“Kamu yang malas bangun pagi lantas kenapa kamu marah-marah ke aku?” “Ya eyalah.” Dessy menghentak kaki dengan kesal dengan air mata mulai kembali menganaksungai di pipinya. “Gara-gara elo, gue ketinggalan. Elo tau kan kalo gue pengen cepet pulang. Gue gak mau lebih lama disini, tauk!” “Oh baguuus. Kamu yang ceroboh kenapa aku yang kamu salahkan?” “Elo bisa bangunin gue,” katanya tak mau kalah. “Aku sudah bangunkan dirimu!” jawab Dion keras. “Aku, Pingkan, Mama sudah bangunkan kamu. Apakah ini gaya hidup kamu selama ini ya? Susah tidur, susah pula saat dibangunkan?” Dessy mengerenyitkan kening. Dion sampai harus meyakinkan kembali. “Aku tidak bohong. Karena kamu tidak bangun-bangun kupikir kamu mau berangkat dengan kapal berikutnya. Kamu sempat bangun, jalan-jalan sebentar, tapi ternyata bobo’ lagi.” “J-jalan sambil tidur ya?” tanyanya retoris. Intonasinya pun melemah seketika.“Itu memang kebiasaan dari kecil yan
“Nggak, eh, nyanda Oom. Aku cuma mau tanya nomor telpon pemilik kapal di Manado untuk aku carter satu unit. Kata Dion, Oom punya nomornya.” Oom Allo terduduk di bangku kapal. “Oohh.. nomor ponsel?” “Iya, eh, iyooo. Aku mau carter dia pe kapal,” jawab Dessy yang mulai sedikit-sedikit bisa berbahasa daerah. Tak sulit memang karena kosakata bahasa Manado yang banyak berasimilasi dengan bahasa Indonesia. “Nona mau ke mana?” “Ke Manado.” “Nona mau pulang?” “Iya.” “Untuk apa?” 
“Terima kasih. Tapi apa yang membuat kak Dessy terlihat baik di matamu? Kita belum pernah ketemu sebelumnya.” “Sikap seseorang pasti kelihatan dari perilakunya, baik perilaku dalam kata-kata dan tindakan. Sama halnya bahwa darah yang akan dipergunakan sebagai petunjuk kesehatan hanya diperlukan dalam jumlah sedikit – bahkan kalau perlu setetes – begitu juga sikap manusia.” Dessy terkesima. Tak menyangka bisa begitu dalam pemikiran bocah ini. “Jadi menurutmu kak Dessy ini orang baik?” “Sangat baik.” “Kak Dessy kadang jutek lho.” “Nggak apa-apa. Itu wajar. Anggap saja bumbunya.” Dessy tersanjung. Ia spontan memeluk bahu Pingkan. “Kamu pintar memikat hati orang,” cetus Dessy dalam peluknya. “Kakak juga. Kakak lebih pintar lagi.” Dessy tersenyum sampai kemudian Pingkan menyambung. “Kak gunakan kepintaran itu juga untuk kakakku
“Sori banget, Dion. Tapi, selama sembilan tahun, gue cari elo. Dan gue cari secara non stop. Di F*, Twitter, I*, dan medsos lain. Berharap elo buka akun supaya gue bisa lacak keberadaan elo. Gue juga minta bantuan Monique, Farel, semuanya untuk infoin gue kalo elo sempat contact mereka. Semua dengan satu tujuan yaitu untuk minta maaf atas kebrengsekan gue selama di sekolah.” “K-kamu nyari aku?” Dessy menatap ke arah Dion dengan tatap penuh penyesalan. “Forgive me.” Mata Dessy berkejap-kejap. “Maafin gue, Dion. Gue ngedatengin tempat elo kost, cuma untuk nemuin kesedihan-kesedihan berikutnya. Kesedihan karena elo kembaliin ponsel dari Mama yang sebetulnya kami kasih dengan tulus. Kesedihan karena elo juga tinggalin SIM card di dalemnya yang berarti elo nggak mau lagi gue hubungi. Soal pedal efek juga dimana elo harus ganti rugi padahal gue yang rusakin.” “Hari itu adalah hari ulang tahun gue ketujuhbelas,” Dessy melanjutkan sambil sekuat tenaga menahan airmata yang sejak tadi sudah
Semua pergerakan di bawah air yang amat jernih disaksikan Dessy dengan kagum. Tak sadar bahwa ia sendiri sebetulnya tengah diperhatikan Sinyo. Walau dari desa, Sinyo tak bodoh. Ia mengetahui dengan pasti bahwa suasana hati Dessy terhadap sahabatnya telah berubah. Ada aura rindu berbalut kagum dan ketertarikan yang besar terpancar dari sorot mata gadis itu. Sinyo mendehem agak keras sehingga Dessy menoleh ke arahnya. “Kalian sudah berbaikan?” Dari atas kapal, pertanyaan itu dijawab Dessy dengan anggukan kecil. “Syukurlah. Sahabatku ini memang lugu, keras kepala, tapi sebetulnya dia baik. Hanya memang Dion kurang pandai dalam menyampaikannya.” “Aku tahu. Terima kasih untuk kebaikanmu.” Berteman ikan warna-warni, di bawah laut masih terlihat Dion yang tengah sibuk menanam bibit-bibit karang. “O ya,” Dessy mendadak teringat sesuatu. “Aku sudah kasih nomor telponku ke Pingkan. Kalau ada apa-apa, misalny
Sinyo pura-pura tak mendengar dan malah makin menambah kecepatan. Tak ada jalan lain. Mau tak mau Dion memang harus menumpang speedboat yang dinaiki Dessy. Dengan malas-malasan Dion kembali mendekati tepi kapal. “Perlu gue bantu?” tanya Dessy sembari mengulurkan tangan ketika Dion sudah tiba di sisi kapal. Dion tak keberatan. Dengan dibantu Dessy ia naik ke atas kapal dan duduk di bangku persis di depan Dessy. Ketika Dion belum lagi duduk dengan sempurna, Dessy sudah buru-buru mengeluarkan sapu tangan dan sebungkus kertas tisyu dari tasnya yang belum pernah dibuka, dan menyodorkan ke Dion. Di saat itulah Dessy terpana. Matanya lekat menatap postur maskulin seorang pemuda 26 - 27 tahun di depannya. Dalam jarak tak lebih dari satu meter, tubuh atletis dengan dada bidang dan perut rata six-pack di depannya sungguh membuat Dessy tercekat. Kendati tak putih benar karena acap terbakar matahari tubuh Dion terlihat bersih tanpa rajah setitik p
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”