sekali.Tentu tidak semua masalah yang Adri alami adalah karena ulah Arjun. Terlepas dari itu Adri memiliki kebiasaan-kebiasaan yang terbawa-bawa dari kampung halaman yang tak lagi lazim ketika diterapkan di kota besar seperti Jakarta. Dan kebiasaan-kebiasaan yang terasa aneh itu jelas saja menjadi jalan untuk dirinya mengalami perundungan. Butuh penyesuaian cukup lama sebelum kebiasaan kampungannya menghilang. Memasuki bulan ketiga, tak ada lagi kejadian Adri mengangkat satu kaki di bangku ketika menikmati