Suri memutuskan untuk menghabiskan sore dengan memasak sesuatu yang sederhana. Ia membuka lemari dapur, mencari bahan yang tersisa. Setelahnya, ia berencana menyetrika pakaian yang akan dikenakan untuk bekerja di Pradipta Group esok hari. Semangatnya mulai tumbuh untuk menjalani pekerjaan baru. Ketukan di pintu tiba-tiba memecah konsentrasi Suri. Jantungnya berdegup kencang dan pikirannya langsung tertuju pada Romeo. "Apa lagi sekarang?" gumam Suri kesal. Ia meletakkan panci di atas meja dapur, lalu berjalan menuju pintu dengan langkah penuh kewaspadaan. Sesaat sebelum membukanya, Suri menarik napas dalam, bersiap untuk menghadapi Romeo.Namun, ketika pintu terbuka, alis Suri terangkat. Di hadapannya berdiri dua wanita muda berseragam hitam dengan tangan penuh kantong belanja. Salah satu dari mereka tersenyum sopan kepada Suri."Selamat siang, Nyonya Suri. Kami adalah pelayan baru Anda."Suri mengernyit. "Maaf, saya tidak pernah mempekerjakan pelayan," jawab Suri, nadanya penuh cur
Akibat sentuhan Romeo yang menggendongnya tadi, kedua mata Suri tak mau terpejam lagi. Setiap detik yang ia habiskan bersama Romeo seperti ujian berat. Ada rasa nyaman sekaligus gelisah yang berbaur menjadi satu. Terkadang, Romeo bertindak seperti pahlawan yang melindunginya, tetapi di waktu lain pria itu bisa berubah menjadi monster yang mengerikan. “Seharusnya, aku tidak menyetujui perjanjian ini,” gumam Suri dalam hati. Hidup satu atap dengan Romeo selama satu tahun membutuhkan perjuangan, terutama dalam hal perasaan. Suara pintu kamar terbuka pelan, pertanda Romeo sudah selesai mandi. Suri langsung menahan napas dan pura-pura memejamkan mata, tak bergerak sama sekali. Langkah kaki Romeo mendekat dan ranjang bergoyang sedikit saat pria itu naik ke tempat tidur. “Kapan kamu mulai bekerja di perusahaan Sagara?” tanya Romeo seakan tahu bahwa Suri belum tidur. Suaranya rendah tetapi terdengar jelas di tengah keheningan malam.Malas untuk menjawab, Suri tetap bungkam dan bertahan pad
Taksi online yang dipesan Suri tiba, dan ia buru-buru masuk. Melalui jendela taksi, Suri melihat Romeo keluar dari rumah, memperhatikan laju taksi yang dinaikinya dengan raut wajah tak terbaca. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu, Suri tak mampu menebak. Ia hanya berharap agar Romeo menepati janji untuk tidak mengusik pekerjaannya. Setibanya di kantor Pradipta Group, Suri turun dari taksi dengan langkah mantap. Ia langsung menuju ruang manajer HRD di lantai dua, sesuai dengan petunjuk yang diberikan Valdo kemarin. “Selamat pagi, Bu Suri,” sambut manajer HRD, seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan perut buncit. “Silakan duduk.”Suri duduk di kursi yang disediakan. Kendati sedikit gugup, Suri tetap menunjukkan senyum profesional. Sang manajer mengambil sebuah map berwarna hijau dari meja kerjanya, lalu menyerahkannya kepada Suri.“Ini adalah dokumen kontrak kerja Anda, Bu Suri. Bacalah dengan teliti sebelum Anda menandatanganinya. Jika ada yang belum jelas, silakan be
Suri dan Raysa sedang menikmati makan siang di kantin kantor. Suasana di sekeliling mereka ramai dengan suara obrolan dan bunyi piring beradu. Di hadapan mereka, ada soto ayam dan es teh yang menjadi teman istirahat siang itu. Sambil makan, Suri menceritakan pengalamannya bekerja di divisi arsitek kepada Raysa. Hanya saja, ketenangan makan siang mereka terganggu saat ponsel Suri bergetar di atas meja. Ia meraih ponsel dan melihat nama Romeo tertera di layar. Suri menghela napas berat sebelum menjawab panggilan itu. “Halo?” sapanya dengan nada datar.“Suri,” suara Romeo terdengar serius di seberang. “Aku akan menjemputmu sepulang kantor. Kita pergi ke hotel untuk menandatangani perjanjian di depan pengacaraku.”“Aku bisa pergi sendiri. Beri tahu aku nama hotelnya,” sahut Suri dingin. “Tidak,” jawab Romeo tegas. “Tunggu aku di depan lobi kantormu. Jangan membuatku menunggu terlalu lama.”Sebelum Suri sempat membalas, Romeo sudah memutuskan sambungan telepon. Suri hanya bisa menatap l
Langkah Suri menuju ruang CEO terasa tenang, walau ada sedikit kegelisahan di hatinya. Sagara memang terlihat ramah, tetapi pria itu juga terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang tegas.Begitu tiba di ruang CEO, Suri dipersilakan masuk oleh sekretaris Sagara. Namun, ia tetap mengetuk pintu terlebih dulu sebagai bentuk sopan santun. Sambil menarik napas dalam-dalam, Suri lantas melangkah masuk. Ia melihat Sagara sedang duduk di belakang meja kerjanya, mengenakan jas abu-abu gelap yang elegan. “Silakan duduk, Suri,” ujarnya sambil menunjuk kursi di depan mejanya.“Selamat sore, Pak. Apakah ada yang ingin Anda diskusikan?” tanyanya menunjukkan sikap profesional. “Saya hanya ingin tahu, bagaimana hari pertamamu bekerja?” tanya Sagara pelan. Suri mengangguk pelan. “Saya sedang mengenal para staf dan mulai membicarakan proyek Jadera City dalam meeting kecil divisi.”“Bagus. Itu proyek utama yang membutuhkan perhatian khusus. Saya ingin memastikan kamu bisa memimpin tim arsitek untuk me
Diva menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Baiklah, Tuan Herdi. Saya akan mentransfer pelunasan hari ini juga,” kata Diva pada sang detektif. Pria itu mengangguk sopan sambil memperhatikan Diva yang sedang mentransfer sejumlah uang melalui ponselnya. Sesudah transaksi selesai, Diva lantas keluar dari mobil dengan dagu terangkat ke atas.Kembali ke lokasi syuting, Diva menyerahkan dokumen di tangannya kepada Rendy. “Tunda saja syuting hari ini,” katanya tiba-tiba.Rendy terkejut. “Aduh, Diva! Kalau ditunda, produser bisa marah. Bisa-bisa kita dituntut dan diperkarakan di pengadilan! Bayangkan kerugian yang harus kita tanggung!”“Aku tidak peduli, Ren!” bentak Diva. “Aku tidak bisa konsentrasi sekarang! Kak Romeo pasti sedang bersama Suri! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menyingkirkan wanita sialan itu!” Diva mengangkat tangan ke atas kepala, hingga rambut panjangnya yang digelung rapi berantakan karena gerakan itu.Rendy menatap Diva sambil menutup mu
Langkah kaki Suri menuju lift terasa berat. Berdiri sendirian di dalam kotak besi yang dingin, menyebabkan pikirannya melayang ke segala arah. Apa yang sedang ia lakukan? Kesepakatan dengan Romeo terasa seperti mimpi buruk yang sengaja ia pilih sendiri. Namun, ini bukan soal pilihan, melainkan kompromi yang harus ia lakukan demi meraih kebebasan.“Aku bisa melakukannya,” gumam Suri pelan, mencoba berpikir positif. Namun, keyakinan itu hanya bertahan sekejap, sebelum gelombang keraguan kembali menyerangnya.Lift bergerak turun dengan bunyi mekanis yang monoton. Suri berjalan menyusuri lobi tanpa memperhatikan karyawan lain yang berlalu-lalang. Dengan tergesa-gesa, ia menuju pintu utama dan dari kejauhan, ia sudah bisa melihat mobil Romeo yang terparkir di depan.Ketika hampir mencapai mobil, Suri berhenti sejenak, tatapannya memeriksa pemandangan yang tidak biasa. Romeo sedang duduk di balik kemudi, tanpa sopir pribadi yang selalu setia menemaninya. Sungguh, hal ini terasa aneh mengin
Alunan instrumen bernuansa romantis mengisi seluruh sudut restoran. Romeo segera melambaikan tangan ke arah pelayan, memberikan isyarat agar buku menu dibawakan ke meja mereka. Sementara Suri duduk dengan canggung sambil mendengarkan percakapan antara Tuan Josua dan Tuan Baron. Ia merasa kurang nyaman dengan situasi ini.“Maaf, Tuan Romeo, saya tidak bisa ikut makan malam karena harus kembali ke kantor. Ada klien yang sudah menunggu,” kata Tuan Josua, berdiri sambil merapikan dasinya.“Begitu juga saya,” timpal Tuan Baron dengan senyuman tipis. Sebelum beranjak pergi, Tuan Josua berkata kepada Tuan Baron, “Besok pagi, mohon salinan perjanjian ini dikirimkan ke kantor saya.” Tuan Baron mengangguk ramah. “Tentu saja. Saya akan pastikan salinan itu sampai tepat waktu.” Usai berpamitan, kedua pengacara itu melenggang pergi, meninggalkan Romeo dan Suri berdua di restoran. Keheningan sejenak menyelimuti mereka, hingga pelayan datang membawa buku menu dan meletakkannya di atas meja.“Kita
Mobil berwarna silver melaju dengan tenang di sepanjang jalanan kota. Suri duduk di dalamnya, tepat di samping Nyonya Miranda, sementara Bi Ranti duduk di kursi depan bersama sopir. Sejak tadi, Suri hanya diam, meremas jemarinya yang terasa dingin dan kaku. Di dalam sana, hati Suri berdebar tak karuan. Napasnya terdengar lebih berat, seolah rongga dadanya menahan beban yang begitu besar. Sesekali, Suri melempar pandangan ke jendela, berharap kegugupan itu segera menghilang. Nyonya Miranda, yang sedari tadi mengamati Suri, akhirnya memecah keheningan. "Suri, makanan seperti apa yang kamu sukai?" tanyanya dengan suara lembut penuh wibawa.Suri tersentak kecil, lalu buru-buru menjawab, "Saya suka makanan berkuah, termasuk olahan ikan seperti sup ikan, steak ikan, atau ikan panggang." Ia berusaha tersenyum meski masih diliputi rasa cemas. "Biasanya, saya memasak sendiri agar lebih sehat."Nyonya Miranda mengangguk pelan. "Bagus, jika seorang wanita menyukai kegiatan memasak artinya ia
Romeo membuka pintu rumah dengan tenang, sedangkan Suri berdiri di belakangnya. Pandangan Suri langsung tertuju pada mobil mewah berwarna perak yang terparkir di halaman. Siluet seseorang tampak samar dari balik kaca jendela. Hanya beberapa detik berselang, sopir segera turun dan berjalan ke sisi kiri mobil, sementara seorang wanita paruh baya, Bi Ranti, dengan cekatan membuka pintu di sisi kanan.Dari dalam mobil, keluarlah seorang wanita dengan dagu terangkat dan tatapan yang penuh superioritas. Nyonya Valerie berdiri angkuh, menyapu pandangannya ke sekeliling halaman dengan ekspresi meremehkan. Bibirnya sedikit mencibir, seolah rumah ini adalah tempat yang tak layak dikunjungi. Suri, yang melihatnya, menahan napas. Ia sudah menduga ibu mertuanya tidak akan memberikan sambutan yang hangat. Namun, sebelum ada yang sempat berbicara, pintu mobil lainnya terbuka, dan sosok anggun muncul dari dalamnya.Nyonya Miranda melangkah turun dengan gerakan yang penuh wibawa. Rambutnya disanggul
Di dalam kamarnya yang beraroma vanila, Aira bersandar pada bantal empuk. Ponselnya menempel di telinga, suaranya lembut tetapi terdengar gelisah. Di ujung telepon, Ivan kembali merengek, suaranya penuh keluhan."Baby, kapan aku bisa beli apartemen ini? Kata pemiliknya, bulan depan apartemen ini tidak akan disewakan lagi, karena akan dijual." Suara Ivan terdengar merajuk, seolah menuntut jawaban yang bisa segera meredakan kegelisahannya.Aira menghela napas pelan. "Aku belum punya kesempatan bicara pada Kak Romeo. Lagi pula, nenekku baru saja kembali dari luar negeri dan sedang di mansion. Aku harus fokus padanya dulu."Sejenak, tidak ada suara dari Ivan. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali bersuara dengan nada penuh siasat. "Justru bagus kalau nenekmu ada di sana,” kata Ivan antusias. “Kamu bisa minta ke Beliau untuk menjual saham itu supaya kamu bisa membuka usaha butik. Nenekmu pasti lebih mudah dibujuk daripada Romeo yang sifatnya keras kepala."Aira terdiam, mempertimbangkan
Nyonya Miranda mengangkat alisnya, tampak terkejut. Dengan suara bergetar seakan menahan rasa sakit, Nyonya Valerie melanjutkan ucapannya."Suri mempengaruhi Romeo untuk menjauh dari kami, Ma. Dia meminta Romeo memutuskan semua hubungan dengan saya dan Aira. Bahkan, Romeo tidak pernah datang lagi ke mansion."Wajah Nyonya Miranda mengeras. Ia menatap Nyonya Valerie dengan pandangan penuh penilaian. Sepertinya, wanita tua itu sedang menimbang-nimbang kebenaran ucapan sang menantu.“Kenapa kamu tidak mengundang Romeo dan istrinya kemari?”Nyonya Valerie kemudian memegang dadanya, seolah tidak sanggup menahan rasa malu dan sedih."Saya sudah mencoba, Ma, tapi mereka tidak mau datang. Romeo juga tidak memperbolehkan saya berkunjung ke kantornya.”Nyonya Miranda menggenggam tongkatnya lebih erat, tampak berpikir dalam-dalam. Matanya menatap lurus ke depan, seperti menimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. "Padahal aku sangat rindu pada Romeo ...." gumamnya lirih. "Aku menyesal
Sepulang kantor, Suri mengirimkan pesan kepada Romeo bahwa dia akan berbelanja sebentar dengan Raysa. Usai mendapat izin dari sang suami, Suri pun pergi bersama Raysa ke salah satu pusat perbelanjaan. Raysa menarik lengan Suri dengan semangat, menyeretnya masuk ke dalam toko lingerie yang didekorasi dengan nuansa merah muda. Aroma wangi vanila menyambut keduanya, membuat suasana menjadi lebih intim. “Ray, untuk apa ke sini?” protes Suri malu-malu.“Kamu mau membuat Romeo bahagia, ‘kan? Ini salah satu caranya,” pungkas Raysa tidak memberi kesempatan kepada Suri untuk protes.Seorang pegawai toko dengan senyum ramah menyambut mereka. Matanya segera tertuju pada Suri yang tampak canggung di balik bahu Raysa.“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”“Kami mencari lingerie yang cocok untuk teman saya ini,” kata Raysa tanpa ragu, sambil menunjuk Suri yang langsung memerah wajahnya. “Yang sesuai dengan kulitnya yang putih dan lembut.”Pegawai toko mengangguk dengan profesionalisme yang
Mansion keluarga Albantara dipenuhi dengan kesibukan yang tidak biasa. Para pelayan bergegas ke sana kemari, membersihkan setiap sudut ruangan hingga bersinar. Derap langkah kaki mereka menggema di koridor, membawa alat-alat kebersihan dan kain pel ke setiap sudut rumah.Di lantai bawah, kamar utama menjadi perhatian khusus. Tempat tidur dengan sprei putih bersih dirapikan, bantal-bantal dihias dengan sarung bermotif elegan, dan bunga segar diletakkan di atas meja kecil dekat jendela. Bau lemon dari semprotan pengharum ruangan menyebar, memberikan kesan segar dan bersih. Tepat jam makan siang, Diva tiba di mansion dengan membawa sekotak besar makanan kesukaan Nyonya Valerie. Langkahnya ringan saat ia berjalan melewati ruang tamu yang megah, tetapi matanya segera menangkap pemandangan yang tidak biasa. Seorang pelayan sedang menyusun vas kristal di ruang makan, sementara yang lain dengan cekatan menyusun gelas-gelas di atas meja. “Di man
Romeo menelan ludah, wajahnya berubah muram. “Apakah ini berarti … saya tidak punya harapan untuk memiliki anak?” tanyanya dengan suara serak.Dokter Fani menggeleng pelan. “Bukan berarti tidak bisa, Tuan Romeo. Tapi, peluangnya lebih kecil dibandingkan dengan pria yang memiliki parameter sperma normal. Masih ada berbagai langkah yang bisa kita ambil.”Suri menoleh ke arah Romeo. Melihat gurat kesedihan di wajah suaminya, ia segera menggenggam tangan Romeo dengan erat. Mata mereka bertemu, dan Suri memberikan tatapan penuh kasih sayang. “Kita pasti bisa melewati ini bersama,” bisiknya lembut.Dokter Fani melanjutkan penjelasannya. “Ada beberapa opsi terapi yang bisa kita coba. Pertama, kita bisa mulai dengan perubahan gaya hidup, seperti pola makan sehat, olahraga rutin, dan menghindari stres berlebihan. Selain itu, suplemen tertentu yang mengandung zinc dan vitamin E dapat membantu meningkatkan kualitas sperma.”Romeo mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih tegang. “Apakah ad
Tiga hari berlalu begitu cepat sejak Suri dan Romeo melakukan tes kesuburan. Pagi itu, suasana di rumah mereka tampak biasa saja, tetapi tidak bagi Suri. Di dalam hatinya, ia merasa ada gelombang kecemasan yang sulit dijelaskan. Sebuah ketakutan kecil menyelinap di pikirannya—bagaimana jika hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi seorang ibu? Sambil melamun, Suri berdiri di dapur, menyiapkan sarapan. Ia menuang telur kocok yang sudah diberi bumbu, lalu menuangkannya ke dalam wajan panas untuk membuat omelet.Selama proses memasak, pikiran Suri masih melayang ke hasil tes yang akan mereka ambil hari ini. Dalam lamunannya, Suri bahkan tidak menyadari bau gosong mulai tercium di seluruh dapur. Romeo, yang baru saja selesai berpakaian, langsung mencium aroma yang tidak biasa. Dengan langkah cepat, ia menuju dapur dan langsung mematikan kompor. “Suri, kamu kenapa?” tanyanya sambil memindahkan wajan dari atas api. Suri menoleh, wajahnya tampak bersalah. “
Usai meninjau proyek pembangunan kota mandiri, Suri, Sagara, dan dua arsitek senior kembali ke kantor Pradipta Group. Suasana di mobil dipenuhi obrolan ringan. Sebelum turun dari mobil, Sagara menoleh ke arah Suri untuk mengingatkan tentang makan malam. “Suri, ingatkan tim kita nanti jam lima tepat ke basement. Kita akan berangkat bersama ke restoran Kanaya Garden.”Suri mengangguk patuh. “Baik, Pak Sagara. Kami akan berkumpul tepat waktu,” jawabnya dengan nada profesional.Begitu tiba di ruang divisi arsitek, Suri langsung mengingatkan timnya. Kemudian, ia pergi ke toilet untuk mengganti pakaian dengan blus berwarna jingga dan celana panjang hitam yang memberikan kesan nyaman. Selesai berganti pakaian, Suri melanjutkan pekerjaannya hingga waktu menunjukkan pukul lima.Ketika semua orang telah bersiap, Suri memimpin timnya turun ke basement. Di sana, mereka bersiap menaiki mobil kantor yang telah disediakan. Namun, Sagara tiba-tiba menghampiri Suri.“Ikut mobil saya saja, Suri. Mobil