Sepeninggal Romeo, Diva menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang begitu dalam. Ia berjalan kembali ke ruang tamu, membawa kotak makanan yang kini terasa berat di tangannya. Entah mengapa setiap rencana yang ia buat untuk mendekati Romeo selalu berujung kegagalan. âTante Valerie, Kak Romeo sekarang berubah. Sejak pesta Tuan Cahyadi semalam, dia semakin tidak peduli padaku,â kata Diva, suaranya bergetar menahan tangis.Kening Nyonya Valerie berkerut dalam, merasa terkejut dengan ucapan Diva. âMemangnya apa yang terjadi di pesta kemarin, Diva?âSambil memasang wajah sedih, Diva meletakkan kotak makanan di meja lalu duduk di sebelah ibu kandung Romeo itu. âSemalam, Kak Romeo terus memperhatikan wanita bertopeng bernama Dewi Infinity. Dia bahkan berdansa dengan wanita itu. Aku curiga mereka sudah saling mengenal sebelumnya, Tante.âNyonya Valerie terdiam, matanya menyipit seolah memikirkan sesuatu. âWanita bertopeng? Apakah dia punya ciri khas tertentu?âDiva menggeleng. âTidak ada
Dalam hitungan detik, emosi meledak di antara mereka. Tanpa aba-aba, Romeo meraup bibir Suri, mencurahkan semua rasa yang telah ia pendam. Kali ini, Suri tidak tinggal diam. Ia menggigit bibir Romeo dengan keras, mencoba menghentikan tindakan semena-mena pria itu. Namun, Romeo tidak mundur sama sekali.Air mata mengalir deras di pipi Suri, campuran antara ketakutan dan rasa sakit yang tidak bisa ia ungkapkan."Kenapa kamu melakukan ini lagi?" bisik Suri dengan suara yang hampir tidak terdengar. Romeo berhenti sejenak, menatap wajah Suri yang berlinang air mata. Ada kilatan berbeda di mata pria itu, tetapi ia segera menutupinya dengan seringai dingin."Karena aku suamimu," jawab Romeo, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Ia berdiri, meninggalkan Suri yang terduduk lemas di sofa. Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju meja makan, menatap hidangan yang telah disiapkan Suri."Untuk siapa semua masakan ini?" tanyanya sambil melirik Suri yang masih terisak di sofa. Suri tidak men
Romeo menyentuh krim itu, mencoba menghubungkan titik-titik di kepalanya. Apakah Suri begitu putus asa untuk mengubah penampilannya hingga melakukan prosedur medis? Namun, jika hanya melakukan operasi plastik, tidak mungkin Suri menyimpan obat sebanyak ini.Setelah menimbang sejenak, Romeo mengambil ponselnya dari saku. Ia memotret setiap botol obat, label aturan pakai, dan bahkan kertas resep yang ada di sana.âAku harus tahu obat apa ini,â gumamnya sembari memicingkan mata. Pikiran Romeo kembali ke momen beberapa jam yang lalu, ketika Suri tiba-tiba muntah di kamar mandi. Apakah itu hanya karena stres, atau ada alasan medis yang lebih serius di baliknya? Tatapan Romeo semakin tajam. Meskipun sikapnya terhadap Suri terlihat keras, ia tetap peduli pada wanita itu. Dan sekarang, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mungkin Suri sembunyikan tentang kesehatannya.Selesai memotret, Romeo mengembalikan semua obat ke tempatnya semula. Ia menutup laci itu dengan hati-hati, memastikan tid
"Tidur di sofa? Bukankah kamu punya ranjang yang empuk di mansion? Kenapa tidak pulang?" tanya Suri dengan mata terbelalak. Ia hampir tak percaya mendengar Romeo bersedia tidur di tempat yang tidak nyaman. Romeo menghela napas, sorot matanya semakin meredup. "Kamu sedang sakit, Suri. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di rumah kecil ini.""Terserah kalau mau tidur di sofa sempit itu. Tapi, jangan harap aku peduli kalau kamu digigit nyamuk,â tukas Suri sengaja bersikap keras kepada Romeo.Dengan langkah yang menghentak, Suri masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Ia berbaring telentang di tempat tidur, tetapi tidak bisa memejamkan mata. Mungkin karena tadi ia sudah terlalu banyak tidur. Untuk membunuh waktu, Suri memilih memainkan ponselnya, sekadar mencari pelarian dari kegelisahan yang mengintai. Sesekali, ia memasang telinga, berharap mendengar tanda-tanda Romeo telah meninggalkan rumah. Namun, tidak ada suara pintu terbuka maupun mesin mobil dinyalakan.Di luar, langit mal
Suri mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan silau cahaya matahari yang menyelinap di celah gorden. Rasa kantuk masih menempel, tetapi telinganya menangkap suara gemericik air dari arah kamar mandi.Seketika, Suri terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat saat kesadaran perlahan menyusup ke dalam pikirannya."Siapa itu?" gumamnya langsung menegakkan badan.Suri menoleh ke sisi ranjang di sampingnya dengan tatapan bingung. Tempat tidur itu tampak jelas baru saja digunakan oleh dua orang. Sisa jejak kehadiran Romeo begitu nyata di sana.“Dia tidur di sini semalam?” bisik Suri pelan, masih tidak percaya.Bayangan semalam langsung berkelebat. Listrik padam. Kegelapan. Dan dalam situasi seperti itu, Suri merasa aman dalam dekapan Romeo.Suri menggelengkan kepalanya keras-keras—mereka juga sempat berciuman. Pipi Suri memanas mengingat betapa dekat wajah mereka kala itu. Bibirnya masih bisa m
Gedung perkantoran Pradipta Group menjulang megah di tengah kota, sebuah bangunan delapan lantai yang paling menonjol. Dinding kacanya memantulkan langit biru, sementara ornamen logamnya menambah kesan futuristik. Gedung ini dikenal sebagai markas besar perusahaan properti ternama, tempat berbagai proyek besar dirancang dan diwujudkan.Suri turun dari taksi dengan anggun. Sebelum melangkah keluar, ia sempat mengucapkan terima kasih kepada sopir yang telah mengantarnya. âTerima kasih, Pak,â katanya dengan senyum kecil. Langkahnya mantap saat ia menutup pintu taksi dan berdiri sejenak, mengamati gedung megah di hadapannya.Baru saja Suri hendak melangkah masuk, seorang petugas keamanan berseragam biru menghampirinya. âSelamat pagi, ada yang bisa saya bantu?â tanya petugas itu dengan nada sopan.âSaya ada janji bertemu dengan Tuan Sagara Pradipta. Nama saya Suri Hudaya,â jelas Suri. Petugas keamanan itu tertegun sejenak mendengar Suri menyebut nama sang CEO. Namun, tanpa banyak bicara
Untuk kedua kalinya, Sagara menekan tombol interkom dan memanggil Valdo. Begitu asistennya itu masuk, Sagara langsung memberikan perintah."Berikan nomor ponselmu kepada Suri. Dia akan menghubungimu jika sudah mengambil keputusan.âValdo mengangguk, lalu menuliskan nomor ponselnya di selembar kertas dan menyerahkannya ke tangan Suri. "Silakan disimpan, Bu Suri."Setelah menyimpan nomor ponsel Valdo, Suri berpamitan kepada Sagara sebelum beranjak pergi. Ia diantar oleh Valdo hingga ke pintu lift. Sesampainya di lobi, Suri melihat Raysa sudah menunggunya di dekat meja resepsionis. Memang sebelum berangkat, ia sempat bertukar pesan dengan sahabatnya itu."Suri!" panggil Raysa segera menarik tangan Suri, membawanya ke sudut lobi yang agak sepi. "Bagaimana hasil wawancaramu dengan Tuan Sagara?" tanyanya penuh antusias.Senyum merekah di bibir Suri. "Aku ditawari menjadi kepala arsitek, tapi dengan sebuah syarat yang cukup berat. Aku meminta waktu dua hari untuk memutuskan. Nanti, aku cer
Suri menatap ponselnya dengan frustrasi. Ia tidak tahu harus merasa apa atau berkata apa. Romeo, dengan sifat dominan dan angkuhnya selalu memakai uang yang ia miliki untuk mengendalikan situasi. Dengan berat hati, Suri melangkah ke dapur, yang sudah dipenuhi peralatan baru. Emosinya kacau, seperti ombak yang menerjang karang tanpa ampun. Ia merasa hidupnya tidak akan pernah tenang selama ada Romeo Albantara di sekitarnya.Tiba-tiba, Suri terpikir tentang janji makan malam dengan Raysa. Sahabatnya itu tidak boleh tahu bahwa rumahnya sudah berubah total akibat ulah Romeo. Raysa pasti akan mencemaskannya. Suri menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Dalam benaknya, berputar-putar alasan yang harus ia berikan kepada Raysa untuk membatalkan makan malam. Akhirnya, ia mengetik pesan dengan tangan sedikit gemetar. [Maaf, Ray. Aku tidak bisa makan malam hari ini. Aku sedang lelah. Sabtu saja, aku traktir kamu dan Azka makan di kafe.] Jari-jari Suri berhenti di atas tombol âKirimâ
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanyaâsebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.âTini, makan malamnya sudah siap?â tanya Suri kepada salah satu pelayan. âIya, Nyonya. Tinggal disajikan,â jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.âSayang, ayo makan malam dulu!âPintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, âBaik, Sayang. Kami segera ke sana.âIa pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. âAyo, Nak. Waktunya makan malam.âJevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanyaâsebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.âTini, makan malamnya sudah siap?â tanya Suri kepada salah satu pelayan. âIya, Nyonya. Tinggal disajikan,â jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.âSayang, ayo makan malam dulu!âPintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, âBaik, Sayang. Kami segera ke sana.âIa pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. âAyo, Nak. Waktunya makan malam.âJevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.âSaya tidak mau makan malam bersama Bapak,â tolak Jeandra tegas. âSaya lebih suka makan sendiri.âKenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. âBaiklah,â sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.âKenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. âJangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.ââYa, ya,â jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.âIni,â ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. âDraft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.âJeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.âDalam perjanjian ini,â lanjut Kenan tenang, âdisepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.âJeandra membelalak. âEnam bulan?â Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.âBu Jeandra! Akhirnya datang juga,â seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. âKami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,â tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. âAku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besarâmembuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti iniâsejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.âTerima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.âTatap mataku, Serin,â tukas Jeandra. âJawab aku dengan jujur⊠apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?âSerin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara âtanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.âTerima kasih⊠telah menerima saya di sini.âTak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.âSerin,â panggilnya tenang. âBenarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?â âIya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asingâmegah dan berkelasâyang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumahâmelainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak