Suasana di mansion keluarga Albantara terasa tenang seperti biasa. Nyonya Valerie dan putrinya, Aira, sedang menikmati makan siang di ruang makan yang luas. Hidangan khas rumahan tersaji rapi di meja panjang. Aira tampak sibuk berbalas pesan dengan Ivan, wajahnya terlihat mengeras. Ia sedang bertengkar dengan kekasihnya itu setelah ketahuan membawa gadis lain ke pesta. Sementara Nyonya Valerie menyeruput sup hangat dengan santai.Tiba-tiba, ketukan keras di pintu utama memecah keheningan. Bi Wina, salah satu pelayan setia keluarga itu, bergegas menuju pintu. Tak lama, sopir pribadi Romeo dan seorang bodyguard masuk ke dalam rumah. Keduanya tampak terburu-buru dan bergegas menghampiri Bi Wina yang berdiri di ambang pintu."Tuan Romeo meminta kami datang untuk mengemasi pakaian dan barang-barangnya di kamar,” ucap sopir itu.Nyonya Valerie ikut mendengarkan dari ruang makan. Hampir saja, ia menjatuhkan sendok sup dari tangannya karena terkejut. Lekas saja, ia berdiri dari kursi dan ber
Di mansion, setelah menyelesaikan perintah ibunya untuk menelepon Diva, Aira berganti pakaian dan membenahi riasan. Kemudian, dia mengambil tas tangan sebelum keluar dari kamar.“Ma, aku mau ke salon dengan teman-teman.”Nyonya Valerie yang sedang duduk di sofa sambil menikmati camilan, menatap Aira penuh selidik. “Pergilah, tapi jangan pulang malam.”“Iya, Ma.” Aira mengangguk dan melangkah keluar. Ia masuk ke mobil sport merahnya, menghidupkan mesin, dan melaju ke arah pusat kota.Alih-alih menuju salon, mobil gadis itu berhenti di depan gedung apartemen megah, yang dekat dengan pusat perbelanjaan. Ia turun dengan langkah tergesa-gesa, menyembunyikan wajahnya di balik kacamata hitam besar. Ya, tujuannya hari ini bukan salon, melainkan sebuah kafe di lantai dasar apartemen tersebut. Begitu pintu kaca otomatisnya terbuka, aroma kopi memenuhi udara.Kafe itu dipenuhi sofa berwarna cokelat yang berjajar di dekat jendela besar, memberikan pemandangan kota Velmora sebagai latar sempurn
Romeo menggeram pelan, menatap Suri dengan intensitas yang membuat jantungnya berdebar. Tanpa peringatan, dia membungkuk dan mendekatkan bibirnya ke bibir Suri. Refleks, Suri langsung memejamkan mata, menunggu detik-detik di mana Romeo akan menciumnya secara paksa seperti biasa. Namun, ternyata pria itu hanya berbicara dengan suara dalam.“Kalimat pedasmu tidak pernah sejalan dengan reaksi tubuhmu. Sampai kapan kamu akan cemburu pada Diva?” tanya Romeo. Mata Suri membelalak. Ia tahu Romeo memang suka mempermainkan dirinya seperti ini.“Siapa yang cemburu? Aku justru memberi kebebasan pada kalian, supaya kalian cepat memiliki anak seperti yang diinginkan mamamu,” sahut Suri.Mata Romeo berangsur menggelap. Dengan gerakan tak terduga, ia langsung menarik dagu Suri ke atas, sehingga pandangan mereka saling bertemu.“Bagaimana kalau kamu yang menjadi ibu dari anakku? Kita bisa mencobanya sekarang,” tanya Romeo dengan santai, seolah hal tersebut adalah tindakan yang biasa.Sontak, wajah
Kurang lebih tiga puluh menit, Suri menimbang untung dan rugi dari perjanjian yang ditawarkan Romeo. Lebih baik, ia mengambil risiko daripada seumur hidup di bawah kuasa lelaki itu. Toh, ia yakin Romeo pada akhirnya akan memilih Diva sebagai istri. Setelah mantap dengan keputusannya, Suri menyusul Romeo yang sudah berada di kamar.“Aku menerima tawaranmu,” kata Suri tegas. “Tapi, kenapa harus satu tahun? Kita bisa tinggal bersama, satu atau dua bulan saja,” tanya Suri waspada.Romeo mengangkat bahu tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. “Itu persyaratan mutlak dariku, tidak bisa diubah.”“Kalau begitu aku juga punya syarat,” tandas Suri. “Kita tidak boleh mencampuri urusan masing-masing, terutama menyangkut hubungan pribadi dengan orang lain. Dan kita tidak akan tidur sekamar.”Romeo langsung menghentikan aktivitasnya sembari menaikkan sebelah alisnya yang tebal. “Bukankah itu sulit?” ucapnya perlahan. “Rumah ini hanya memiliki satu kamar tidur.”Tanpa meminta jawaban dari R
Romeo melangkah menuju kamar, hatinya masih penuh dengan perasaan bersalah. Ia membuka pintu dengan hati-hati, memastikan suara engsel tidak membangunkan Suri. Selama beberapa saat, Romeo memperhatikan wanita itu dalam diam. Napas Suri teratur, membentuk ritme yang tenang, tetapi Romeo bisa melihat betapa rapuhnya wanita itu. Ia baru menyadari bahwa tubuh Suri terlihat lebih kurus dibandingkan terakhir kali ia meninggalkan mansion. Meskipun begitu, istrinya itu tetap terlihat kuat, tidak pernah mengeluh sama sekali.“Maafkan aku, Suri,” bisik Romeo pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Kamu harus berjuang sendirian melawan penyakit itu.”Dengan perlahan, Romeo naik ke atas tempat tidur, menjaga setiap gerakannya tidak menimbulkan suara berisik. Ia berbaring di sisi tempat tidur, memperhatikan benteng bantal dan guling yang telah ditata Suri di tengah. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Benteng itu seperti pernyataan tegas bahwa ia tidak boleh melewati batas.Romeo tidak bisa
Ketika mobil Romeo sudah meninggalkan halaman rumah, Suri baru bisa menikmati sarapannya dengan tenang. Ia memilih nasi goreng dengan segelas teh hangat untuk mengisi perut, sebelum meminum obat dari dokter.Dalam kesendiriannya, Suri memandangi layar ponsel dengan ragu. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang dilanda kegelisahan. Romeo telah menawarkan sebuah kesepakatan, dan meski sulit untuk percaya sepenuhnya, mungkin ini adalah jalan yang harus diambil.Dengan jari gemetar, Suri menekan tombol panggil pada kontak yang sudah tersimpan dengan nama “Paman Josua.”Telepon itu tersambung hanya dalam beberapa detik. “Halo, Suri? Ada apa?” Suara Tuan Josua terdengar hangat.“Paman,” Suri membuka pembicaraan dengan pelan. “Aku ingin meminta sesuatu yang penting.”“Tentu. Apa itu? Katakan saja,” jawab Tuan Josua dengan nada penuh perhatian.Suri menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Aku ingin Paman mencabut gugatan ceraiku terhadap Romeo.”Hening sejenak. Tua
Suri memutuskan untuk menghabiskan sore dengan memasak sesuatu yang sederhana. Ia membuka lemari dapur, mencari bahan yang tersisa. Setelahnya, ia berencana menyetrika pakaian yang akan dikenakan untuk bekerja di Pradipta Group esok hari. Semangatnya mulai tumbuh untuk menjalani pekerjaan baru. Ketukan di pintu tiba-tiba memecah konsentrasi Suri. Jantungnya berdegup kencang dan pikirannya langsung tertuju pada Romeo. "Apa lagi sekarang?" gumam Suri kesal. Ia meletakkan panci di atas meja dapur, lalu berjalan menuju pintu dengan langkah penuh kewaspadaan. Sesaat sebelum membukanya, Suri menarik napas dalam, bersiap untuk menghadapi Romeo.Namun, ketika pintu terbuka, alis Suri terangkat. Di hadapannya berdiri dua wanita muda berseragam hitam dengan tangan penuh kantong belanja. Salah satu dari mereka tersenyum sopan kepada Suri."Selamat siang, Nyonya Suri. Kami adalah pelayan baru Anda."Suri mengernyit. "Maaf, saya tidak pernah mempekerjakan pelayan," jawab Suri, nadanya penuh cur
Akibat sentuhan Romeo yang menggendongnya tadi, kedua mata Suri tak mau terpejam lagi. Setiap detik yang ia habiskan bersama Romeo seperti ujian berat. Ada rasa nyaman sekaligus gelisah yang berbaur menjadi satu. Terkadang, Romeo bertindak seperti pahlawan yang melindunginya, tetapi di waktu lain pria itu bisa berubah menjadi monster yang mengerikan. “Seharusnya, aku tidak menyetujui perjanjian ini,” gumam Suri dalam hati. Hidup satu atap dengan Romeo selama satu tahun membutuhkan perjuangan, terutama dalam hal perasaan. Suara pintu kamar terbuka pelan, pertanda Romeo sudah selesai mandi. Suri langsung menahan napas dan pura-pura memejamkan mata, tak bergerak sama sekali. Langkah kaki Romeo mendekat dan ranjang bergoyang sedikit saat pria itu naik ke tempat tidur. “Kapan kamu mulai bekerja di perusahaan Sagara?” tanya Romeo seakan tahu bahwa Suri belum tidur. Suaranya rendah tetapi terdengar jelas di tengah keheningan malam.Malas untuk menjawab, Suri tetap bungkam dan bertahan pad
Mobil berwarna silver melaju dengan tenang di sepanjang jalanan kota. Suri duduk di dalamnya, tepat di samping Nyonya Miranda, sementara Bi Ranti duduk di kursi depan bersama sopir. Sejak tadi, Suri hanya diam, meremas jemarinya yang terasa dingin dan kaku. Di dalam sana, hati Suri berdebar tak karuan. Napasnya terdengar lebih berat, seolah rongga dadanya menahan beban yang begitu besar. Sesekali, Suri melempar pandangan ke jendela, berharap kegugupan itu segera menghilang. Nyonya Miranda, yang sedari tadi mengamati Suri, akhirnya memecah keheningan. "Suri, makanan seperti apa yang kamu sukai?" tanyanya dengan suara lembut penuh wibawa.Suri tersentak kecil, lalu buru-buru menjawab, "Saya suka makanan berkuah, termasuk olahan ikan seperti sup ikan, steak ikan, atau ikan panggang." Ia berusaha tersenyum meski masih diliputi rasa cemas. "Biasanya, saya memasak sendiri agar lebih sehat."Nyonya Miranda mengangguk pelan. "Bagus, jika seorang wanita menyukai kegiatan memasak artinya ia
Romeo membuka pintu rumah dengan tenang, sedangkan Suri berdiri di belakangnya. Pandangan Suri langsung tertuju pada mobil mewah berwarna perak yang terparkir di halaman. Siluet seseorang tampak samar dari balik kaca jendela. Hanya beberapa detik berselang, sopir segera turun dan berjalan ke sisi kiri mobil, sementara seorang wanita paruh baya, Bi Ranti, dengan cekatan membuka pintu di sisi kanan.Dari dalam mobil, keluarlah seorang wanita dengan dagu terangkat dan tatapan yang penuh superioritas. Nyonya Valerie berdiri angkuh, menyapu pandangannya ke sekeliling halaman dengan ekspresi meremehkan. Bibirnya sedikit mencibir, seolah rumah ini adalah tempat yang tak layak dikunjungi. Suri, yang melihatnya, menahan napas. Ia sudah menduga ibu mertuanya tidak akan memberikan sambutan yang hangat. Namun, sebelum ada yang sempat berbicara, pintu mobil lainnya terbuka, dan sosok anggun muncul dari dalamnya.Nyonya Miranda melangkah turun dengan gerakan yang penuh wibawa. Rambutnya disanggul
Di dalam kamarnya yang beraroma vanila, Aira bersandar pada bantal empuk. Ponselnya menempel di telinga, suaranya lembut tetapi terdengar gelisah. Di ujung telepon, Ivan kembali merengek, suaranya penuh keluhan."Baby, kapan aku bisa beli apartemen ini? Kata pemiliknya, bulan depan apartemen ini tidak akan disewakan lagi, karena akan dijual." Suara Ivan terdengar merajuk, seolah menuntut jawaban yang bisa segera meredakan kegelisahannya.Aira menghela napas pelan. "Aku belum punya kesempatan bicara pada Kak Romeo. Lagi pula, nenekku baru saja kembali dari luar negeri dan sedang di mansion. Aku harus fokus padanya dulu."Sejenak, tidak ada suara dari Ivan. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali bersuara dengan nada penuh siasat. "Justru bagus kalau nenekmu ada di sana,” kata Ivan antusias. “Kamu bisa minta ke Beliau untuk menjual saham itu supaya kamu bisa membuka usaha butik. Nenekmu pasti lebih mudah dibujuk daripada Romeo yang sifatnya keras kepala."Aira terdiam, mempertimbangkan
Nyonya Miranda mengangkat alisnya, tampak terkejut. Dengan suara bergetar seakan menahan rasa sakit, Nyonya Valerie melanjutkan ucapannya."Suri mempengaruhi Romeo untuk menjauh dari kami, Ma. Dia meminta Romeo memutuskan semua hubungan dengan saya dan Aira. Bahkan, Romeo tidak pernah datang lagi ke mansion."Wajah Nyonya Miranda mengeras. Ia menatap Nyonya Valerie dengan pandangan penuh penilaian. Sepertinya, wanita tua itu sedang menimbang-nimbang kebenaran ucapan sang menantu.“Kenapa kamu tidak mengundang Romeo dan istrinya kemari?”Nyonya Valerie kemudian memegang dadanya, seolah tidak sanggup menahan rasa malu dan sedih."Saya sudah mencoba, Ma, tapi mereka tidak mau datang. Romeo juga tidak memperbolehkan saya berkunjung ke kantornya.”Nyonya Miranda menggenggam tongkatnya lebih erat, tampak berpikir dalam-dalam. Matanya menatap lurus ke depan, seperti menimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. "Padahal aku sangat rindu pada Romeo ...." gumamnya lirih. "Aku menyesal
Sepulang kantor, Suri mengirimkan pesan kepada Romeo bahwa dia akan berbelanja sebentar dengan Raysa. Usai mendapat izin dari sang suami, Suri pun pergi bersama Raysa ke salah satu pusat perbelanjaan. Raysa menarik lengan Suri dengan semangat, menyeretnya masuk ke dalam toko lingerie yang didekorasi dengan nuansa merah muda. Aroma wangi vanila menyambut keduanya, membuat suasana menjadi lebih intim. “Ray, untuk apa ke sini?” protes Suri malu-malu.“Kamu mau membuat Romeo bahagia, ‘kan? Ini salah satu caranya,” pungkas Raysa tidak memberi kesempatan kepada Suri untuk protes.Seorang pegawai toko dengan senyum ramah menyambut mereka. Matanya segera tertuju pada Suri yang tampak canggung di balik bahu Raysa.“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”“Kami mencari lingerie yang cocok untuk teman saya ini,” kata Raysa tanpa ragu, sambil menunjuk Suri yang langsung memerah wajahnya. “Yang sesuai dengan kulitnya yang putih dan lembut.”Pegawai toko mengangguk dengan profesionalisme yang
Mansion keluarga Albantara dipenuhi dengan kesibukan yang tidak biasa. Para pelayan bergegas ke sana kemari, membersihkan setiap sudut ruangan hingga bersinar. Derap langkah kaki mereka menggema di koridor, membawa alat-alat kebersihan dan kain pel ke setiap sudut rumah.Di lantai bawah, kamar utama menjadi perhatian khusus. Tempat tidur dengan sprei putih bersih dirapikan, bantal-bantal dihias dengan sarung bermotif elegan, dan bunga segar diletakkan di atas meja kecil dekat jendela. Bau lemon dari semprotan pengharum ruangan menyebar, memberikan kesan segar dan bersih. Tepat jam makan siang, Diva tiba di mansion dengan membawa sekotak besar makanan kesukaan Nyonya Valerie. Langkahnya ringan saat ia berjalan melewati ruang tamu yang megah, tetapi matanya segera menangkap pemandangan yang tidak biasa. Seorang pelayan sedang menyusun vas kristal di ruang makan, sementara yang lain dengan cekatan menyusun gelas-gelas di atas meja. “Di man
Romeo menelan ludah, wajahnya berubah muram. “Apakah ini berarti … saya tidak punya harapan untuk memiliki anak?” tanyanya dengan suara serak.Dokter Fani menggeleng pelan. “Bukan berarti tidak bisa, Tuan Romeo. Tapi, peluangnya lebih kecil dibandingkan dengan pria yang memiliki parameter sperma normal. Masih ada berbagai langkah yang bisa kita ambil.”Suri menoleh ke arah Romeo. Melihat gurat kesedihan di wajah suaminya, ia segera menggenggam tangan Romeo dengan erat. Mata mereka bertemu, dan Suri memberikan tatapan penuh kasih sayang. “Kita pasti bisa melewati ini bersama,” bisiknya lembut.Dokter Fani melanjutkan penjelasannya. “Ada beberapa opsi terapi yang bisa kita coba. Pertama, kita bisa mulai dengan perubahan gaya hidup, seperti pola makan sehat, olahraga rutin, dan menghindari stres berlebihan. Selain itu, suplemen tertentu yang mengandung zinc dan vitamin E dapat membantu meningkatkan kualitas sperma.”Romeo mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih tegang. “Apakah ad
Tiga hari berlalu begitu cepat sejak Suri dan Romeo melakukan tes kesuburan. Pagi itu, suasana di rumah mereka tampak biasa saja, tetapi tidak bagi Suri. Di dalam hatinya, ia merasa ada gelombang kecemasan yang sulit dijelaskan. Sebuah ketakutan kecil menyelinap di pikirannya—bagaimana jika hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi seorang ibu? Sambil melamun, Suri berdiri di dapur, menyiapkan sarapan. Ia menuang telur kocok yang sudah diberi bumbu, lalu menuangkannya ke dalam wajan panas untuk membuat omelet.Selama proses memasak, pikiran Suri masih melayang ke hasil tes yang akan mereka ambil hari ini. Dalam lamunannya, Suri bahkan tidak menyadari bau gosong mulai tercium di seluruh dapur. Romeo, yang baru saja selesai berpakaian, langsung mencium aroma yang tidak biasa. Dengan langkah cepat, ia menuju dapur dan langsung mematikan kompor. “Suri, kamu kenapa?” tanyanya sambil memindahkan wajan dari atas api. Suri menoleh, wajahnya tampak bersalah. “
Usai meninjau proyek pembangunan kota mandiri, Suri, Sagara, dan dua arsitek senior kembali ke kantor Pradipta Group. Suasana di mobil dipenuhi obrolan ringan. Sebelum turun dari mobil, Sagara menoleh ke arah Suri untuk mengingatkan tentang makan malam. “Suri, ingatkan tim kita nanti jam lima tepat ke basement. Kita akan berangkat bersama ke restoran Kanaya Garden.”Suri mengangguk patuh. “Baik, Pak Sagara. Kami akan berkumpul tepat waktu,” jawabnya dengan nada profesional.Begitu tiba di ruang divisi arsitek, Suri langsung mengingatkan timnya. Kemudian, ia pergi ke toilet untuk mengganti pakaian dengan blus berwarna jingga dan celana panjang hitam yang memberikan kesan nyaman. Selesai berganti pakaian, Suri melanjutkan pekerjaannya hingga waktu menunjukkan pukul lima.Ketika semua orang telah bersiap, Suri memimpin timnya turun ke basement. Di sana, mereka bersiap menaiki mobil kantor yang telah disediakan. Namun, Sagara tiba-tiba menghampiri Suri.“Ikut mobil saya saja, Suri. Mobil