Sebelum Suri melangkah turun, Tuan Cahyadi tiba-tiba naik ke atas panggung. “Terima kasih atas kehadiran Anda sekalian di acara ulang tahun saya,” katanya dengan suara lantang, penuh semangat. Semua tamu mengalihkan perhatian mereka ke pria tua itu, memberikan tepuk tangan penghormatan. “Malam ini adalah malam istimewa bagi saya,” lanjut Tuan Cahyadi dengan senyum bangga. “Karena saya tidak hanya merayakan ulang tahun, tetapi juga memiliki kesempatan untuk memperkenalkan salah satu generasi muda yang berbakat. Dia adalah Dewi Infinity.”Suri merasakan sorotan lampu sekali lagi terpusat padanya. Perasaan gugup kembali menjalar, tetapi dia tetap berdiri tegak, coba untuk menenangkan diri. “Tepat dua tahun lalu, Dewi Infinity seharusnya menerima penghargaan sebagai pemenang utama kompetisi arsitek nasional. Namun, karena musibah kecelakaan, dia tidak bisa hadir untuk menerima penghargaan tersebut. Malam ini, dia telah kembali dalam kondisi sehat, dan siap untuk bekerja sama dengan par
Di dalam toilet hotel yang sepi, Suri menatap bayangan dirinya di cermin. Sambil merapikan gaun, ia memastikan topeng emasnya masih terpasang sempurna. Tidak boleh ada celah sedikit pun yang bisa mengungkapkan identitasnya. Suri menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri sebelum kembali ke pesta mewah di ballroom. Namun, begitu ia keluar dari toilet, langkahnya terhenti. Romeo berdiri di ujung lorong, bersandar santai ke dinding dengan tangan disilangkan di dada. Tatapannya begitu gelap dan tajam, seperti seekor elang yang tengah mengincar mangsanya. “Sampai kapan kamu akan menghindariku, Dewi Infinity?” tanya Romeo dingin. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.“Saya tidak tahu apa yang Anda maksud. Silakan keluar, ini toilet wanita,” ujar Suri mencoba tetap tenang, melawan ketegangan yang merambat di punggungnya. Suri mundur perlahan, bermaksud ingin berbalik ke toilet lagi. Namun, Romeo sudah melangkah maju, menutup jarak di antara mereka. Sebelum ia sempat melarikan di
Secara refleks, Romeo mengusap bibirnya. Pastilah bekas ciumannya dengan Suri masih sedikit membekas. Untuk menghindari berbagai pertanyaan yang tak perlu dari DIva, Romeo dengan cepat menyusun alasan.“Aku tadi minum anggur merah. Mungkin itu sebabnya.” Diva tidak sepenuhnya percaya, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh. Dengan senyum yang dipaksakan, ia meraih tissue dari atas meja lalu menyerahkannya kepada Romeo.“Kak, jangan tinggalkan aku lagi. Aku merasa seperti orang bodoh duduk sendirian di sini.” Romeo hanya menanggapi dengan anggukan, matanya masih terus mencari sosok Suri di tengah kerumunan. Hatinya dipenuhi tekad. Ada rasa hangat sekaligus marah yang bercampur menjadi satu, tatkala melihat istrinya ada di pesta ini.‘Kita akan segera bertemu,’ gumam Romeo dalam hati.Sementara itu, di meja buffet, Suri menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya dari pandangan tamu lain.
Cahaya yang menerangi ballroom kini perlahan meredup, meninggalkan suasana temaram yang hangat. Hanya tersisa sinar lampu gantung kristal yang berkilauan, menciptakan atmosfer yang intim dan romantis. Para pelayan hotel dengan sigap mulai menyingkirkan meja-meja makan, memberikan ruang yang luas di tengah ballroom.MC dengan penuh semangat mengumumkan, “Para tamu yang terhormat, untuk melanjutkan malam istimewa ini, kami akan memulai acara dansa berpasangan. Kami mengundang Tuan Cahyadi, sang bintang malam ini, untuk maju ke tengah ballroom bersama istri tercinta.”Riuh tepuk tangan memenuhi ruangan, menambah semarak malam. Tuan Cahyadi melangkah ke tengah ruangan, diiringi oleh istrinya yang anggun. Mereka saling menggenggam tangan, wajah mereka memancarkan cinta yang tak lekang oleh waktu. Musik romantis nan lembut mulai mengalun, sebuah komposisi piano yang menenangkan hati. Mereka mulai berdansa, gerakan mereka penuh keharmonisan untuk merayakan cinta mereka.Para tamu tersenyum,
Dengan sengaja, Romeo membawa Suri menjauh dari pasangan lain. Ia meletakkan tangan Suri di lehernya, mengarahkan gerakan wanita itu selayaknya boneka yang harus mengikuti perintah sang empunya. Suri terlihat kaku, tubuhnya menegang kala Romeo menatapnya dari jarak dekat."Kenapa gugup?" bisik Romeo dengan nada sarkatis, mendekatkan wajahnya ke telinga Suri. "Padahal tadi kamu begitu menikmati berdansa bersama Sagara.""Tuan Romeo, saya tidak ingin membuat keributan di sini," jawab Suri pelan, suaranya bergetar menahan emosi.Romeo tersenyum samar, tetapi tatapannya tetap sedingin bongkahan salju."Inikah fungsi dari topeng yang kamu pakai? Supaya leluasa mendekati pria lain selain suamimu?"Suri menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu Romeo sengaja memprovokasinya, tetapi ia tidak akan memberikan Romeo kepuasan itu."Hentikan," lirih Suri hampir tak terdengar di antara alunan musik.Namun Romeo tak bergeming. Tangannya semakin erat di pinggang Suri, me
Sagara melangkah mundur, memberi ruang bagi Suri untuk pergi. Tanpa membuang waktu, Suri menggandeng tangan Raysa, lalu berbalik menuju meja Tuan Cahyadi. Dia merasa perlu berpamitan sebagai bentuk penghormatan kepada pria baik hati itu.Namun saat tiba di meja Tuan Cahyadi, alangkah terkejutnya Suri melihat Romeo dan Diva juga ada di sana.“Kebetulan sekali, kalian berpamitan secara bersamaan,” ujar Tuan Cahyadi sambil melirik Romeo dan Suri bergantian.“Romeo, apa kamu tertarik bekerja sama dengan Dewi Infinity? Saya melihat kalian berdua tadi berdansa,” lanjut Tuan Cahyadi penuh semangat.“Jika dia berminat, saya pasti akan merekrutnya,” jawab Romeo sambil melayangkan tatapan penuh arti kepada Suri. Tuan Cahyadi tersenyum puas mendengar itu, seolah-olah ia baru saja berhasil membuat rencana besar. Sementara itu, Suri hanya diam. Ia merasa tidak perlu meladeni ucapan Romeo yang sengaja mempermainkan dirinya. Melihat Suri tidak nyaman, Raysa mengirimkan tatapan tajam kepada Romeo.
Suri membalikkan tubuhnya untuk kesekian kali di atas ranjang, matanya tetap enggan terpejam. Di sebelahnya, Raysa sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Bagi Suri, malam itu seperti perang sunyi melawan pikirannya sendiri. Ia teringat bagaimana bibirnya direnggut tanpa ampun oleh pria yang tak seharusnya melakukan itu. Ciuman penuh paksaan itu terlalu dalam, terlalu memaksa, sehingga membuat hatinya kacau balau. Perbuatan Romeo yang penuh dominasi membuat tubuhnya gemetar. Bukan hanya karena marah, tetapi ada sesuatu yang lebih kompleks yang tidak ingin ia akui.Seolah itu belum cukup, pikiran Suri meloncat ke pesta Tuan Cahyadi, di mana tubuh mereka bergerak bersama di lantai dansa, mengikuti irama musik yang melenakan. Romeo memegang pinggangnya, menggiring langkahnya dengan kepercayaan diri yang menyesakkan. Ada tarikan di mata Romeo, semacam kekuasaan yang membuatnya terperangkap. Sekuat apa pun ia berusaha menyangkal, ia sempat merasa terikat dengan pria itu. Suri menggelen
Begitu tiba di mansion, Romeo keluar dari mobil tanpa menunggu sopirnya membukakan pintu. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu utama, menerobos angin dingin yang bertiup cukup kencang. Romeo berjalan melintasi ruang tamu tanpa memperhatikan apa pun.“Romeo? Kamu pulang sendiri?” Suara sang ibu menghentikan langkah Romeo. “Di mana Diva? Kenapa kamu tidak bersamanya?” tanya Nyonya Valerie memberondong putranya dengan banyak pertanyaan. “Diva sudah aku antar pulang ke apartemen,” jawab Romeo singkat, nadanya dingin.“Ke apartemen? Apa kamu tidak cemas dengan keselamatan Diva? Bagaimana jika penguntit itu masih mengincarnya, Romeo?” ucap Nyonya Valerie memicingkan mata.“Tidak ada yang meneror Diva,” jawab Romeo dengan nada tak sabar. “Aku juga sudah menempatkan bodyguard untuk menjaganya di apartemen.”Nyonya Valerie menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. Namun, ia juga takut bila Romeo mengetahui kebohongannya. “Kamu terlalu meremehkan situasi ini, Romeo. Bagaima
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.“Saya tidak mau makan malam bersama Bapak,” tolak Jeandra tegas. “Saya lebih suka makan sendiri.”Kenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. “Baiklah,” sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.”Kenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. “Jangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.”“Ya, ya,” jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.“Ini,” ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. “Draft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.”Jeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.“Dalam perjanjian ini,” lanjut Kenan tenang, “disepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.”Jeandra membelalak. “Enam bulan?” Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.“Bu Jeandra! Akhirnya datang juga,” seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. “Kami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,” tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. “Aku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besar—membuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti ini—sejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.“Terima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.“Tatap mataku, Serin,” tukas Jeandra. “Jawab aku dengan jujur… apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?”Serin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara —tanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.“Terima kasih… telah menerima saya di sini.”Tak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.“Serin,” panggilnya tenang. “Benarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?” “Iya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asing—megah dan berkelas—yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumah—melainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak