Sagara melangkah mundur, memberi ruang bagi Suri untuk pergi. Tanpa membuang waktu, Suri menggandeng tangan Raysa, lalu berbalik menuju meja Tuan Cahyadi. Dia merasa perlu berpamitan sebagai bentuk penghormatan kepada pria baik hati itu.Namun saat tiba di meja Tuan Cahyadi, alangkah terkejutnya Suri melihat Romeo dan Diva juga ada di sana.“Kebetulan sekali, kalian berpamitan secara bersamaan,” ujar Tuan Cahyadi sambil melirik Romeo dan Suri bergantian.“Romeo, apa kamu tertarik bekerja sama dengan Dewi Infinity? Saya melihat kalian berdua tadi berdansa,” lanjut Tuan Cahyadi penuh semangat.“Jika dia berminat, saya pasti akan merekrutnya,” jawab Romeo sambil melayangkan tatapan penuh arti kepada Suri. Tuan Cahyadi tersenyum puas mendengar itu, seolah-olah ia baru saja berhasil membuat rencana besar. Sementara itu, Suri hanya diam. Ia merasa tidak perlu meladeni ucapan Romeo yang sengaja mempermainkan dirinya. Melihat Suri tidak nyaman, Raysa mengirimkan tatapan tajam kepada Romeo.
Suri membalikkan tubuhnya untuk kesekian kali di atas ranjang, matanya tetap enggan terpejam. Di sebelahnya, Raysa sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Bagi Suri, malam itu seperti perang sunyi melawan pikirannya sendiri. Ia teringat bagaimana bibirnya direnggut tanpa ampun oleh pria yang tak seharusnya melakukan itu. Ciuman penuh paksaan itu terlalu dalam, terlalu memaksa, sehingga membuat hatinya kacau balau. Perbuatan Romeo yang penuh dominasi membuat tubuhnya gemetar. Bukan hanya karena marah, tetapi ada sesuatu yang lebih kompleks yang tidak ingin ia akui.Seolah itu belum cukup, pikiran Suri meloncat ke pesta Tuan Cahyadi, di mana tubuh mereka bergerak bersama di lantai dansa, mengikuti irama musik yang melenakan. Romeo memegang pinggangnya, menggiring langkahnya dengan kepercayaan diri yang menyesakkan. Ada tarikan di mata Romeo, semacam kekuasaan yang membuatnya terperangkap. Sekuat apa pun ia berusaha menyangkal, ia sempat merasa terikat dengan pria itu. Suri menggelen
Begitu tiba di mansion, Romeo keluar dari mobil tanpa menunggu sopirnya membukakan pintu. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu utama, menerobos angin dingin yang bertiup cukup kencang. Romeo berjalan melintasi ruang tamu tanpa memperhatikan apa pun.“Romeo? Kamu pulang sendiri?” Suara sang ibu menghentikan langkah Romeo. “Di mana Diva? Kenapa kamu tidak bersamanya?” tanya Nyonya Valerie memberondong putranya dengan banyak pertanyaan. “Diva sudah aku antar pulang ke apartemen,” jawab Romeo singkat, nadanya dingin.“Ke apartemen? Apa kamu tidak cemas dengan keselamatan Diva? Bagaimana jika penguntit itu masih mengincarnya, Romeo?” ucap Nyonya Valerie memicingkan mata.“Tidak ada yang meneror Diva,” jawab Romeo dengan nada tak sabar. “Aku juga sudah menempatkan bodyguard untuk menjaganya di apartemen.”Nyonya Valerie menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. Namun, ia juga takut bila Romeo mengetahui kebohongannya. “Kamu terlalu meremehkan situasi ini, Romeo. Bagaima
Sepeninggal Romeo, Diva menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang begitu dalam. Ia berjalan kembali ke ruang tamu, membawa kotak makanan yang kini terasa berat di tangannya. Entah mengapa setiap rencana yang ia buat untuk mendekati Romeo selalu berujung kegagalan. “Tante Valerie, Kak Romeo sekarang berubah. Sejak pesta Tuan Cahyadi semalam, dia semakin tidak peduli padaku,” kata Diva, suaranya bergetar menahan tangis.Kening Nyonya Valerie berkerut dalam, merasa terkejut dengan ucapan Diva. “Memangnya apa yang terjadi di pesta kemarin, Diva?”Sambil memasang wajah sedih, Diva meletakkan kotak makanan di meja lalu duduk di sebelah ibu kandung Romeo itu. “Semalam, Kak Romeo terus memperhatikan wanita bertopeng bernama Dewi Infinity. Dia bahkan berdansa dengan wanita itu. Aku curiga mereka sudah saling mengenal sebelumnya, Tante.”Nyonya Valerie terdiam, matanya menyipit seolah memikirkan sesuatu. “Wanita bertopeng? Apakah dia punya ciri khas tertentu?”Diva menggeleng. “Tidak ada
Dalam hitungan detik, emosi meledak di antara mereka. Tanpa aba-aba, Romeo meraup bibir Suri, mencurahkan semua rasa yang telah ia pendam. Kali ini, Suri tidak tinggal diam. Ia menggigit bibir Romeo dengan keras, mencoba menghentikan tindakan semena-mena pria itu. Namun, Romeo tidak mundur sama sekali.Air mata mengalir deras di pipi Suri, campuran antara ketakutan dan rasa sakit yang tidak bisa ia ungkapkan."Kenapa kamu melakukan ini lagi?" bisik Suri dengan suara yang hampir tidak terdengar. Romeo berhenti sejenak, menatap wajah Suri yang berlinang air mata. Ada kilatan berbeda di mata pria itu, tetapi ia segera menutupinya dengan seringai dingin."Karena aku suamimu," jawab Romeo, suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Ia berdiri, meninggalkan Suri yang terduduk lemas di sofa. Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju meja makan, menatap hidangan yang telah disiapkan Suri."Untuk siapa semua masakan ini?" tanyanya sambil melirik Suri yang masih terisak di sofa. Suri tidak men
Romeo menyentuh krim itu, mencoba menghubungkan titik-titik di kepalanya. Apakah Suri begitu putus asa untuk mengubah penampilannya hingga melakukan prosedur medis? Namun, jika hanya melakukan operasi plastik, tidak mungkin Suri menyimpan obat sebanyak ini.Setelah menimbang sejenak, Romeo mengambil ponselnya dari saku. Ia memotret setiap botol obat, label aturan pakai, dan bahkan kertas resep yang ada di sana.“Aku harus tahu obat apa ini,” gumamnya sembari memicingkan mata. Pikiran Romeo kembali ke momen beberapa jam yang lalu, ketika Suri tiba-tiba muntah di kamar mandi. Apakah itu hanya karena stres, atau ada alasan medis yang lebih serius di baliknya? Tatapan Romeo semakin tajam. Meskipun sikapnya terhadap Suri terlihat keras, ia tetap peduli pada wanita itu. Dan sekarang, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mungkin Suri sembunyikan tentang kesehatannya.Selesai memotret, Romeo mengembalikan semua obat ke tempatnya semula. Ia menutup laci itu dengan hati-hati, memastikan tid
"Tidur di sofa? Bukankah kamu punya ranjang yang empuk di mansion? Kenapa tidak pulang?" tanya Suri dengan mata terbelalak. Ia hampir tak percaya mendengar Romeo bersedia tidur di tempat yang tidak nyaman. Romeo menghela napas, sorot matanya semakin meredup. "Kamu sedang sakit, Suri. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di rumah kecil ini.""Terserah kalau mau tidur di sofa sempit itu. Tapi, jangan harap aku peduli kalau kamu digigit nyamuk,” tukas Suri sengaja bersikap keras kepada Romeo.Dengan langkah yang menghentak, Suri masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Ia berbaring telentang di tempat tidur, tetapi tidak bisa memejamkan mata. Mungkin karena tadi ia sudah terlalu banyak tidur. Untuk membunuh waktu, Suri memilih memainkan ponselnya, sekadar mencari pelarian dari kegelisahan yang mengintai. Sesekali, ia memasang telinga, berharap mendengar tanda-tanda Romeo telah meninggalkan rumah. Namun, tidak ada suara pintu terbuka maupun mesin mobil dinyalakan.Di luar, langit mal
Suri mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan silau cahaya matahari yang menyelinap di celah gorden. Rasa kantuk masih menempel, tetapi telinganya menangkap suara gemericik air dari arah kamar mandi.Seketika, Suri terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat saat kesadaran perlahan menyusup ke dalam pikirannya."Siapa itu?" gumamnya langsung menegakkan badan.Suri menoleh ke sisi ranjang di sampingnya dengan tatapan bingung. Tempat tidur itu tampak jelas baru saja digunakan oleh dua orang. Sisa jejak kehadiran Romeo begitu nyata di sana.“Dia tidur di sini semalam?” bisik Suri pelan, masih tidak percaya.Bayangan semalam langsung berkelebat. Listrik padam. Kegelapan. Dan dalam situasi seperti itu, Suri merasa aman dalam dekapan Romeo.Suri menggelengkan kepalanya keras-keras—mereka juga sempat berciuman. Pipi Suri memanas mengingat betapa dekat wajah mereka kala itu. Bibirnya masih bisa m
Tak menghiraukan penolakan keras dari Jeandra, Kenan hanya menoleh padanya dengan pandangan tenang. Ia mengedipkan sebelah mata dengan isyarat halus, seolah berkata: “tenanglah, saya tahu apa yang saya lakukan.” Isyarat itu seperti belati yang menusuk hati Jeandra—membuatnya diam seribu bahasa. Ia tak mengerti arah permainan yang kini mulai berubah.Kenan menoleh lagi pada para warga, lalu berkata dengan tegas, “Berikan kami waktu sebentar untuk bersiap. Setelah itu, kalian bisa mengantar kami ke kantor catatan sipil terdekat.”Warga menyambutnya dengan puas, kendati beberapa masih bergumam tentang keharusan menjaga moral desa. Pak Anwar mengangguk lemah, tak punya pilihan lain selain mengikuti arus yang telah digerakkan oleh desakan massa.Tak lama kemudian, Kenan terpaksa mengenakan kembali jas dan kemeja kemarin—karena ia tak punya baju ganti. Jeandra pun mengenakan gaun berwarna biru yang ia bawa. Wajahnya pucat, pikirannya seperti benang kusut yang tak mungkin diurai. Mobil hit
Pagi yang merekah lembut di rumah Kepala Desa, berubah menjadi awal yang tak terduga bagi Jeandra. Wanita muda itu menggeliat pelan di atas tempat tidur kayu, mengeratkan pelukannya pada sesuatu yang ia kira guling empuk pemberian Bu Rita. Dalam kantuknya Jeandra membenamkan wajahnya lebih dalam, merasa nyaman dan hangat oleh sentuhan kulit yang nyata.Namun, kenyataan yang terjadi selanjutnya membuat Jeandra tak mampu berkata-kata.“Sampai kapan kamu berniat memeluk saya?” Suara bariton itu terdengar berat, tetapi mengandung makna ganda.Jeandra mengerjapkan mata, dan dalam satu kedipan yang memutar dunia, matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Kenan — pria yang ia rawat semalam. Dan, yang lebih mengagetkan, pria itu kini berada dalam pelukannya ... dengan kondisi bertelanjang dada.Jantung Jeandra serasa terpental dari dada. Kedua matanya membelalak, dan dengan secepat kilat, ia melepaskan pelukan itu sambil melompat mundur dari tubuh Kenan. “Pak Kenan!” jerit Jeandra, se
Mesin mobil menderu halus saat Jevandro memutarnya, kemudian perlahan membawa kendaraan mewah itu menuruni area parkir apartemen. Tangan kirinya menggenggam setir, sementara tangan kanan meraih ponsel di dashboard, lalu menekan kontak nama “Papa”.Beberapa detik kemudian, suara berat Romeo terdengar di ujung sana.“Kamu di mana, Jevan?”“Aku masih di apartemen, Pa. Dalam perjalanan ke mansion sekarang. Tidak lama lagi aku sampai,” jawab Jevandro dengan suara tenang, walau hatinya masih resah oleh peristiwa yang baru saja terjadi.“Baiklah, kami tunggu,” sahut Romeo sebelum menutup sambungan.Tak ingin orangtuanya cemas, Jevandro mempercepat laju mobilnya. Lampu-lampu kota menyinari wajahnya yang tampak tenang di permukaan, tetapi ada pertarungan batin yang tak bisa diabaikan.Malam ini, Serin telah menerima lamarannya meski dengan air mata dan ketakutan yang menusuk hati. Gadis itu patuh, tidak berani melawan. Namun, mengapa gambaran Serin yang terduduk di sofa dengan tubuh gemetar, m
Serin bergidik. Tubuhnya semakin gemetar seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan besar. "F-foto Kak Liora, saya simpan di kamar. Saya akan membersihkannya karena … ada sedikit coretan crayon,” ujar Serin tergagap.Mendengar penjelasan Serin, amarah di mata Jevandro tak lantas surut. Hatinya telah diguncang rasa kehilangan, dan kini, melihat jejak Liora diusik —membuat luka yang ia kubur dalam-dalam kembali berdarah."Ambil bingkai fotonya!" titahnya, seperti instruksi seorang komandan yang tak bisa dibantah.Serin nyaris terlonjak. Matanya membelalak dan tengkuknya terasa dingin seperti disiram air es. Dengan wajah pucat pasi, gadis itu membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar dengan langkah tergesa.Sesampainya di kamar, Serin mengulurkan tangan untuk membuka laci nakas, tempat ia menaruh bingkai foto Liora. Jemarinya bergetar hebat saat menyentuh kayu dingin bingkai tersebut.Wajah Liora dalam foto masih tersenyum, tetapi senyum itu ternoda o
Langit senja sebentar lagi akan berganti malam, tatkala Serin melangkah ke apartemen. Dua kantong kertas berisi makanan kesukaan Tristan menggantung di tangannya—ayam kecap hangat, dan satu kotak kecil donat cokelat.Begitu memasuki lobi apartemen, langkah Serin terasa ringan meski tubuhnya letih. Setengah hari di kantor cukup melelahkan, tetapi membayangkan wajah ceria Tristan sudah cukup menjadi pelepas penatnya. Sembari menekan tombol angka tujuh di lift, Serin berharap malam pertamanya di apartemen akan berjalan tenang. Saat pintu apartemen terbuka, senyum langsung menghiasi wajah Serin. Di ruang tengah, Tristan tampak duduk di sofa dengan kaki dilipat. Tangan mungilnya sibuk menggambar sesuatu di atas kertas putih yang penuh warna.Tak jauh dari sana, terdengar suara panci beradu lembut—Bi Janti tengah bersiap memasak nasi goreng. Serin meletakkan tasnya, melepas sepatu, lalu menghampiri mereka.“Selamat datang, Non Serin," sapa Bi Janti.“Bi, saya sudah membeli makanan, tidak u
Kenan masih menatap Jeandra lekat-lekat, seolah ingin memastikan penglihatannya tidak salah.“Kamu ... Jeandra? Kenapa wajahmu terlihat berbeda tanpa kacamata?”Jeandra menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ini memang saya, Pak. Saya tidak pakai kacamata karena sudah mau tidur.” Meski panik, Jeandra berusaha tersenyum tenang. Dengan gerakan cepat, ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya dari pandangan Kenan.“Malam ini, kita tidak bisa pulang. Di bawah sedang terjadi longsor, sehingga jalan akses pulang ditutup. Kita harus menginap di rumah Pak Kepala Desa,” pungkas Jeandra mengalihkan pembicaraan.“Longsor?” ulang Kenan terkejut, seolah tak percaya mendengar ucapan Jeandra.Kenan mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mendesah pelan. Nampaknya, ia merasa keberatan untuk bermalam di rumah Pak Anwar. “Apa reaksi alergi Bapak sudah berkurang?” tanya Jeandra dengan nada lebih lembut, memperhatikan perubahan pada wajah pria itu.Kenan mengangguk lemah, menggaruk pelan bag
Jeandra menoleh pelan ke arah Pak Anwar dan Bu Rita, menyandarkan telapak tangannya di kusen pintu dengan tatapan tak tenang. Bayangan tentang malam panjang yang harus ia lalui dalam suasana serba canggung, membuat Jeandra risau. Kenan masih terbaring lemah di kamar, dan ia tidak tahu harus bermalam di mana.“Pak Anwar, Bu Rita… apa di rumah ini ada kamar lain yang bisa saya gunakan?” tanya Jeandra, suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan yang belum juga reda.Pak Anwar saling pandang dengan istrinya sejenak, lalu menjawab dengan nada menyesal.“Maaf, rumah kami ini kecil. Kamarnya cuma dua. Satu yang kami pakai, dan satu lagi itu…, yang dipakai temanmu sekarang. Itu kamar anak kami, yang sekarang sudah tinggal di kota bersama istrinya.”“Jadi hanya dua kamar, Pak,” gumam Jeandra lirih, bibirnya mengatup pelan. Hati Jeandra langsung dilingkupi dilema yang menyesakkan dada—tidak mungkin ia tidur sekamar dengan Kenan. Dalam keadaan darurat seperti ini pun, ia tahu batas kesopanan.P
Meskipun hatinya masih diselimuti keraguan, Jeandra terpaksa mengikuti langkah panjang Kenan menyusuri jalan setapak. Pria itu tampak tak sabar, seakan medan pegunungan dan ancaman hujan bukanlah apa-apa dibandingkan ambisinya.Jeandra hanya bisa menarik napas, sambil terus menyusun akal sehat agar tetap waras di tengah situasi ini. Namun, baru saja ia membuka pintu mobil, dorongan alami yang tak bisa ditunda muncul begitu saja.“Maaf, Pak, apakah ada toilet di sini?” tanyanya lirih, menahan malu.Kenan menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyalakan mesin. Ia memandang ke sekitar yang hanya dipenuhi oleh pepohonan lebat, jalan setapak berbatu, dan langit yang mulai kelabu. “Tidak ada. Kita harus cari rumah warga atau warung terdekat,” jawabnya singkat, seraya memundurkan mobil.Tidak lama kemudian, mereka menemukan sebuah warung kopi di pinggir jalan. Kenan menunjuk warung itu dengan dagunya. “Ke sana saja. Saya tunggu di mobil.”Jeandra mengangguk dan bergegas turun. Sementa
Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju ke pegunungan Angkasa, suasana hening terasa menggantung di antara Jeandra dan Kenan. Tak ada percakapan, tak ada tawa ringan, bahkan tak sepotong sapaan pun terucap. Yang terdengar hanyalah denting lembut musik yang mengalun di telinga Jeandra lewat earphone.Wanita muda itu bersandar di kursi penumpang, membiarkan matanya menatap jenuh ke luar jendela. Jalan menuju pegunungan ternyata tidak semulus yang ia bayangkan. Banyak belokan tajam meliuk-liuk seperti tubuh ular raksasa, membuat Jeandra harus menahan napas setiap kali mobil berbelok dengan kecepatan konstan. Perut Jeandra terasa sedikit mual. Entah kenapa Kenan memilih lokasi terpencil ini untuk membangun sebuah vila mewah.Jeandra pun melirik kesal ke kaca spion, dan mendapati Kenan tengah menatapnya juga—entah sejak kapan pria itu memperhatikan. Alhasil, mata mereka bersitatap sepersekian detik. Buru-buru, Jeandra memalingkan wajah, berpura-pura mengecek notifikasi di ponselnya. Padah