Dalam hitungan detik, emosi meledak di antara mereka. Tanpa aba-aba, Romeo meraup bibir Suri, mencurahkan semua rasa yang telah ia pendam. Kali ini, Suri tidak tinggal diam. Ia menggigit bibir Romeo dengan keras, mencoba menghentikan tindakan semena-mena pria itu. Namun, Romeo tidak mundur sama sekali.Air mata mengalir deras di pipi Suri, campuran antara ketakutan dan rasa sakit yang tidak bisa ia ungkapkan."Kenapa kamu melakukan ini lagi?" bisik Suri dengan suara yang hampir tidak terdengar. Romeo berhenti sejenak, menatap wajah Suri yang berlinang air mata. Ada kilatan berbeda di mata pria itu, tetapi ia segera menutupinya dengan seringai dingin."Karena aku suamimu," jawab Romeo, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Ia berdiri, meninggalkan Suri yang terduduk lemas di sofa. Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju meja makan, menatap hidangan yang telah disiapkan Suri."Untuk siapa semua masakan ini?" tanyanya sambil melirik Suri yang masih terisak di sofa. Suri tidak men
Romeo menyentuh krim itu, mencoba menghubungkan titik-titik di kepalanya. Apakah Suri begitu putus asa untuk mengubah penampilannya hingga melakukan prosedur medis? Namun, jika hanya melakukan operasi plastik, tidak mungkin Suri menyimpan obat sebanyak ini.Setelah menimbang sejenak, Romeo mengambil ponselnya dari saku. Ia memotret setiap botol obat, label aturan pakai, dan bahkan kertas resep yang ada di sana.“Aku harus tahu obat apa ini,” gumamnya sembari memicingkan mata. Pikiran Romeo kembali ke momen beberapa jam yang lalu, ketika Suri tiba-tiba muntah di kamar mandi. Apakah itu hanya karena stres, atau ada alasan medis yang lebih serius di baliknya? Tatapan Romeo semakin tajam. Meskipun sikapnya terhadap Suri terlihat keras, ia tetap peduli pada wanita itu. Dan sekarang, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mungkin Suri sembunyikan tentang kesehatannya.Selesai memotret, Romeo mengembalikan semua obat ke tempatnya semula. Ia menutup laci itu dengan hati-hati, memastikan tid
"Tidur di sofa? Bukankah kamu punya ranjang yang empuk di mansion? Kenapa tidak pulang?" tanya Suri dengan mata terbelalak. Ia hampir tak percaya mendengar Romeo bersedia tidur di tempat yang tidak nyaman. Romeo menghela napas, sorot matanya semakin meredup. "Kamu sedang sakit, Suri. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di rumah kecil ini.""Terserah kalau mau tidur di sofa sempit itu. Tapi, jangan harap aku peduli kalau kamu digigit nyamuk,” tukas Suri sengaja bersikap keras kepada Romeo.Dengan langkah yang menghentak, Suri masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Ia berbaring telentang di tempat tidur, tetapi tidak bisa memejamkan mata. Mungkin karena tadi ia sudah terlalu banyak tidur. Untuk membunuh waktu, Suri memilih memainkan ponselnya, sekadar mencari pelarian dari kegelisahan yang mengintai. Sesekali, ia memasang telinga, berharap mendengar tanda-tanda Romeo telah meninggalkan rumah. Namun, tidak ada suara pintu terbuka maupun mesin mobil dinyalakan.Di luar, langit mal
Suri mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan silau cahaya matahari yang menyelinap di celah gorden. Rasa kantuk masih menempel, tetapi telinganya menangkap suara gemericik air dari arah kamar mandi.Seketika, Suri terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat saat kesadaran perlahan menyusup ke dalam pikirannya."Siapa itu?" gumamnya langsung menegakkan badan.Suri menoleh ke sisi ranjang di sampingnya dengan tatapan bingung. Tempat tidur itu tampak jelas baru saja digunakan oleh dua orang. Sisa jejak kehadiran Romeo begitu nyata di sana.“Dia tidur di sini semalam?” bisik Suri pelan, masih tidak percaya.Bayangan semalam langsung berkelebat. Listrik padam. Kegelapan. Dan dalam situasi seperti itu, Suri merasa aman dalam dekapan Romeo.Suri menggelengkan kepalanya keras-keras—mereka juga sempat berciuman. Pipi Suri memanas mengingat betapa dekat wajah mereka kala itu. Bibirnya masih bisa m
Gedung perkantoran Pradipta Group menjulang megah di tengah kota, sebuah bangunan delapan lantai yang paling menonjol. Dinding kacanya memantulkan langit biru, sementara ornamen logamnya menambah kesan futuristik. Gedung ini dikenal sebagai markas besar perusahaan properti ternama, tempat berbagai proyek besar dirancang dan diwujudkan.Suri turun dari taksi dengan anggun. Sebelum melangkah keluar, ia sempat mengucapkan terima kasih kepada sopir yang telah mengantarnya. “Terima kasih, Pak,” katanya dengan senyum kecil. Langkahnya mantap saat ia menutup pintu taksi dan berdiri sejenak, mengamati gedung megah di hadapannya.Baru saja Suri hendak melangkah masuk, seorang petugas keamanan berseragam biru menghampirinya. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas itu dengan nada sopan.“Saya ada janji bertemu dengan Tuan Sagara Pradipta. Nama saya Suri Hudaya,” jelas Suri. Petugas keamanan itu tertegun sejenak mendengar Suri menyebut nama sang CEO. Namun, tanpa banyak bicara
Untuk kedua kalinya, Sagara menekan tombol interkom dan memanggil Valdo. Begitu asistennya itu masuk, Sagara langsung memberikan perintah."Berikan nomor ponselmu kepada Suri. Dia akan menghubungimu jika sudah mengambil keputusan.”Valdo mengangguk, lalu menuliskan nomor ponselnya di selembar kertas dan menyerahkannya ke tangan Suri. "Silakan disimpan, Bu Suri."Setelah menyimpan nomor ponsel Valdo, Suri berpamitan kepada Sagara sebelum beranjak pergi. Ia diantar oleh Valdo hingga ke pintu lift. Sesampainya di lobi, Suri melihat Raysa sudah menunggunya di dekat meja resepsionis. Memang sebelum berangkat, ia sempat bertukar pesan dengan sahabatnya itu."Suri!" panggil Raysa segera menarik tangan Suri, membawanya ke sudut lobi yang agak sepi. "Bagaimana hasil wawancaramu dengan Tuan Sagara?" tanyanya penuh antusias.Senyum merekah di bibir Suri. "Aku ditawari menjadi kepala arsitek, tapi dengan sebuah syarat yang cukup berat. Aku meminta waktu dua hari untuk memutuskan. Nanti, aku cer
Suri menatap ponselnya dengan frustrasi. Ia tidak tahu harus merasa apa atau berkata apa. Romeo, dengan sifat dominan dan angkuhnya selalu memakai uang yang ia miliki untuk mengendalikan situasi. Dengan berat hati, Suri melangkah ke dapur, yang sudah dipenuhi peralatan baru. Emosinya kacau, seperti ombak yang menerjang karang tanpa ampun. Ia merasa hidupnya tidak akan pernah tenang selama ada Romeo Albantara di sekitarnya.Tiba-tiba, Suri terpikir tentang janji makan malam dengan Raysa. Sahabatnya itu tidak boleh tahu bahwa rumahnya sudah berubah total akibat ulah Romeo. Raysa pasti akan mencemaskannya. Suri menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Dalam benaknya, berputar-putar alasan yang harus ia berikan kepada Raysa untuk membatalkan makan malam. Akhirnya, ia mengetik pesan dengan tangan sedikit gemetar. [Maaf, Ray. Aku tidak bisa makan malam hari ini. Aku sedang lelah. Sabtu saja, aku traktir kamu dan Azka makan di kafe.] Jari-jari Suri berhenti di atas tombol “Kirim”
Suasana di mansion keluarga Albantara terasa tenang seperti biasa. Nyonya Valerie dan putrinya, Aira, sedang menikmati makan siang di ruang makan yang luas. Hidangan khas rumahan tersaji rapi di meja panjang. Aira tampak sibuk berbalas pesan dengan Ivan, wajahnya terlihat mengeras. Ia sedang bertengkar dengan kekasihnya itu setelah ketahuan membawa gadis lain ke pesta. Sementara Nyonya Valerie menyeruput sup hangat dengan santai.Tiba-tiba, ketukan keras di pintu utama memecah keheningan. Bi Wina, salah satu pelayan setia keluarga itu, bergegas menuju pintu. Tak lama, sopir pribadi Romeo dan seorang bodyguard masuk ke dalam rumah. Keduanya tampak terburu-buru dan bergegas menghampiri Bi Wina yang berdiri di ambang pintu."Tuan Romeo meminta kami datang untuk mengemasi pakaian dan barang-barangnya di kamar,” ucap sopir itu.Nyonya Valerie ikut mendengarkan dari ruang makan. Hampir saja, ia menjatuhkan sendok sup dari tangannya karena terkejut. Lekas saja, ia berdiri dari kursi dan ber
Lampu merah yang menyala, tak menjadi penghalang bagi mobil putih dengan tanda palang merah di bagian atapnya untuk terus melaju dengan kecepatan penuh. Di dalamnya, tubuh Romeo terbaring di atas tandu. Selang oksigen sudah terpasang di hidungnya.Seorang paramedis berusaha menekan luka di dada Romeo dengan kain kasa tebal untuk mengurangi pendarahan. Monitor kecil di sebelahnya memperlihatkan detak jantung yang masih berjalan, meskipun melemah.Suri duduk di samping tandu itu, menggenggam tangan Romeo yang mulai terasa dingin. Tangisnya tak kunjung reda, air mata terus mengalir membasahi wajahnya yang pucat. Sungguh, ia tak akan sanggup kehilangan suami, sesudah ia ditinggalkan oleh sang ayah untuk selamanya. “Kenapa … kamu mengorbankan diri demi aku?” tutur Suri dengan air mata yang mengalir deras.Ia meremas jemari Romeo lebih erat, berharap suaminya memberi respons, meskipun hanya sekadar gerakan kecil. Namun, Romeo tetap diam, tak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Andai saja bi
Di dalam minimarket, ponsel Suri bergetar di dalam tasnya. Ia segera mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar—Romeo.Secepatnya, Suri mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Sayang, aku belum sampai di rumah.”“Suri, kamu di mana?” Suara Romeo terdengar lembut dan ceria.Suri mengernyit bingung. “Aku… sedang berbelanja di salah satu minimarket di Spring Season. Kenapa, Sayang?”“Aku ada di depan kantormu, tetapi security bilang kamu sudah pulang,” kata Romeo dengan nada sedikit menggoda.Suri terkejut mendengar perkataan Romeo yang terdengar ambigu. “Di depan kantorku? Maksudnya kamu sudah pulang dari luar negeri?”Romeo tertawa kecil. “Iya, Sayang, aku sudah kembali. Ini kejutan yang aku maksud.”Senyum merekah di wajah Suri. Tak pernah terpikir olehnya bahwa suaminya akan pulang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia pun merasa bahagia sekaligus sedikit bersalah, karena tidak ada di tempat saat Romeo datang mencarinya. “Aku kira kamu baru datang besok pagi. Tahu begini, ak
Di apartemennya, Diva baru saja menggeliat di tempat tidur. Kebiasaannya bangun siang membuatnya enggan beranjak. Akan tetapi, dering ponsel memaksanya untuk meraih perangkat itu dengan malas.Begitu melihat nama di layar, Diva segera menjawab dengan suara lembut.“Halo, Tante Valerie?""Diva, Tante ingin bertanya. Apakah kamu yang mengirimkan foto-foto Suri ke mansion? Kami baru saja menerima sebuah paket tak bernama berisi foto-foto itu."Rasa malas Diva hilang seketika, berganti dengan senyum lebar yang tersungging di wajahnya. "Iya, Tante. Aku menyewa orang untuk memata-matai Suri,” katanya penuh antusiasme. “Apakah Nyonya Miranda sudah melihatnya? Bagaimana reaksinya?”Ada jeda sejenak sebelum Nyonya Valerie menjawab. "Ya, Mama Miranda sudah melihat foto-foto itu. Tangannya gemetar, bahkan dia hampir pingsan.""Bagus! Itu artinya Beliau sangat marah. Lalu, apakah Suri akan dipanggil hari ini dan dipaksa untuk bercerai dari Kak Romeo?” tanya Diva tak sabar.Nyonya Valerie mendesah
Aira membuka amplop besar itu dengan rasa penasaran. Begitu matanya menangkap isi di dalamnya, tubuhnya langsung membeku. Deretan foto-foto yang terjatuh ke pangkuannya menampilkan sosok Suri bersama seorang pria yang terlihat mesra. Di dalam foto pertama, Suri dan pria itu tampak sedang makan siang bersama di sebuah kafe. Senyum mereka begitu akrab, seolah tidak ada jarak. Dalam foto lain, pria itu merangkul Suri, memegang tangannya bahkan memeluknya di halaman rumah tanpa rasa malu.Aira merasa napasnya tersendat. “Tidak mungkin… Suri?” bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tangannya gemetar saat menggenggam foto-foto itu. Selama ini, ia memang tidak menyukai Suri, tetapi ia tidak pernah menyangka sang kakak ipar akan melakukan perselingkuhan. Nyonya Miranda yang sejak tadi memperhatikan cucunya, melangkah perlahan. Ia mendekat sambil mencengkeram tongkatnya dengan erat. Garis wajahnya yang mulai menua memancarkan ketegasan.“Ada apa, Aira?”Aira tersen
Hati Suri terasa lebih ringan usai melihat kondisi sang tante, yang akhirnya bersedia menjalani pengobatan. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, menghapus penat yang melekat setelah seharian bekerja. Selesai mandi, Suri mengenakan piyama berbahan katun lembut dan berjalan menuju ruang makan. Di atas meja, terdapat semangkuk sup ayam dengan potongan wortel dan kentang, sepiring nasi putih, serta sari buah segar yang disiapkan pelayan. Suri duduk dan mulai menyantap makanan dengan tenangDi tengah suapan makan malamnya, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Suri mengambilnya dan melihat nama Raysa terpampang di layar. Ia segera menjawab panggilan itu dengan senyum."Halo, Raysa.""Suri, aku mau berbagi sesuatu!" suara Raysa terdengar penuh kebahagiaan di seberang sana.Suri menaruh sendoknya, penasaran dengan kabar yang akan disampaikan sahabatnya itu. "Apa itu? Suaramu terdengar sangat bahagia."Raysa tertawa kecil sebel
Suri melangkah mengikuti Axel ke dalam kamar yang beraroma obat. Di atas ranjang berkanopi putih, seorang wanita paruh baya terbaring lemah. Wajahnya yang dulu penuh wibawa kini tampak pucat dan tirus.Lingkaran hitam di bawah matanya semakin menegaskan betapa sakitnya ia selama ini. Napasnya terdengar berat, dan tangannya yang dulu tampak berisi kini terlihat ringkih dan berurat.Suri terkejut melihat kondisi tantenya yang begitu rapuh. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Walau masih ada bekas luka atas apa yang terjadi di masa lalu, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita di depannya ini adalah keluarga.Axel mendekati ranjang terlebih dahulu, membangunkan sang ibu dengan suara lembut. "Mama, aku membawa Suri ke sini. Dia ingin menjenguk Mama."Mata wanita itu terbuka perlahan, tampak terkejut dan tidak percaya. Dengan usaha yang terlihat menyakitkan, ia mencoba bangun dari posisinya. Suri segera melangkah maju, tangannya menopang tubuh sang tante. "Jangan,
Tepat pukul dua belas, Suri melangkah masuk ke Kafe Eclesia, tempat yang telah ia sepakati dengan Axel. Aroma kopi yang khas bercampur dengan wangi roti panggang menyambutnya, memberikan suasana hangat di tengah kepenatan. Matanya segera menangkap sosok pria yang duduk di sendirian di meja nomor sebelas, menunggunya dengan wajah penuh harap. Axel segera berdiri begitu melihat Suri datang. Ia berjalan ke pintu masuk dengan senyum mengembang, lalu meraih tangan Suri dan menariknya ke dalam pelukan.Suri sempat terkejut, tubuhnya menegang sejenak, tetapi ia tidak menolak. Ia menganggap pelukan itu sebagai ungkapan persaudaraan semata. Bagaimanapun, Axel adalah putra dari sang tante, walaupun hubungan mereka memiliki riwayat yang pelik. "Aku senang kamu datang," ujar Axel sambil melepas pelukannya. Ia kemudian menggandeng tangan Suri, membimbingnya menuju meja yang telah ia pesan sebelumnya.Suri duduk dengan sopan, menarik tangannya secara perlahan dari genggaman Axel. Matanya menatap
Raysa baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu calon pembeli apartemen. Setelah merapikan berkas-berkasnya, ia menghela napas sejenak sebelum bersiap menemui klien berikutnya—seseorang yang berniat membeli unit penthouse eksklusif dengan luas lebih dari 250 meter persegi di pusat kota. Pertemuan mereka dijadwalkan berlangsung di sebuah kafe, yang terletak di dekat area pengembangan apartemen.Setibanya di kafe, Raysa memesan secangkir kopi latte dan duduk di salah satu meja yang menghadap ke jendela. Ia mengecek kembali dokumen properti sambil menunggu kliennya datang.Namun, alih-alih sosok asing yang muncul, Raysa justru mendapati seorang pria yang sangat dikenalnya.Kenzo.Matanya melebar, tubuhnya menegang. Kenzo berjalan santai mendekatinya, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, memperlihatkan pergelangan tangan kokohnya. Senyum khasnya yang penuh percaya diri membuat Raysa semakin kesal."Apa yang kamu lakukan di sini?" Raysa langsung berdiri dari kursinya,
Hampir tiga minggu berlalu sejak pengakuan Romeo tentang kondisinya di depan keluarga. Sejak itu, Nyonya Miranda semakin sering mengundang mereka ke mansion, sekadar untuk makan malam bersama atau berjalan-jalan menikmati udara segar. Sementara itu, Nyonya Valerie, meskipun masih bersikap sinis, tampaknya belum melakukan apapun yang mengusik kehidupan rumah tangga putranya.Hanya saja, saat ini Suri sedang merasa kesepian. Romeo harus pergi ke luar negeri selama lima hari untuk melakukan kesepakatan kerja sama proyek pembangunan mal. Hari ini baru memasuki hari kedua, tetapi Suri sudah merindukan suaminya dengan begitu dalam. Sepulang dari kantor, ia hanya duduk termenung di kamar, memeluk erat boneka beruang besar pemberian Romeo. Walaupun tubuhnya lelah usai seharian meninjau proyek kota mandiri, Suri sama sekali tidak mengantuk.Biasanya, di malam-malam seperti ini, Suri terlelap dalam pelukan suaminya, merasakan kehangatan dan perlindungannya. Namun kini, ranjang tempatnya berbar