Laila tidak pernah tau jika ternyata kepergiannya membuat Bara menjadi sakit. Kepergiannya malah membuat suaminya berujung ke rumah sakit. Sudah beberapa hembusan nafas ia keluarkan. Beberapa kali pula Laila terus menunggu di luar dengan kursi panjang yang menemani dirinya dalam keheningan. Sudah 3 kali ia meminta dokter agar memperbolehkan dirinya masuk tapi pihak dari mereka tetap belum mengizinkan dirinya untuk masuk. Rumah sakit menyebalkan! Seharusnya mereka mengerti kalau pasien yang terbaring di dalam sana itu membutuhkan dirinya. Sudah pukul 11 malam, namun Laila masih terjaga dalam menunggu. Sungguh ingin sekali ia melihat suaminya, sangat... ia benar-benar khawatir dan cemas kepada suaminya itu. Dena, dia selalu kemari untuk menemaninya, sekarang dia sudah pergi dua jam yang lalu karena ada urusan. Untung ujian telah selesai sebelum masalah ini terjadi, membuat Laila tidak terlalu terbebani. Saat Laila berkecamuk dengan isi pikirannya, sayup-sayup suara obrolan terdeng
"Mas Bara... "Dengan terisak Laila mencium semua wajah suaminya, setelahnya ia memeluknya. "Maafkan Laila, Mas. Maaf... ""Jangan mengatakan tidak mengingatku Mas... sungguh, hal itu membuatku sakit, " ucapnya setelah tadi mendengar Bara yang tidak mengingatnya. Sekilas Laila mendengar kekehan dari suaminya-Bara, membuat ia langsung menarik tubuhnya dan menatap suaminya. Puk! "Jahat! Mas ngerjain Laila! " cemberut nya setelah memukul pelan bahu Bara. Bara tertawa kecil lagi. Ia melepas selang oksigen terlebih dahulu. "Setelah kepergianmu dari rumah, Mas kira kau akan melupakan Mas. Makannya Mas berpikir seperti itu. "Laila mendelik, namun tak urung ia kembali memeluk Bara. "Jangan bilang Mas yang bakal ninggalin Laila? " tanyanya mengusap dada suaminya. Sungguh ia merindukan semuanya tentang suaminya ini. "Dan apa ini? Kenapa Laila baru tau kalau Mas sakit, ha? Kenapa kau sembunyikan ini Mas? " Laila menarik kepalanya. Nampak kemarahan yang ia tujukan. "La, bukan begitu--" L
"Keadaan Bara saat ini... kembali kambuh dengan jarak yang semakin dekat. Leukimia atau yang disebut kanker darah terjadi akibat tubuh yang memproduksi sel darah putih abnormal. Sel darah putih merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang diproduksi di dalam sumsum tulang. Ketika fungsi tulang terganggu,maka sel darah putih yang dihasilkan akan mengalami perubahan.""Perubahan yang terjadi pada Bara sudah mencapai Leukimia akut, di mana sel kanker terjadi sangat cepat dan gejalanya bisa memburuk dalam waktu singkat."Penjelasan Reno saat ini benar-benar mengguncang pertahanan Laila. Ia menangis sejadinya sembari membekap mulutnya agar tidak terdengar keras. Reno ikut memperihatin memberitahukan hal ini. Ia menghela nafas panjang sebelum mengusap pipinya yang ikut basah. Seharusnya ia tidak mengatakan kebenaran ini, hanya saja Laila terus memaksa, mendesaknya terus-menerus, membuat ia mau tak mau memberitahukan kebenarannya tentang Bara. Lagipula setelah dipikir-pikir, istrinya
"Bara bukan pembunuh, Bara bukan seorang pembunuh.""Kau anak pembawa sial! Kau seorang pembunuh Bara! Kau seorang pembunuh!"Kepala Bara terus menggeleng menghempaskan teriakan-teriakan yang menggema ditelinganya. Teriakan itu begitu berputar di dalam otaknya yang masih sangat muda. Bara yang kini berumur 10 tahun itu terjatuh lemas di tengah guyaran hujan yang semakin deras berjatuhan. Anak kecil itu menangis terisak. Sepi, dingin, sendiri. Ia menangis ditengah kesendiriannya. "Bara ... Bara sayang sama Bunda, kan?" tanya Mira saat itu yang lemah tak berdaya. Bara kecil mengangguk. Matanya memerah karena menangis. "Kalau begitu ... jaga Ayah kamu ya? Jaga Barez adik kamu... demi Bunda." Dengan susah payah Mira menjangkau pipi chubby Bara. "Sama seperti kau menjadi pelindung untuk Kakak kamu, kau juga harus bisa menjadi pelindung untuk mereka ..." Hembusan nafas Mira semakin nampak begitu menyesakkan. "B-bunda, Bunda ke-kenapa bicara gitu? Bunda gak akan pergi kan?" Anak beru
"La?""Heum?" jawab Laila yang sedari tadi terus memandang Bara. Masih dalam posisi yang sama dengan Bara yang masih terbaring di atas ranjang. "Apa--apa kamu mempunyai teman lelaki saat kamu kecil?" tanya Bara. Memastikan apakah Laila mengingat 11 tahun yang lalu atau tidak. Karena jelas bagi Bara, ia masih mengingatnya. Laila nampak berpikir setelahnya ia mengangguk antusias. "Aku mempunyainya..."Deg! Jantung Bara berdetak dua kali lebih cepat. Ia menatap lekat Laila. "Dia baik, sangat baik malah..." Laila nampak kembali pada nostalgia masalalunya, sedang Bara mengalihkan tatapannya menatap langit-langit dinding. "Karena kesalahanku ... dia pergi dan tidak pernah kembali. " Sontak Bara langsung menatapnya kembali. Bara terkejut, kesalahan? Jelas kesalahan di sini patut diarahkan padanya. Saat itu, ia menjadi pengecut hanya karena rasa takut yang menghampirinya. Justru dirinyalah yang saat itu telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan Laila yang tertabrak karenanya. "Mem
Seorang wanita dengan pakaian perawat tergopoh-gopoh menuju ruangan rahasia. Ruangan di mana hanya ia dan seseorang yang tau. Wanita itu mengendap-endap, takut bilamana ada perawat lain yang melihat. Benar saja, belum sempat ia berpikiran hal itu seorang perawat laki-laki penjaga gudang berjalan ke arahnya seraya menunduk. Tidak melepas kesempatan wanita itu langsung bersembunyi dari laki-laki tersebut. Kembali berjalan setelah laki-laki tadi sudah hilang dalam penglihatannya. "Huh, selamat...," ucapnya bernafas lega. Wanita itu langsung saja memasuki ruangan yang nampak gelap, menutup pintu setelah terbuka. "Ada kabar baru? " Suara bariton itu membuat wanita tersebut spontan mencebik. "Cih, kau menanyakan hal yang tidak perlu ku jawab! " Wanita itu melepas pakaian perawat yang melekat, menampilkan kaos polos berwarna putih. "Jangan lupakan di sini saya atasanmu! Kau tak perlu mengaturnya!" lanjutnya sembari mendudukkan diri di kursi kebesarannya yang empuk. Bibirnya mengulas s
Di tengah ruangan yang kini di penuhi keceriaan itu saling berbincang satu-sama lainnya. Di sana terdapat Bara, Laila, Reno dan Uminya Laila-Hafisah. Mereka saling berbincang untuk membicarakan hal yang memang harus mereka ketahui. Bukan, bukan pasal penyakit Bara tapi pasal keluarga Bara. Dia memperkenalkan dari mulai Kakaknya Reno, Rea dan beberapa anggota keluarga lainnya kepada Hafisah.Bukan bermaksud untuk membohongi keluarga Laila sejak awal,hanya saja Bara melakukan hal itu karena saat itu Ayahnya memang enggan untuk menjadi wali dari pernikahan pasca dengan Laila. Keluarganya saat itu benar-benar berantakan,sedang di sisi lain Bara ingin pernikahan itu terjadi bagaimanapun caranya. Karena ini ... adalah janji mereka dulu. Dan syukurnya Hafisah tidak marah mendengarkan semua rahasia dari keluarga Bara yang baru saja ia ketahui. Memang ada rasa kecewa terhadap menantunya karena berani berbohong, tapi saat melihat Laila yang tersenyum bahagia menjadikan ia sungkan untuk memara
"Barez...?"Di balik pintu terbuka Barez tersenyum menatap Bara. Bara segera saja turun dari ranjangnya dan menuju Barez. "Kau?Ada di sini? " tanya Bara. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya. Tatapan matanya beralih kepada seorang perempuan perawat berkisar 40 tahun. Dia memegang —pegangan kursi roda— di belakang sana. "Kau tidak ingin menyapa terlebih dahulu?" tanya Barez yang langsung disambut pelukan oleh Bara. "Kamu semakin bersinar saja Rez ...." Barez terkekeh, membalas pelukan hangat dari saudara kembarnya. "Kau bisa saja, jelas ungkapan itu lebih cocok untukmu," ucap Barez tersenyum. Tatapan matanya beralih menatap Laila. "Kau tidak ingin memperkenalkannya? " Bara menunjuk lirikan matanya pada Laila. "Ah, sayang kemarilah," titah Bara sembari melambaikan tangannya agar Laila ke sini. Dia menurut. "Dia saudara kembar Mas. Barez, yang pernah Mas ceritakan saat itu."Laila menolehkan tatapan matanya menjadi ke Barez, ia tersenyum. Menautkan kedua tangannya di depan
"Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng
"Eugh ..." Laila melenguh dalam tidurnya. Matanya merem-melek dengan gerakan pelan. Hingga, kala mata itu terbuka sebuah senyuman terbit di bibir Laila. Wajah suaminya. Ya, di depannya Bara masih tertidur pulas dengan dengkuran yang amat halus. Refleks Laila semakin memeluk Bara dari depan. Mengingat kejadian malam itu membuat Laila merasa lega. Sangat. Walau terasa sakit tapi, dia juga menikmatinya. Pelan, Bara ikut membuka mata. Menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dikecupnya kening Laila dengan begitu lembut. Yang kemudian mengusap lembut rambut sang istri. "Terima kasih ya sayang?" ucap Bara dengan terus menerus mencium kening Laila. Tubuh yang masih polos itu saling melekat hangat. Laila tersenyum. "Makasih juga Mas. Akhirnya, akhirnya Mas Bara nebang Laila," ucapnya parau. Namun, dengan tiba-tiba Bara menarik Laila yang malah sudah menangis. "Hey? Sayang, kenapa nangis?" Dengan sigap Bara menghapus air mata Laila yang jatuh menetes. "Udah, jangan nangis. Harusnya kita
Laila menghela nafas pelan. Dia duduk di tepi ranjang dengan jantung yang deg-deg an. Bagaimana tidak deg-degan, selepas makan Bara berlalu pergi tanpa mengatakan apapun. Entah ke mana, yang pasti Bara pergi setelah makan itu selesai.Dan sekarang Laila harus menunggu sang suami pulang. Apalagi teringat akan Bara yang sudah menginginkan dirinya malam ini. Hal yang jelas membuat Laila deg-degan. Berpikir bahwa haruskah malam ini keduanya melakukan hubungan suami-istri? Apakah malam ini keduanya akan memadu kasih? Tiba-tiba pipi Laila memanas. Memikirkannya saja sudah membuatnya panas-dingin. Tapi, jikapun tidak ... bukankah selama ini inilah yang ia harapkan? Memadu kasih hingga terciptanya sang buah hati? Bukankah ini yang Laila harapkan setelah bertahun-tahun lamanya? Masa dirinya masih belum siap? Tidak! Laila menggeleng. Malam ini harus menjadi malam paling indah untuk keduanya. Terutama untuk Bara, suaminya! Laila beranjak berdiri. Beringusut menuju lemari yang sebelumnya dia
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya ..." Mata Laila berbinar indah kala menatap pemandangan yang belum pernah ia lihat. Di mana ia dan sang suami sudah berada di Turki. Perjalanan dari Indonesia ke Turki membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Yang mana waktu antara Indonesia-Turki jauh berbeda. Yang mana mereka turun dari Bandara Turki tepat pukul 21.00. Perbedaan waktu yang cukup jauh bukan? Yah, jika di Indonesia mungkin hari ini jam satu pagi, tapi karena ini di Turki membuat jalanan kota ini masih nampak sangat ramai. Tidak hanya ramai, tapi ramai sekali. Bara tersenyum, raut kebinaran dari matanya pun tidak bisa terelakkan. Dia begitu takjub melihat negara yang baru kali ini ia lihat. "Biar Mas yang bawakan barangnya," ucap Bara sembari mengambil alih koper yang Laila pegang. "Gpp, Mas. Biar Laila aja.""Udah, kamu lebih baik diam aja. Bias Mas! "Baiklah."Bara mengambil barang-barang bawaan. Melihat sebuah taksi membuat keduanya langsung masuk dan melaju ke Hotel Aydinli. Katanya,