Seorang wanita dengan pakaian perawat tergopoh-gopoh menuju ruangan rahasia. Ruangan di mana hanya ia dan seseorang yang tau. Wanita itu mengendap-endap, takut bilamana ada perawat lain yang melihat. Benar saja, belum sempat ia berpikiran hal itu seorang perawat laki-laki penjaga gudang berjalan ke arahnya seraya menunduk. Tidak melepas kesempatan wanita itu langsung bersembunyi dari laki-laki tersebut. Kembali berjalan setelah laki-laki tadi sudah hilang dalam penglihatannya. "Huh, selamat...," ucapnya bernafas lega. Wanita itu langsung saja memasuki ruangan yang nampak gelap, menutup pintu setelah terbuka. "Ada kabar baru? " Suara bariton itu membuat wanita tersebut spontan mencebik. "Cih, kau menanyakan hal yang tidak perlu ku jawab! " Wanita itu melepas pakaian perawat yang melekat, menampilkan kaos polos berwarna putih. "Jangan lupakan di sini saya atasanmu! Kau tak perlu mengaturnya!" lanjutnya sembari mendudukkan diri di kursi kebesarannya yang empuk. Bibirnya mengulas s
Di tengah ruangan yang kini di penuhi keceriaan itu saling berbincang satu-sama lainnya. Di sana terdapat Bara, Laila, Reno dan Uminya Laila-Hafisah. Mereka saling berbincang untuk membicarakan hal yang memang harus mereka ketahui. Bukan, bukan pasal penyakit Bara tapi pasal keluarga Bara. Dia memperkenalkan dari mulai Kakaknya Reno, Rea dan beberapa anggota keluarga lainnya kepada Hafisah.Bukan bermaksud untuk membohongi keluarga Laila sejak awal,hanya saja Bara melakukan hal itu karena saat itu Ayahnya memang enggan untuk menjadi wali dari pernikahan pasca dengan Laila. Keluarganya saat itu benar-benar berantakan,sedang di sisi lain Bara ingin pernikahan itu terjadi bagaimanapun caranya. Karena ini ... adalah janji mereka dulu. Dan syukurnya Hafisah tidak marah mendengarkan semua rahasia dari keluarga Bara yang baru saja ia ketahui. Memang ada rasa kecewa terhadap menantunya karena berani berbohong, tapi saat melihat Laila yang tersenyum bahagia menjadikan ia sungkan untuk memara
"Barez...?"Di balik pintu terbuka Barez tersenyum menatap Bara. Bara segera saja turun dari ranjangnya dan menuju Barez. "Kau?Ada di sini? " tanya Bara. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya. Tatapan matanya beralih kepada seorang perempuan perawat berkisar 40 tahun. Dia memegang —pegangan kursi roda— di belakang sana. "Kau tidak ingin menyapa terlebih dahulu?" tanya Barez yang langsung disambut pelukan oleh Bara. "Kamu semakin bersinar saja Rez ...." Barez terkekeh, membalas pelukan hangat dari saudara kembarnya. "Kau bisa saja, jelas ungkapan itu lebih cocok untukmu," ucap Barez tersenyum. Tatapan matanya beralih menatap Laila. "Kau tidak ingin memperkenalkannya? " Bara menunjuk lirikan matanya pada Laila. "Ah, sayang kemarilah," titah Bara sembari melambaikan tangannya agar Laila ke sini. Dia menurut. "Dia saudara kembar Mas. Barez, yang pernah Mas ceritakan saat itu."Laila menolehkan tatapan matanya menjadi ke Barez, ia tersenyum. Menautkan kedua tangannya di depan
"Apa kau sudah mengetahui hal ini sejak awal?" tanya Bara sembari bersedekap dada. Kini mereka tengah berada di ruangan Reno.Laila yang tengah duduk di kursi sofa, Reno yang duduk di kursi kepemilikannya dan Bara yang tengah berdiri membelakangi keduanya --menghadap ke luar jendela-- dengan tatapan mata menerawang ke dasar langit atas sana. "Tidak, aku juga baru tau kemarin. Sebenarnya...!" Reno nampak menghembuskan nafas kasar. Ucapannya gelagat tak beraturan membuat Bara semakin yakin bahwa terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui. "Sebenarnya sudah seminggu Paman dirawat di sini. Saat kau terbaring dia juga ikut terbaring di sini. Selama itu, kami memang sengaja menyembunyikan ini dari kamu, karena kami juga mengkhawatirkan kamu saat itu.""Lalu...?""Kami belum tau jelas apa yang diderita Paman. Sampai Rea, dia yang langsung turun tangan dalam hal ini, dibantu beberapa Dokter lainnya. Dan kini...""Kami tau dia tengah menderita sakit apa.""Apa?" tanya Bara langsung mendekati Ren
"Ck, La, jangan dorong-dorong kepala Mas juga kali!""Mana ada Mas ... kepala kamu terlalu besar, makannya susah buat liatnya."Bara mendengkus kecil. "Ck! Tempatnya aja yang sempit banget!"Laila menyengir kuda, walau begitu ia masih setia berada di dekat punggung suaminya yang tengah mengintip di balik lubang kecil. Laila yang juga penasaran mendorong kecil kepala suaminya, yang berakhir dorong-mendorong kepala. Sebenarnya, pasca Bara dan Laila akan pulang mereka tak sengaja bersitatap dengan perawat wanita yang mereka curigai itu. "Lho, Mbak?" tanya Bara pasca itu. "Eh, Den Bara." Perawat itu sedikit menundukkan kepalanya, setelahnya mendongak sedikit untuk menatap Bara. "Mbak, apa Ayah sudah ditemukan?" tanya Bara dengan raut cemas. Perawat atau yang kerap bernama Evilin itu menggeleng. "Den Barez menangis sejak hari kemarin Den ... dia tidak bisa menemukan Tuan. Kami juga sudah menanyakan kepada seluruh pihak yang bersangkutan tapi mereka juga tidak mengetahui hal ini.""As
"Ayo kejal kami Ayah! Kejal kami kalau bisa, wlee ... " "Awas ya kalian, sini! Ayah akan beri hukuman karena sudah membohongi Ayah!" Vano mengejar cepat putra-putranya yang tengah berlari. Bisa-bisanya tadi ia dibohongi oleh anak berumur 4 tahun. Mereka tak lain Bara dan Barez. "Setelah kalian ditangkap sama Ayah, jangan harap kalian bisa lepas ya!" teriak Vano sembari terus mengejar putranya yang terlanjur aktif itu. "Ayah gak bakal bisa ngejak kami, wleee ...." balas Barez tertawa semringah. Karena sibuk berlari di tengah taman, tak sengaja Barez menabrak bahu seseorang hingga orang itu terjatuh. "Akh!" Orang yang ditabrak Barez meringis sakit saat lututnya menyentuh jalanan yang berbatu, hingga lutut orang tersebut mengeluarkan darah. "Balez?!" Bara berteriak panik, bukan karena Barez melainkan seseorang itu yang terjatuh karena Barez. Bara menatap terlebih dahulu Barez yang malah berlari kabur. Bisa-bisanya dia malah berlari jauh setelah menabrak seseorang. "Kamu tidak apa
"Dia teman sekelas Kala di sekolahnya, makannya tadi mereka bertengkar." Vano tertawa kecil sedang Kala sudah cemberut dibuatnya saat Satria laki-laki itu berhasil menjelek-jelekkan dirinya. "Kamu kenapa? Kok tiba-tiba melamun sayang?"Mira sedikit menunduk, merasakan telapak tangannya yang bergetar aneh."Aku ... entah kenapa aku merasakan suatu hal yang akupun tidak tahu apa itu. Ada getaran aneh yang membuatku terpaku pada anak lelaki itu. Dia...""Mungkin itu hanya perasaan kita saja. Sudah, kita pulang saja, kamu ke sini pasti mau memberitahukan bahwa aku harus kembali bekerja bukan?" tanya Vano seraya menarik pinggang sang istri ke dalam dekapannya. "Mas, ini di luar, gak baik dalam pandangan anak-anak nantinya!"Vano tertawa kecil, "Baiklah, ayok."Tidak dipungkiri oleh Vano sendiri bahwa ia juga merasakan apa yang istrinya rasakan. Anak itu ... entah perasaan apa tapi kenapa terasa begitu mendesir ke dalam jiwanya? "Kau iblis kejam Vano! Bagaimana mungkin seorang Ayah tega m
Brugh! “Akh!" Vano meringis sakit saat tubuhnya di lempar hingga membentur sebuah tumpukan jerami. Sakit, namun bukan karena lemparan yang dilakukan sang pelaku, tapi karena kesehatannya yang memang tidak stabil. “Kau tau kesalahan kamu Vano?"Vano menghela nafas sejenak kemudian ia mendongak untuk menatap orang yang tak lain Evilin, di belakangnya ada dua orang pria yang memakai penutup muka. “Bukankah sudah aku peringati untuk tidak memberikan perhatian pada Bara?” ujar Evilin mengeram kesal. Kedua tangannya ia simpan di depan dada. Menatap geram orang yang selama ini ingin ia bunuh.“Ambil saja nyawaku, tapi lepaskan Bara dalam hal apapun. Jangan ganggu dia ...." Kepala Vano menunduk, tangannya mencengkram kuat kumpulan jerami untuk meluapkan segala rasa sakit. Mendengar hal itu Evilin semakin mengeram marah, segera saja ia mencengkram kuat kedua pipi Vano dan mendongakkan kepalanya. “Semudah itu? Jika keluargaku saja tidak bahagia, bagaimana mungkin aku akan membiarkan anak-an