Di dalam toilet hotel yang sepi, Suri menatap bayangan dirinya di cermin. Sambil merapikan gaun, ia memastikan topeng emasnya masih terpasang sempurna. Tidak boleh ada celah sedikit pun yang bisa mengungkapkan identitasnya. Suri menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri sebelum kembali ke pesta mewah di ballroom. Namun, begitu ia keluar dari toilet, langkahnya terhenti. Romeo berdiri di ujung lorong, bersandar santai ke dinding dengan tangan disilangkan di dada. Tatapannya begitu gelap dan tajam, seperti seekor elang yang tengah mengincar mangsanya. “Sampai kapan kamu akan menghindariku, Dewi Infinity?” tanya Romeo dingin. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.“Saya tidak tahu apa yang Anda maksud. Silakan keluar, ini toilet wanita,” ujar Suri mencoba tetap tenang, melawan ketegangan yang merambat di punggungnya. Suri mundur perlahan, bermaksud ingin berbalik ke toilet lagi. Namun, Romeo sudah melangkah maju, menutup jarak di antara mereka. Sebelum ia sempat melarikan di
Secara refleks, Romeo mengusap bibirnya. Pastilah bekas ciumannya dengan Suri masih sedikit membekas. Untuk menghindari berbagai pertanyaan yang tak perlu dari DIva, Romeo dengan cepat menyusun alasan.“Aku tadi minum anggur merah. Mungkin itu sebabnya.” Diva tidak sepenuhnya percaya, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh. Dengan senyum yang dipaksakan, ia meraih tissue dari atas meja lalu menyerahkannya kepada Romeo.“Kak, jangan tinggalkan aku lagi. Aku merasa seperti orang bodoh duduk sendirian di sini.” Romeo hanya menanggapi dengan anggukan, matanya masih terus mencari sosok Suri di tengah kerumunan. Hatinya dipenuhi tekad. Ada rasa hangat sekaligus marah yang bercampur menjadi satu, tatkala melihat istrinya ada di pesta ini.‘Kita akan segera bertemu,’ gumam Romeo dalam hati.Sementara itu, di meja buffet, Suri menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya dari pandangan tamu lain.
Cahaya yang menerangi ballroom kini perlahan meredup, meninggalkan suasana temaram yang hangat. Hanya tersisa sinar lampu gantung kristal yang berkilauan, menciptakan atmosfer yang intim dan romantis. Para pelayan hotel dengan sigap mulai menyingkirkan meja-meja makan, memberikan ruang yang luas di tengah ballroom.MC dengan penuh semangat mengumumkan, “Para tamu yang terhormat, untuk melanjutkan malam istimewa ini, kami akan memulai acara dansa berpasangan. Kami mengundang Tuan Cahyadi, sang bintang malam ini, untuk maju ke tengah ballroom bersama istri tercinta.”Riuh tepuk tangan memenuhi ruangan, menambah semarak malam. Tuan Cahyadi melangkah ke tengah ruangan, diiringi oleh istrinya yang anggun. Mereka saling menggenggam tangan, wajah mereka memancarkan cinta yang tak lekang oleh waktu. Musik romantis nan lembut mulai mengalun, sebuah komposisi piano yang menenangkan hati. Mereka mulai berdansa, gerakan mereka penuh keharmonisan untuk merayakan cinta mereka.Para tamu tersenyum,
Dengan sengaja, Romeo membawa Suri menjauh dari pasangan lain. Ia meletakkan tangan Suri di lehernya, mengarahkan gerakan wanita itu selayaknya boneka yang harus mengikuti perintah sang empunya. Suri terlihat kaku, tubuhnya menegang kala Romeo menatapnya dari jarak dekat."Kenapa gugup?" bisik Romeo dengan nada sarkatis, mendekatkan wajahnya ke telinga Suri. "Padahal tadi kamu begitu menikmati berdansa bersama Sagara.""Tuan Romeo, saya tidak ingin membuat keributan di sini," jawab Suri pelan, suaranya bergetar menahan emosi.Romeo tersenyum samar, tetapi tatapannya tetap sedingin bongkahan salju."Inikah fungsi dari topeng yang kamu pakai? Supaya leluasa mendekati pria lain selain suamimu?"Suri menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu Romeo sengaja memprovokasinya, tetapi ia tidak akan memberikan Romeo kepuasan itu."Hentikan," lirih Suri hampir tak terdengar di antara alunan musik.Namun Romeo tak bergeming. Tangannya semakin erat di pinggang Suri, me
Sagara melangkah mundur, memberi ruang bagi Suri untuk pergi. Tanpa membuang waktu, Suri menggandeng tangan Raysa, lalu berbalik menuju meja Tuan Cahyadi. Dia merasa perlu berpamitan sebagai bentuk penghormatan kepada pria baik hati itu.Namun saat tiba di meja Tuan Cahyadi, alangkah terkejutnya Suri melihat Romeo dan Diva juga ada di sana.“Kebetulan sekali, kalian berpamitan secara bersamaan,” ujar Tuan Cahyadi sambil melirik Romeo dan Suri bergantian.“Romeo, apa kamu tertarik bekerja sama dengan Dewi Infinity? Saya melihat kalian berdua tadi berdansa,” lanjut Tuan Cahyadi penuh semangat.“Jika dia berminat, saya pasti akan merekrutnya,” jawab Romeo sambil melayangkan tatapan penuh arti kepada Suri. Tuan Cahyadi tersenyum puas mendengar itu, seolah-olah ia baru saja berhasil membuat rencana besar. Sementara itu, Suri hanya diam. Ia merasa tidak perlu meladeni ucapan Romeo yang sengaja mempermainkan dirinya. Melihat Suri tidak nyaman, Raysa mengirimkan tatapan tajam kepada Romeo.
Suri membalikkan tubuhnya untuk kesekian kali di atas ranjang, matanya tetap enggan terpejam. Di sebelahnya, Raysa sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Bagi Suri, malam itu seperti perang sunyi melawan pikirannya sendiri. Ia teringat bagaimana bibirnya direnggut tanpa ampun oleh pria yang tak seharusnya melakukan itu. Ciuman penuh paksaan itu terlalu dalam, terlalu memaksa, sehingga membuat hatinya kacau balau. Perbuatan Romeo yang penuh dominasi membuat tubuhnya gemetar. Bukan hanya karena marah, tetapi ada sesuatu yang lebih kompleks yang tidak ingin ia akui.Seolah itu belum cukup, pikiran Suri meloncat ke pesta Tuan Cahyadi, di mana tubuh mereka bergerak bersama di lantai dansa, mengikuti irama musik yang melenakan. Romeo memegang pinggangnya, menggiring langkahnya dengan kepercayaan diri yang menyesakkan. Ada tarikan di mata Romeo, semacam kekuasaan yang membuatnya terperangkap. Sekuat apa pun ia berusaha menyangkal, ia sempat merasa terikat dengan pria itu. Suri menggelen
Begitu tiba di mansion, Romeo keluar dari mobil tanpa menunggu sopirnya membukakan pintu. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu utama, menerobos angin dingin yang bertiup cukup kencang. Romeo berjalan melintasi ruang tamu tanpa memperhatikan apa pun.“Romeo? Kamu pulang sendiri?” Suara sang ibu menghentikan langkah Romeo. “Di mana Diva? Kenapa kamu tidak bersamanya?” tanya Nyonya Valerie memberondong putranya dengan banyak pertanyaan. “Diva sudah aku antar pulang ke apartemen,” jawab Romeo singkat, nadanya dingin.“Ke apartemen? Apa kamu tidak cemas dengan keselamatan Diva? Bagaimana jika penguntit itu masih mengincarnya, Romeo?” ucap Nyonya Valerie memicingkan mata.“Tidak ada yang meneror Diva,” jawab Romeo dengan nada tak sabar. “Aku juga sudah menempatkan bodyguard untuk menjaganya di apartemen.”Nyonya Valerie menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. Namun, ia juga takut bila Romeo mengetahui kebohongannya. “Kamu terlalu meremehkan situasi ini, Romeo. Bagaima
Sepeninggal Romeo, Diva menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang begitu dalam. Ia berjalan kembali ke ruang tamu, membawa kotak makanan yang kini terasa berat di tangannya. Entah mengapa setiap rencana yang ia buat untuk mendekati Romeo selalu berujung kegagalan. “Tante Valerie, Kak Romeo sekarang berubah. Sejak pesta Tuan Cahyadi semalam, dia semakin tidak peduli padaku,” kata Diva, suaranya bergetar menahan tangis.Kening Nyonya Valerie berkerut dalam, merasa terkejut dengan ucapan Diva. “Memangnya apa yang terjadi di pesta kemarin, Diva?”Sambil memasang wajah sedih, Diva meletakkan kotak makanan di meja lalu duduk di sebelah ibu kandung Romeo itu. “Semalam, Kak Romeo terus memperhatikan wanita bertopeng bernama Dewi Infinity. Dia bahkan berdansa dengan wanita itu. Aku curiga mereka sudah saling mengenal sebelumnya, Tante.”Nyonya Valerie terdiam, matanya menyipit seolah memikirkan sesuatu. “Wanita bertopeng? Apakah dia punya ciri khas tertentu?”Diva menggeleng. “Tidak ada
Romeo menatap ibunya yang masih termenung di kursi, sorot matanya kosong, seolah pikirannya mengembara entah ke mana. Ia bisa saja melanjutkan perdebatan, menumpahkan semua ketidakpuasan yang selama ini tertahan, tetapi itu tidak ada gunanya. Percuma berbicara dengan seseorang yang masih menutup hati, terlebih ketika suasana begitu rapuh. Alih-alih memperpanjang ketegangan, Romeo memilih mendekati ranjang tempat Aira terbaring. Gadis itu masih dalam posisi yang sama, kedua matanya terpejam dan napasnya teratur. Namun, gerakan samar di kelopak matanya mengisyaratkan bahwa Aira tidak benar-benar tidur. Romeo tahu adiknya mendengar setiap kata yang ia ucapkan tadi. Tanpa ragu, Romeo berlutut di samping brankar. Tangannya bertumpu pada pagar besi di sisi tempat tidur, menatap wajah pucat adiknya dengan penuh kelembutan. "Aira, bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah ada yang tidak nyaman?" tanya Romeo penuh kesabaran.Tak ada jawaban. Seperti yang sudah ia duga, Aira tetap dalam kehenin
Pagi hari di rumah sakit terasa begitu muram bagi Aira. Sejak membuka mata, ia tidak mengeluarkan satu kata pun. Bahkan, ketika Nyonya Valerie menatap wajahnya dengan penuh kasih sayang, Aira tetap mematung, seakan suaranya telah hilang entah ke mana. Sorot matanya kosong, menatap lurus ke langit-langit kamar tanpa ekspresi. Nyonya Valerie mencoba mengajak Aira mengobrol tentang hal-hal kecil, berharap bisa membangkitkan semangat putrinya. Namun, Aira tetap diam, seolah jiwanya telah tercabut dari tubuhnya. Bibirnya tertutup rapat seperti seseorang yang telah bersumpah untuk tidak berbicara lagi. "Aira, Sayang, Mama di sini,” tutur Nyonya Valerie lirih.Tangannya terulur, mengusap punggung tangan Aira dengan penuh kelembutan. Namun, putrinya tetap bergeming, tidak menoleh, tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar. Aira seperti berada di dunia lain. Hati perempuan paruh baya itu semakin perih saat menyadari penyebab utama kebisuan Aira. Semalam, Aira mengetahui kenyataan pahit yang
Tak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan apartemen. Romeo keluar lebih dulu untuk membukakan pintu untuk Suri. “Mau kugendong lagi ke atas?” tanyanya setengah menggoda.Suri tertawa kecil. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja.” Sambil bergandengan tangan, keduanya berjalan berdampingan memasuki lobi. Begitu mereka sampai di unit apartemen, langkah Suri langsung tertuju ke kamar, hatinya berdebar penuh kerinduan. Di sana, dua bayi kembar mereka, Jevandro dan Jeandra, sedang menyusu dari botol yang berisi ASI perah. Mata mungil mereka yang jernih berkedip-kedip saat melihat ibunya datang. Dengan mata berkaca-kaca, Suri mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi lembut bayi-bayinya. Ia bersyukur karena telah kembali dengan selamat. Dan, yang terpenting, ia bisa berkumpul lagi dengan kedua buah hatinya. Romeo berdiri di samping Suri, tersenyum melihat pemandangan indah itu. Rasa bahagia terus mengalir dalam hatinya, bagai aliran sungai yang tak pernah surut. Sungguh, keluarga k
Meski Romeo tak menoleh sama sekali, Diva masih terus meronta-ronta. Suaranya melengking di antara pekikan sirene dan derap langkah para petugas yang mengawalnya. "Tolong, Pak, saya ingin bicara dengan Kak Romeo," serunya, sarat dengan emosi. "Sebentar saja." Para polisi saling bertukar pandang, ragu apakah akan mengabulkan permintaan tersangka yang jelas-jelas baru saja mencoba membunuh seseorang. Sementara itu, Romeo sudah mendudukkan Suri di dalam mobil. Namun, ketika pria itu hendak menutup pintu, Suri tiba-tiba mencegahnya. "Sayang, bicaralah pada Diva," tutur Suri lembut. "Untuk terakhir kali." Romeo mengerutkan kening, menoleh ke arah Suri, seolah ingin meyakinkan bahwa istrinya tidak salah bicara. Namun, tatapan Suri yang penuh pengertian dan ketulusan, membuat Romeo menemukan jawaban. "Mungkin, bila kamu yang menasihatinya, Diva akan lebih tenang," lanjut Suri.Romeo menarik napas dalam, lalu keluar dari mobilnya. Dengan sopan, pria itu meminta kepada polisi agar memb
Langkah Suri tetap tenang saat ia memasuki rumah itu, tetapi jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang yang bertalu tanpa henti. Jemarinya yang menggenggam gagang kereta bayi terasa dingin, sementara ponselnya bergetar berulang kali di dalam tas. Suri tahu siapa yang menghubunginya.Romeo. Pria itu pasti mengetahui bahwa ia telah sampai di titik lokasi, dan tengah berusaha memperingatkannya. Namun, Suri tidak ingin mundur. Ia sudah berada di titik ini, sudah setengah jalan, dan harus memastikan dengan matanya sendiri bahwa Diva benar-benar ada di dalam rumah. Begitu Suri melewati ambang pintu, Bastian mengikuti dari belakang. Pria itu lantas berjalan ke tangga dan memanggil istrinya dengan lantang.“Sayang, Ibu Suri sudah datang!” Suara Bastian menggema ke lantai atas, nyaris seperti pekikan.Lalu, tanpa memberi kesempatan bagi Suri untuk merespons, Bastian berkata dengan santai.“Silakan duduk, Bu Suri. Saya harus keluar sebentar untuk memeriksa barang yang tertinggal
Bukit Harapan. Nama itu terasa ironis bagi Suri. Tempat itu dikenal sebagai tempat yang damai, pelarian bagi mereka yang ingin melepas penat dari hiruk-pikuk kota. Namun, bagi Suri, tempat itu bukan lagi lambang ketenangan. Sebaliknya, di sanalah kemungkinan terburuk bisa terjadi. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan perubahan pemandangan di luar sana. Gedung-gedung tinggi mulai tergantikan oleh deretan rumah kecil yang berjajar rapi, kemudian berganti menjadi jalanan yang lebih sepi. Rasa dingin menjalari tubuhnya, bukan karena cuaca, melainkan karena kesadaran bahwa ia semakin dekat dengan titik penentuan. Suri merapatkan blazer yang ia kenakan. Hatinya berdegup cepat, tetapi ia menolak membiarkan ketegangan menguasainya. Mobil yang ditumpangi Suri akhirnya mencapai kawasan Bukit Harapan. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi, dikelilingi oleh pepohonan rindang yang menjulang tinggi di kedua sisi. Suasana di tempat ini cukup lengang, hanya sesekali terdengar suara burun
Pagi itu, Suri membuka tirai lebar-lebar agar cahaya matahari menghangatkan kamar tidurnya. Kemudian, ia duduk di kursi khusus, menyusui bayi kembarnya dengan penuh kelembutan. Jevandro dan Jeandra yang mungil tampak nyaman dalam dekapan ibunya. Jemari kecil mereka menggenggam baju Suri, seolah tidak ingin terpisah barang sedetik pun. Namun, di balik momen penuh kasih itu, kegelisahan perlahan merambat ke dalam hati Suri. Hari ini akan menjadi hari yang penting, hari di mana ia mempertaruhkan segalanya demi mengakhiri ancaman Diva. Jarum jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi Romeo belum juga pulang. Sejak pukul enam, pria itu sudah pergi untuk mengatur segala persiapan, memastikan rencana mereka berjalan sempurna. Selesai menyusui, Suri menyerahkan Jevandro dan Jeandra kepada pengasuh. Dengan hati-hati, ia mengusap pipi kedua bayinya sebelum beranjak ke depan cermin besar di sudut kamar. Tangannya meraih setelan blazer berwarna putih gading yang dipadukan dengan blu
Sejenak, keheningan menelan ruangan. Randy terpaku di tempatnya, wajahnya kehilangan warna. Ia berkedip beberapa kali, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja diucapkan Diva. "M—maksudmu rumah ini akan dibakar?" tanyanya dengan suara serak. “Bukankah ini hasil dari kerja kerasmu?”Diva mengangkat dagu, mata elangnya berkilat tajam. "Aku rela kehilangan rumah, asalkan bisa menghabisi Suri. Orang yang berani merebut milikku, harus dihukum." Randy menelan ludah, rasa dingin menjalari tengkuknya. "Tapi... ini.…" Pria feminim itu menggeleng, mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak menyangka kamu akan melakukan tindakan berbahaya, Diva. Ini seperti adegan film kriminal!" Diva tertawa. Tawanya renyah, tetapi mengandung sesuatu yang dingin dan beracun. Ia melangkah lebih dekat, jemarinya yang ramping menyentuh wajahnya sendiri, seolah ia sedang membayangkan dirinya berperan dalam suatu adegan epik. “Tentu saja,” tukas Diva, bibirnya membentuk senyum sinis.“Karena aku adalah seo
Mereka berdua kemudian naik ke tempat tidur, duduk berdampingan dalam keheningan. Waktu berjalan perlahan, setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya. Hingga akhirnya, suara notifikasi masuk terdengar dari ponsel Suri. Dengan cepat, Suri meraih ponselnya dan membuka email. Rekaman CCTV sudah diterima.Suri bergegas turun dari tempat tidur untuk mengambil laptop. Ia mulai mengunduh rekaman CCTV itu, sementara Romeo duduk lebih dekat untuk melihat layar bersama. Ketika rekaman mulai terputar, tampak suasana lobi kantor Pilar Interior Desain. Orang-orang berlalu lalang dan staf yang keluar masuk tampak di sana. Lalu, dalam beberapa detik, muncul sepasang pria dan wanita yang masuk ke dalam gedung. Suri langsung memperbesar tampilan. Pria itu masih muda, berpenampilan rapi dengan kemeja formal, sedangkan wanita di sebelahnya mengenakan setelan blazer hitam, rambutnya pendek, dan sebuah kacamata menghiasi wajahnya. Romeo menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas. “Aku