"Dia teman sekelas Kala di sekolahnya, makannya tadi mereka bertengkar." Vano tertawa kecil sedang Kala sudah cemberut dibuatnya saat Satria laki-laki itu berhasil menjelek-jelekkan dirinya. "Kamu kenapa? Kok tiba-tiba melamun sayang?"Mira sedikit menunduk, merasakan telapak tangannya yang bergetar aneh."Aku ... entah kenapa aku merasakan suatu hal yang akupun tidak tahu apa itu. Ada getaran aneh yang membuatku terpaku pada anak lelaki itu. Dia...""Mungkin itu hanya perasaan kita saja. Sudah, kita pulang saja, kamu ke sini pasti mau memberitahukan bahwa aku harus kembali bekerja bukan?" tanya Vano seraya menarik pinggang sang istri ke dalam dekapannya. "Mas, ini di luar, gak baik dalam pandangan anak-anak nantinya!"Vano tertawa kecil, "Baiklah, ayok."Tidak dipungkiri oleh Vano sendiri bahwa ia juga merasakan apa yang istrinya rasakan. Anak itu ... entah perasaan apa tapi kenapa terasa begitu mendesir ke dalam jiwanya? "Kau iblis kejam Vano! Bagaimana mungkin seorang Ayah tega m
Brugh! “Akh!" Vano meringis sakit saat tubuhnya di lempar hingga membentur sebuah tumpukan jerami. Sakit, namun bukan karena lemparan yang dilakukan sang pelaku, tapi karena kesehatannya yang memang tidak stabil. “Kau tau kesalahan kamu Vano?"Vano menghela nafas sejenak kemudian ia mendongak untuk menatap orang yang tak lain Evilin, di belakangnya ada dua orang pria yang memakai penutup muka. “Bukankah sudah aku peringati untuk tidak memberikan perhatian pada Bara?” ujar Evilin mengeram kesal. Kedua tangannya ia simpan di depan dada. Menatap geram orang yang selama ini ingin ia bunuh.“Ambil saja nyawaku, tapi lepaskan Bara dalam hal apapun. Jangan ganggu dia ...." Kepala Vano menunduk, tangannya mencengkram kuat kumpulan jerami untuk meluapkan segala rasa sakit. Mendengar hal itu Evilin semakin mengeram marah, segera saja ia mencengkram kuat kedua pipi Vano dan mendongakkan kepalanya. “Semudah itu? Jika keluargaku saja tidak bahagia, bagaimana mungkin aku akan membiarkan anak-an
Bara melajukan mobilnya dalam kecepatan di atas rata-rata. Ada perasaan gundah, cemas, khawatir semuanya menjadi campur aduk setelah menerima pesan dari seseorang yang sudah menculik Vano. Keringat dipelipisnya sudah bercucuran turun ke bawah hingga membasahi bajunya. Bukan hanya Vano yang ia cemaskan melainkan juga Barez yang ikut diculik oleh mereka. 2 jam yang lalu... "Ke mana Ayah pergi?" ucap Bara cemas. Sedari tadi ia memikirkan akan kondisi Ayahnya yang tidak stabil, ia benar-benar khawatir apabila ada apa-apa terhadapnya. Pada akhirnya Bara pulang sendirian, tidak menemukan Ayahnya. Ia pulang kerumah Laila karena memang kejadian itu berada di rumahnya. "Mas?" Laila yang sembari menunggu di halaman luar langsung berhambur mendekati suaminya. "Bagaimana? Apa Ayah? ""Mas tidak bisa menemukannya," jawabnya mendesah lelah. Laila melihat kecemasan yang begitu kentara di wajah suaminya. "Semuanya akan baik-baik saja, mungkin Ayah sedang ingin sendirian. Tidak mengapa, nanti ki
Bara memarkirkan mobilnya saat ia sampai ditempat tujuan. Segera ia berlari untuk mencari Ayah dan Barez. Menajamkan penglihatannya mata Bara terus mengerling ke sekeliling. Tempat ini, tempat yang paling ia suka dari bagian kenangan. Bersama Ayah, Bunda, Barez dan Kakaknya Kala. Dan dulu tempat ini begitu terurus menjadikan indah di setiap keadaan. Namun kini, tempat ini sudah lama tak terpakai, terbengkalai begitu saja. Nampak begitu angker seperti 1000 tahun yang tak terpakai. "Akh! Ampun... tolong ampuni saya..." Sebuah teriakan membuat Bara semakin mempercepat larinya. "Akh! Ampun..."Brak! Tepat suara ringisan itu terdengar, Bara menobrak pintu dengan menggunakan kaki. Seketika tubuhnya langsung terdiam tak berkutik. Di depan sana, Bara melihat dengan matanya sendiri di mana Vano di ikat dengan kedua tangan yang ditarik satu sama lainnya. Tangan kanannya diikat ke arah kanan dan tangan kirinya diikat di bagian kiri. Kepalanya menunduk dengan tubuh yang dipenuhi bercak merah
"Cih, gue benci lo Bara... dan saat ini gue hanya butuh jasad lo buat ketenangan gue! Dan ketenangan Sherin!"Bara terdiam dengan perasaan yang mulai bergejolak tinggi. "A-aku tidak mengerti apa yang kau katakan Barez. Sherin?"Barez mengepalkan tangannya kuat hingga semakin menarik tangan Bara ke belakang. Sungguh, ia benci ini! Benci segala hal yang membuatnya harus kembali mengingat rasa sakit ini. "Lo gak pernah tau apa-apa Bara! Karena lo gak pernah mau nyari kebenaran apapun! Lo egois! Lo hanya memikirkan diri lo sendiri! Dan dia! Pria tua itu, bahkan tak pernah mau memperbaiki atas apa yang dia perbuat! Lo dan dia, sama-sama manusia kejam yang pernah gue temui di muka bumi ini! Seharusnya dari dulu gue udah bunuh kalian berdua! Lo denger kan Bara?! Gue benci kalian berdua! Gue benci terlahir dari benih pria tua yang bahkan tega membuat istrinya mati karena depresi!""A-apa yang kau katakan Barez? Ap-apa semua ini?"Barez melepaskan Bara dengan kasar, kemudian ia berdiri untuk
"Barez... gimana kabar lo? Lo baik-baik aja?" tanya Sherin sembari duduk di samping Barez yang tengah menggambar. Barez bergeming. "Aku? Baik-baik saja."Sherin tertawa kecil. Ia menunduk lemah. "Kenapa lagi?" tanya Barez sesaat menatap Sherin yang menunduk lesu. "Seperti biasa," jawabnya. Barez menyimpan terlebih dahulu pensilnya. Ia menatap Sherin. "Hem, kalau gitu, bolehkan gue yang habisin?" Sherin mendongak, membalas tatapan Barez. Ia tertawa. Namun tawanya malah terlihat menyedihkan."Tentu saja." Ia mengangguk, segera membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak berisi makanan. "Maaf," ucapnya sebelum memberikan kotak makan tersebut kepada Barez. "Ck! Lo tau, makanan lo lah yang paling gue suka." Barez tertawa kecil, setelahnya membuka kotak makan yang berisi nasi goreng bercampur sosis. Di atasnya terdapat telur mata sapi. Nampak indah. "Bara gak pernah mau nerima ini. Tapi, gue gak pernah mau nyerah buat kasih dia makanan khusus buatan gue," ucap Sherin tersenyum keci
“Ayah, kenapa gubuk ini dinamakan gubuk terkutuk?" tanya Barez kecil yang saat itu berumur 6 tahun. Barez memegang tangan kanan Vano, sedang tangan kiri dipegang oleh Bara. Keduanya saling mendongak, Mira dan Kala juga saling melempar pandang kepada Vano. Vano tersenyum terlebih dahulu, kemudian ia sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya. “Kalian benar-benar ingin tahu?"“Ya!" serempak keduanya, Mira dan Kala ikut memgangguk, mereka sedikit mendekat untuk mengetahui ceritanya. “Baiklah. Kalian tahu, dahulu kala ada anggota keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan kedua anaknya. Keluarga itu hidup miskin selama puluhan tahun. Tidak punya uang, apalagi bahan makanan untuk dimakan."“Berhari-hari mereka menahan lapar, kedua anaknya terus merengek ingin makan. Saat itu, keluarga tersebut berjalan entah ke mana. Mereka melangkah tanpa tau tujuan. Yang mereka tau adalah mereka harus bisa mendapatkan makanan walau sekecil apapun itu."Vano bercerita sembari melangkahkan kakinya me
“Kak Rea, Mas Bara berbohong!" Laila menangis terisak dalam dekapan Rea. Dia menangis histeris saat tau bahwa Bara suaminya telah membohongi dirinya. “Kak, Mas Bara bohongin Laila...," lanjutnya semakin menderas. “Sutt, enggak Laila. Kamu percaya kan kalau suami kamu akan kembali? " tanya Rea berusaha mungkin menenangkan Laila. Setelah mendengar semua yang dikatakan Laila jelas membuat dirinya ikut cemas. “Tapi, dia belum kembali Kak. Mas Bara bahkan bohongin Laila akan tempat itu. Dia bilang bahwa Ayah dibawa ke Istana Kaveril, tapi setiba di sini tempat itu gak ada siapa-siapa Kak..." Ya, setelah bertanya kepada suaminya sebelum dia pergi, Laila langsung memberikan informasi kepada Reno dan Rea bahwa mereka disekap di Istana Kaveril, perbukitan Kaveril. Tapi nyatanya suaminya itu telah membohonginya. Ini bukan tempat yang sebenarnya. Bara benar-benar sengaja tidak memberi tahu kan di mana tempat yang sebenarnya. “Kak, Mas Bara Kak..." Laila semakin terisak, sungguh ia takut jik