Setelah kepergian Bara, Rea dan Reno, seseorang di belakang sana tersenyum amat lebar. Ia tersenyum penuh kemenangan. Seseorang itu bersandar pada sisi mobilnya, bersedekap dada sambil menatap tajam kepergian Bara di depan sana. Bukan satu orang tapi dua.“Bukankah hari ini kita harus merayakannya? Eum ... rasanya tidak seru bukan?” Seseorang itu tersenyum miring, sedangkan yang lain masih menatap kepergian Bara yang sudah hilang dalam pandangan. Dia menatap dengan tajam. “Seharusnya hal ini ia rasakan dari dulu ... tapi tidak apa, sebentar lagi dia akan mati. Hahahah, siapa yang akan bertahan dari penyakit Leukimia yang sudah berada di ujung tanduk?” Seseorang itu terus berucap, sedangkan yang lain masih mendengarkan. “Bagaimama menurutmu ...? Kak? Apa kita langsung membunuhnya saja? Heum... terkadang aku kasihan jika dia terus hidup hanya menanggung penderitaan. Alangkah baiknya kita jika menghilangkan penderitaan itu dengan membunuhnya? Hahaha, bahkan istrinya saja meninggalkann
Laila tidak pernah tau jika ternyata kepergiannya membuat Bara menjadi sakit. Kepergiannya malah membuat suaminya berujung ke rumah sakit. Sudah beberapa hembusan nafas ia keluarkan. Beberapa kali pula Laila terus menunggu di luar dengan kursi panjang yang menemani dirinya dalam keheningan. Sudah 3 kali ia meminta dokter agar memperbolehkan dirinya masuk tapi pihak dari mereka tetap belum mengizinkan dirinya untuk masuk. Rumah sakit menyebalkan! Seharusnya mereka mengerti kalau pasien yang terbaring di dalam sana itu membutuhkan dirinya. Sudah pukul 11 malam, namun Laila masih terjaga dalam menunggu. Sungguh ingin sekali ia melihat suaminya, sangat... ia benar-benar khawatir dan cemas kepada suaminya itu. Dena, dia selalu kemari untuk menemaninya, sekarang dia sudah pergi dua jam yang lalu karena ada urusan. Untung ujian telah selesai sebelum masalah ini terjadi, membuat Laila tidak terlalu terbebani. Saat Laila berkecamuk dengan isi pikirannya, sayup-sayup suara obrolan terdeng
"Mas Bara... "Dengan terisak Laila mencium semua wajah suaminya, setelahnya ia memeluknya. "Maafkan Laila, Mas. Maaf... ""Jangan mengatakan tidak mengingatku Mas... sungguh, hal itu membuatku sakit, " ucapnya setelah tadi mendengar Bara yang tidak mengingatnya. Sekilas Laila mendengar kekehan dari suaminya-Bara, membuat ia langsung menarik tubuhnya dan menatap suaminya. Puk! "Jahat! Mas ngerjain Laila! " cemberut nya setelah memukul pelan bahu Bara. Bara tertawa kecil lagi. Ia melepas selang oksigen terlebih dahulu. "Setelah kepergianmu dari rumah, Mas kira kau akan melupakan Mas. Makannya Mas berpikir seperti itu. "Laila mendelik, namun tak urung ia kembali memeluk Bara. "Jangan bilang Mas yang bakal ninggalin Laila? " tanyanya mengusap dada suaminya. Sungguh ia merindukan semuanya tentang suaminya ini. "Dan apa ini? Kenapa Laila baru tau kalau Mas sakit, ha? Kenapa kau sembunyikan ini Mas? " Laila menarik kepalanya. Nampak kemarahan yang ia tujukan. "La, bukan begitu--" L
"Keadaan Bara saat ini... kembali kambuh dengan jarak yang semakin dekat. Leukimia atau yang disebut kanker darah terjadi akibat tubuh yang memproduksi sel darah putih abnormal. Sel darah putih merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang diproduksi di dalam sumsum tulang. Ketika fungsi tulang terganggu,maka sel darah putih yang dihasilkan akan mengalami perubahan.""Perubahan yang terjadi pada Bara sudah mencapai Leukimia akut, di mana sel kanker terjadi sangat cepat dan gejalanya bisa memburuk dalam waktu singkat."Penjelasan Reno saat ini benar-benar mengguncang pertahanan Laila. Ia menangis sejadinya sembari membekap mulutnya agar tidak terdengar keras. Reno ikut memperihatin memberitahukan hal ini. Ia menghela nafas panjang sebelum mengusap pipinya yang ikut basah. Seharusnya ia tidak mengatakan kebenaran ini, hanya saja Laila terus memaksa, mendesaknya terus-menerus, membuat ia mau tak mau memberitahukan kebenarannya tentang Bara. Lagipula setelah dipikir-pikir, istrinya
"Bara bukan pembunuh, Bara bukan seorang pembunuh.""Kau anak pembawa sial! Kau seorang pembunuh Bara! Kau seorang pembunuh!"Kepala Bara terus menggeleng menghempaskan teriakan-teriakan yang menggema ditelinganya. Teriakan itu begitu berputar di dalam otaknya yang masih sangat muda. Bara yang kini berumur 10 tahun itu terjatuh lemas di tengah guyaran hujan yang semakin deras berjatuhan. Anak kecil itu menangis terisak. Sepi, dingin, sendiri. Ia menangis ditengah kesendiriannya. "Bara ... Bara sayang sama Bunda, kan?" tanya Mira saat itu yang lemah tak berdaya. Bara kecil mengangguk. Matanya memerah karena menangis. "Kalau begitu ... jaga Ayah kamu ya? Jaga Barez adik kamu... demi Bunda." Dengan susah payah Mira menjangkau pipi chubby Bara. "Sama seperti kau menjadi pelindung untuk Kakak kamu, kau juga harus bisa menjadi pelindung untuk mereka ..." Hembusan nafas Mira semakin nampak begitu menyesakkan. "B-bunda, Bunda ke-kenapa bicara gitu? Bunda gak akan pergi kan?" Anak beru
"La?""Heum?" jawab Laila yang sedari tadi terus memandang Bara. Masih dalam posisi yang sama dengan Bara yang masih terbaring di atas ranjang. "Apa--apa kamu mempunyai teman lelaki saat kamu kecil?" tanya Bara. Memastikan apakah Laila mengingat 11 tahun yang lalu atau tidak. Karena jelas bagi Bara, ia masih mengingatnya. Laila nampak berpikir setelahnya ia mengangguk antusias. "Aku mempunyainya..."Deg! Jantung Bara berdetak dua kali lebih cepat. Ia menatap lekat Laila. "Dia baik, sangat baik malah..." Laila nampak kembali pada nostalgia masalalunya, sedang Bara mengalihkan tatapannya menatap langit-langit dinding. "Karena kesalahanku ... dia pergi dan tidak pernah kembali. " Sontak Bara langsung menatapnya kembali. Bara terkejut, kesalahan? Jelas kesalahan di sini patut diarahkan padanya. Saat itu, ia menjadi pengecut hanya karena rasa takut yang menghampirinya. Justru dirinyalah yang saat itu telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan Laila yang tertabrak karenanya. "Mem
Seorang wanita dengan pakaian perawat tergopoh-gopoh menuju ruangan rahasia. Ruangan di mana hanya ia dan seseorang yang tau. Wanita itu mengendap-endap, takut bilamana ada perawat lain yang melihat. Benar saja, belum sempat ia berpikiran hal itu seorang perawat laki-laki penjaga gudang berjalan ke arahnya seraya menunduk. Tidak melepas kesempatan wanita itu langsung bersembunyi dari laki-laki tersebut. Kembali berjalan setelah laki-laki tadi sudah hilang dalam penglihatannya. "Huh, selamat...," ucapnya bernafas lega. Wanita itu langsung saja memasuki ruangan yang nampak gelap, menutup pintu setelah terbuka. "Ada kabar baru? " Suara bariton itu membuat wanita tersebut spontan mencebik. "Cih, kau menanyakan hal yang tidak perlu ku jawab! " Wanita itu melepas pakaian perawat yang melekat, menampilkan kaos polos berwarna putih. "Jangan lupakan di sini saya atasanmu! Kau tak perlu mengaturnya!" lanjutnya sembari mendudukkan diri di kursi kebesarannya yang empuk. Bibirnya mengulas s
Di tengah ruangan yang kini di penuhi keceriaan itu saling berbincang satu-sama lainnya. Di sana terdapat Bara, Laila, Reno dan Uminya Laila-Hafisah. Mereka saling berbincang untuk membicarakan hal yang memang harus mereka ketahui. Bukan, bukan pasal penyakit Bara tapi pasal keluarga Bara. Dia memperkenalkan dari mulai Kakaknya Reno, Rea dan beberapa anggota keluarga lainnya kepada Hafisah.Bukan bermaksud untuk membohongi keluarga Laila sejak awal,hanya saja Bara melakukan hal itu karena saat itu Ayahnya memang enggan untuk menjadi wali dari pernikahan pasca dengan Laila. Keluarganya saat itu benar-benar berantakan,sedang di sisi lain Bara ingin pernikahan itu terjadi bagaimanapun caranya. Karena ini ... adalah janji mereka dulu. Dan syukurnya Hafisah tidak marah mendengarkan semua rahasia dari keluarga Bara yang baru saja ia ketahui. Memang ada rasa kecewa terhadap menantunya karena berani berbohong, tapi saat melihat Laila yang tersenyum bahagia menjadikan ia sungkan untuk memara