"Bara bukan pembunuh, Bara bukan seorang pembunuh.""Kau anak pembawa sial! Kau seorang pembunuh Bara! Kau seorang pembunuh!"Kepala Bara terus menggeleng menghempaskan teriakan-teriakan yang menggema ditelinganya. Teriakan itu begitu berputar di dalam otaknya yang masih sangat muda. Bara yang kini berumur 10 tahun itu terjatuh lemas di tengah guyaran hujan yang semakin deras berjatuhan. Anak kecil itu menangis terisak. Sepi, dingin, sendiri. Ia menangis ditengah kesendiriannya. "Bara ... Bara sayang sama Bunda, kan?" tanya Mira saat itu yang lemah tak berdaya. Bara kecil mengangguk. Matanya memerah karena menangis. "Kalau begitu ... jaga Ayah kamu ya? Jaga Barez adik kamu... demi Bunda." Dengan susah payah Mira menjangkau pipi chubby Bara. "Sama seperti kau menjadi pelindung untuk Kakak kamu, kau juga harus bisa menjadi pelindung untuk mereka ..." Hembusan nafas Mira semakin nampak begitu menyesakkan. "B-bunda, Bunda ke-kenapa bicara gitu? Bunda gak akan pergi kan?" Anak beru
"La?""Heum?" jawab Laila yang sedari tadi terus memandang Bara. Masih dalam posisi yang sama dengan Bara yang masih terbaring di atas ranjang. "Apa--apa kamu mempunyai teman lelaki saat kamu kecil?" tanya Bara. Memastikan apakah Laila mengingat 11 tahun yang lalu atau tidak. Karena jelas bagi Bara, ia masih mengingatnya. Laila nampak berpikir setelahnya ia mengangguk antusias. "Aku mempunyainya..."Deg! Jantung Bara berdetak dua kali lebih cepat. Ia menatap lekat Laila. "Dia baik, sangat baik malah..." Laila nampak kembali pada nostalgia masalalunya, sedang Bara mengalihkan tatapannya menatap langit-langit dinding. "Karena kesalahanku ... dia pergi dan tidak pernah kembali. " Sontak Bara langsung menatapnya kembali. Bara terkejut, kesalahan? Jelas kesalahan di sini patut diarahkan padanya. Saat itu, ia menjadi pengecut hanya karena rasa takut yang menghampirinya. Justru dirinyalah yang saat itu telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan Laila yang tertabrak karenanya. "Mem
Seorang wanita dengan pakaian perawat tergopoh-gopoh menuju ruangan rahasia. Ruangan di mana hanya ia dan seseorang yang tau. Wanita itu mengendap-endap, takut bilamana ada perawat lain yang melihat. Benar saja, belum sempat ia berpikiran hal itu seorang perawat laki-laki penjaga gudang berjalan ke arahnya seraya menunduk. Tidak melepas kesempatan wanita itu langsung bersembunyi dari laki-laki tersebut. Kembali berjalan setelah laki-laki tadi sudah hilang dalam penglihatannya. "Huh, selamat...," ucapnya bernafas lega. Wanita itu langsung saja memasuki ruangan yang nampak gelap, menutup pintu setelah terbuka. "Ada kabar baru? " Suara bariton itu membuat wanita tersebut spontan mencebik. "Cih, kau menanyakan hal yang tidak perlu ku jawab! " Wanita itu melepas pakaian perawat yang melekat, menampilkan kaos polos berwarna putih. "Jangan lupakan di sini saya atasanmu! Kau tak perlu mengaturnya!" lanjutnya sembari mendudukkan diri di kursi kebesarannya yang empuk. Bibirnya mengulas s
Di tengah ruangan yang kini di penuhi keceriaan itu saling berbincang satu-sama lainnya. Di sana terdapat Bara, Laila, Reno dan Uminya Laila-Hafisah. Mereka saling berbincang untuk membicarakan hal yang memang harus mereka ketahui. Bukan, bukan pasal penyakit Bara tapi pasal keluarga Bara. Dia memperkenalkan dari mulai Kakaknya Reno, Rea dan beberapa anggota keluarga lainnya kepada Hafisah.Bukan bermaksud untuk membohongi keluarga Laila sejak awal,hanya saja Bara melakukan hal itu karena saat itu Ayahnya memang enggan untuk menjadi wali dari pernikahan pasca dengan Laila. Keluarganya saat itu benar-benar berantakan,sedang di sisi lain Bara ingin pernikahan itu terjadi bagaimanapun caranya. Karena ini ... adalah janji mereka dulu. Dan syukurnya Hafisah tidak marah mendengarkan semua rahasia dari keluarga Bara yang baru saja ia ketahui. Memang ada rasa kecewa terhadap menantunya karena berani berbohong, tapi saat melihat Laila yang tersenyum bahagia menjadikan ia sungkan untuk memara
"Barez...?"Di balik pintu terbuka Barez tersenyum menatap Bara. Bara segera saja turun dari ranjangnya dan menuju Barez. "Kau?Ada di sini? " tanya Bara. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya. Tatapan matanya beralih kepada seorang perempuan perawat berkisar 40 tahun. Dia memegang —pegangan kursi roda— di belakang sana. "Kau tidak ingin menyapa terlebih dahulu?" tanya Barez yang langsung disambut pelukan oleh Bara. "Kamu semakin bersinar saja Rez ...." Barez terkekeh, membalas pelukan hangat dari saudara kembarnya. "Kau bisa saja, jelas ungkapan itu lebih cocok untukmu," ucap Barez tersenyum. Tatapan matanya beralih menatap Laila. "Kau tidak ingin memperkenalkannya? " Bara menunjuk lirikan matanya pada Laila. "Ah, sayang kemarilah," titah Bara sembari melambaikan tangannya agar Laila ke sini. Dia menurut. "Dia saudara kembar Mas. Barez, yang pernah Mas ceritakan saat itu."Laila menolehkan tatapan matanya menjadi ke Barez, ia tersenyum. Menautkan kedua tangannya di depan
"Apa kau sudah mengetahui hal ini sejak awal?" tanya Bara sembari bersedekap dada. Kini mereka tengah berada di ruangan Reno.Laila yang tengah duduk di kursi sofa, Reno yang duduk di kursi kepemilikannya dan Bara yang tengah berdiri membelakangi keduanya --menghadap ke luar jendela-- dengan tatapan mata menerawang ke dasar langit atas sana. "Tidak, aku juga baru tau kemarin. Sebenarnya...!" Reno nampak menghembuskan nafas kasar. Ucapannya gelagat tak beraturan membuat Bara semakin yakin bahwa terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui. "Sebenarnya sudah seminggu Paman dirawat di sini. Saat kau terbaring dia juga ikut terbaring di sini. Selama itu, kami memang sengaja menyembunyikan ini dari kamu, karena kami juga mengkhawatirkan kamu saat itu.""Lalu...?""Kami belum tau jelas apa yang diderita Paman. Sampai Rea, dia yang langsung turun tangan dalam hal ini, dibantu beberapa Dokter lainnya. Dan kini...""Kami tau dia tengah menderita sakit apa.""Apa?" tanya Bara langsung mendekati Ren
"Ck, La, jangan dorong-dorong kepala Mas juga kali!""Mana ada Mas ... kepala kamu terlalu besar, makannya susah buat liatnya."Bara mendengkus kecil. "Ck! Tempatnya aja yang sempit banget!"Laila menyengir kuda, walau begitu ia masih setia berada di dekat punggung suaminya yang tengah mengintip di balik lubang kecil. Laila yang juga penasaran mendorong kecil kepala suaminya, yang berakhir dorong-mendorong kepala. Sebenarnya, pasca Bara dan Laila akan pulang mereka tak sengaja bersitatap dengan perawat wanita yang mereka curigai itu. "Lho, Mbak?" tanya Bara pasca itu. "Eh, Den Bara." Perawat itu sedikit menundukkan kepalanya, setelahnya mendongak sedikit untuk menatap Bara. "Mbak, apa Ayah sudah ditemukan?" tanya Bara dengan raut cemas. Perawat atau yang kerap bernama Evilin itu menggeleng. "Den Barez menangis sejak hari kemarin Den ... dia tidak bisa menemukan Tuan. Kami juga sudah menanyakan kepada seluruh pihak yang bersangkutan tapi mereka juga tidak mengetahui hal ini.""As
"Ayo kejal kami Ayah! Kejal kami kalau bisa, wlee ... " "Awas ya kalian, sini! Ayah akan beri hukuman karena sudah membohongi Ayah!" Vano mengejar cepat putra-putranya yang tengah berlari. Bisa-bisanya tadi ia dibohongi oleh anak berumur 4 tahun. Mereka tak lain Bara dan Barez. "Setelah kalian ditangkap sama Ayah, jangan harap kalian bisa lepas ya!" teriak Vano sembari terus mengejar putranya yang terlanjur aktif itu. "Ayah gak bakal bisa ngejak kami, wleee ...." balas Barez tertawa semringah. Karena sibuk berlari di tengah taman, tak sengaja Barez menabrak bahu seseorang hingga orang itu terjatuh. "Akh!" Orang yang ditabrak Barez meringis sakit saat lututnya menyentuh jalanan yang berbatu, hingga lutut orang tersebut mengeluarkan darah. "Balez?!" Bara berteriak panik, bukan karena Barez melainkan seseorang itu yang terjatuh karena Barez. Bara menatap terlebih dahulu Barez yang malah berlari kabur. Bisa-bisanya dia malah berlari jauh setelah menabrak seseorang. "Kamu tidak apa