“Ampun Raden,” tubuh Ki Gambang semakin gemetar, keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhnya. Misah yang sedari tadi berdiri di balik pintu kaget bukan kepalang, ditangkupkannya telapak tangan ke mulutnya, ia takut menjerit mengetahui yang dia lihat saat ini, badannya kaku, tak tau harus berbuat apa.
“Cepat katakan Ki, atau pedang ini menebas lehermu, banyak orang yang mengatakan para bandit itu sering muncul di tempat ini, kemana lagi kalau bukan untuk menemuimu,” lelaki itu tampak geram.
“Benar Raden, hamba benar-benar sudah lama tidak pernah melihat mereka, ampuni hamba,” Ki Gambang memohon ampun. Keributan di pagi buta itu memancing warga dusun keluar dari biliknya masing-masing. Mereka bingung menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Kau benar-benar tetap mau bungkam Ki? Prajurit! Seret laki-laki ini! Bawa dia ke penjara, akan kubuat dia buka mulut!” dengan suara yang keras dan tegas, lelaki yang adalah pemimpin pasukan itu memberi perintah. Dengan sigap dua orang prajurit yang berada di barisan depan segera meringkus Ki Gambang. Ki Gambang yang merasa sangat takut mulai meronta mencoba melepaskan diri dari prajurit yang mulai menyeretnya.
Misah masih kaku, bingung, takut dan khawatir akan nasib ayahnya. Dua prajurit itu dengan kasar menyeret tubuh Ki Gambang yang terlihat kian melemah. Melihat Ki Gambang sudah ditangkap, lelaki garang yang merupakan Senopati Kerajaan Singapatih itu dengan gesit melompat ke punggung kudanya kemudian menghentak tali kekang dan pergi meninggalkan tempat itu dengan pedang di sarungnya. Kuda pilihan berwarna putih itu melaju pelan di barisan paling depan, sedangkan Ki Gambang pasrah dengan nasibnya diapit dua prajurit di barisan paling belakang. Sebelum pergi, mata tajam Senopati itu sempat tertuju pada Misah yang sudah tergolek kaku di balik pintu kayu rumahnya. Pintu kayu lapuk itu tak dapat menyembunyikan seluruh raga Misah, tampak dengan jelas uraian rambut hitam tebal itu tertangkap oleh si Senopati, tapi ia membiarkannya, entah apa arti tatapan itu, hanya dia yang tahu. Beberapa waktu rombongan itu sudah tidak tampak lagi, jalan dusun yang masih rimbun dipenuhi pepohonan dengan rumah-rumah yang masih jarang menelan rombongan itu dari pandangan Misah.
“Nduk cah ayu, kamu ndak apa-apa?” Nyi Sambi, janda tua yang tinggal tepat di samping rumah Misah tergopoh–gopoh berlari mendekati gadis itu.
“Bapak Mbok, bapak!” tiba–tiba Misah seperti tersadar. Nyi Sambi yang sudah berada di depannya itu mulai khawatir. Entah kesambet setan apa, Misah histeris sambil menggoncang tubuh janda tua itu.
“Iya Nduk, sabar!” Nyi Sambi coba menenangkan Misah.
“Bapak pie Mbok?” Misah mulai tersedu.
“Iya Nduk,” Nyi Sambi bingung harus bagaimana. Para penduduk yang mulai berdatangan ke rumah Misah juga ikut menenangkan gadis itu. Keadaan mulai riuh dan heboh, kehadiran prajurit kerajaan yang tiba–tiba menyulut tanda tanya besar. Apalagi para prajurit itu menyebut para saudara Ki Gambang adalah begal. Orang–orang mulai berbisik, jika memang benar saudara Ki Gambang menjadi begal dan Ki Gambang terlibat, maka ia sedang dalam bahaya besar. Karena istana sedang melakukan perburuan besar–besaran untuk menangkap para gerombolan bandit dan begal yang semakin merajalela. Hampir setiap pekan, upeti rakyat yang akan dikirim ke istana selalu menjadi sasaran pembegalan. Prajurit kerajaan sangat kesulitan untuk menangkap para begal itu karena mereka memiliki tempat persembunyian yang sulit dijangkau. Para begal itu menghuni hutan lereng Gunung Agung yang lebat dan terkenal dengan keangkerannya.
“Ayo Nduk kita ke rumah Raden Wikrama, mungkin kita bisa minta bantuan darinya,” dalam keadaan bingung Nyi Sambi teringat kepada seseorang yang mungkin bisa dimintai pertolongan. Raden Wikrama Manggalayuda, Raden Tumenggung yang menjadi pemimpin di dusun Manis Jambe ini. Wanita tua itu mencoba menegakkan tubuh Misah yang lemas sembari menuntunnya menuju rumah Raden Wikrama. Masih dengan tubuh yang gemetar, Misah pasrah mengikuti langkah Nyi Sambi.
…
Matahari mulai merangkak naik ketika Misah dan Nyi Sambi sampai di kediaman Raden Wikrama yang berada di ujung pedukuhan. Meskipun masih berjarak cukup jauh, Misah sudah bisa melihat dengan jelas tempat yang menjadi tujuannya itu, rumah berbentuk bangunan joglo dengan gapura indah dan memiliki halaman yang sangat luas adalah satu–satunya bangunan yang paling megah di Dusun Manis Jambe ini.
“Kula nuwun Nyai Sri, nyuwun sewu pagi–pagi begini sudah mengganggu Den Ayu,” ucap Nyi Sambi kepada Nyai Sri Gandawangi sesampainya di kediaman Raden Wikrama. Nyai Sri Gandawangi yang merupakan Nyai Tumenggung sekaligus istri dari Raden Wikrama terlihat sedang duduk santai di kursi ukiran kayu yang berada di teras rumah joglo itu. Ia ditemani seorang emban yang dengan lembut menyisir rambut panjangnya yang indah terurai. Wajahnya yang bersih dan ayu, dengan sorot mata lembut tapi tajam melihat Misah dan Nyi Sambi yang sudah berada di depannya. Nyai Sri terlihat sedikit kaget mendapati dua wanita yang menemuinya itu berwajah kuyu dan panik.
“Ada apa Nyi, Nyi Sambi dan Misah pagi–pagi sudah datang kesini,” tanpa mengerakkan tubuhnya, Nyai Sri berkata.
“Den Ayu, kami ingin minta tolong kepada Raden Tumenggung, ini terkait dengan Ki Gambang, bapaknya Misah. Ia ditangkap oleh prajurit kerajaan,” dengan tergagap Nyi Sambi menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Nyai Sri tampak tenang, ia mendengarkan Nyi Sambi sambil sesekali merapikan rambutnya.
“Begitu Den Ayu, kami minta tolong bagaimana supaya Ki Gambang bisa diselamatkan, kasihan Misah,” Nyi Sambi berkata. Misah hanya bisa menunduk tanpa bicara, gadis itu terdiam sambil sesekali mengusap air matanya. Sorot mata Nyai Sri lekat menatap Misah, dari kepala hingga ujung kaki tak luput dari pandangannya.
“Masuk sini Nyi, Misah, duduklah dulu,” Nyai Sri mempersilahkan mereka berdua duduk di bangku kosong sebelah tempat duduknya.
“Nyi Darsan, tolong panggil Raden, mungkin dia ada di belakang,” Nyai Sri berkata kepada emban setianya. Emban itu dengan sigap melakukan perintah majikannya. Ia masuk menuju ke rumah bagian belakang seperti yang dikatakan Nyai Sri. Dan tepat sekali, Raden Wikrama memang berada di sana sedang memberi makan ayam jago kesayangannya. Tak menunggu waktu lama Raden Wikrama keluar menemui Misah dan Nyi Sambi. Nyi Sambi kemudian mengulangi cerita yang tadi ia ceritakan kepada Nyai Sri.
“Ini tentang gerombolan begal yang sering merampas harta milik Prabu. Beberapa purnama ini memang mereka sering beraksi di sekitaran hutan dusun ini. Aku baru tahu kalau paman Misah dituduh ikut menjadi anggota kawanan mereka,” Raden Wikrama berkata.
“Bapak saya tidak tahu menahu soal paman-paman saya Raden, bapak sering bercerita kalau mereka pergi sejak masih muda, tapi mereka tetap memaksa untuk membawa bapak ke penjara Raden,” Misah ikut bercerita. Gadis itu berkata dengan suara bergetar. Air mata menggenang di sudut matanya.
“Tenang Misah, aku akan coba menyusul bapakmu, dan menjelaskan kepada senopati. Mungkin karena Prabu mulai gelisah dengan para begal itu hingga bapakmu ikut jadi sasaran,” Raden Wikrama berkata.
“Matur nuwun Raden atas bantuannya,” ucap Nyi Sambi. Lelaki gagah tiga puluhan tahun itu segera bersiap-siap. Ia memanggil salah satu abdi untuk segera menyiapkan kuda tunggangannya. Tak lupa sebuah keris dengan sarung yang berukir indah terselip di belakang punggungnya.
“Aku pergi dulu Dek Sri,” Raden Wikrama berpamitan pada istrinya setelah selesai bersiap. Nyai Sri mengangguk pelan. Ditemani dua orang kepercayaannya, Raden Wikrama bergegas mengejar rombongan senopati itu.
“Nyi, ambilkan minum dan makanan di dapur untuk Nyi Sambi dan Misah,” Nyai Sri kembali berkata pada embannya yang telah selesai menggelung rambut panjangnya.“Nggeh Ndoro Putri,” jawab sang emban.“Misah, Nduk cah ayu, sudah dewasa kamu Nduk, berapa umurmu sekarang?” tanya Nyai Sri kepada Misah.“Enam belas tahun Nyai,” jawab Misah sambil tertunduk malu. Tak berapa lama sang emban kembali dengan nampan kayu yang berisi air putih dalam kendi dan singkong rebus yang baru matang.“Dimakan dulu Nyi, Misah, kalian pasti belum sarapan,” Nyai Sri mempersilahkan kedua tamunya untuk menyantap hidangan yang sudah tersaji.“Matur nuwun Den Ayu,” ucap Nyi Sambi. Ia dan Misah malu-malu meneguk air putih dan menyantap singkong rebus yang masih panas itu. Nyai Sri tersenyum melihat tingkah mereka. Sesekali ia menatap Misah yang terlihat acak–acakan. Rambutnya yang hitam dan panjang terurai di punggung dan kedua pundaknya. Meskipun tampak kuyu dan kusut kecantikan alaminya masih sangat terlihat.Set
Satu pekan berlalu sejak kejadian yang menimpa Ki Gambang dan Misah. Sejak itu pula Ki Gambang terbaring tidak berdaya, batuk dan lemah tubuhnya membuat dirinya hanya bisa tergolek di pembaringan. Tubuh yang dulu kurus, kini semakin bertambah kurus. Berbagai macam empon-empon sudah diracik Misah, berharap itu akan menyembuhkan ayahnya. Tapi belum juga berhasil.Malam ini entah mengapa perasaan Ki Gambang terasa sangat tidak nyaman. Di pembaringannya, Ki Gambang rebah ditemani oleh anak gadisnya. “Misah, maafkan bapak nduk jika sudah merepotkan kamu, seandainya bapak pergi meninggalkan kamu, bapak berharap kamu jangan terlalu sedih dan dapat melanjutkan hidupmu dengan bahagia. Nduk, dunia ini memang cuma tempat istirahat kita sejenak, setelah ruh ini terpisah dari jasad kita akan benar-benar hidup kekal di samping Sang Hyang Widhi. Jadi apapun yang kau alami di dunia yang fana ini hanyalah setitik saja dari perjalanan panjang yang akan engkau alami nantinya Nduk. Kita boleh saja sedih,
Malam yang sunyi membuat Misah segera terlelap, ia meringkuk tidur di samping ayahnya. Berbeda dengan Ki Gambang, lelaki itu sulit untuk memejamkan mata. Meskipun hanya sebentar, kedatangan Nyai Sri yang tiba-tiba dan kata-kata yang diucapkannya terus mengiang di benaknya. Jawaban Ki Gambang yang dengan halus menolak permintaan untuk menjadikan Misah istri kedua ditelan mentah-mentah oleh Nyai Sri. Hal ini tidak wajar menurutnya, karena kebanyakan bangsawan cenderung memaksa jika ingin mengambil gadis dusun untuk dijadikan istri-istri muda. Walaupun nantinya nasib gadis-gadis ini tak akan seberuntung bila mereka dari kalangan bangsawan. Gadis-gadis miskin ini nantinya hanya akan dijadikan layaknya budak. Meski tidak semuanya seperti itu, banyak juga yang beruntung diperlakukan baik di keluarga suami bangsawan yang menikahinya. Diusapnya rambut Misah yang lebat, Ki Gambang memanjatkan doa kepada Dewata yang dipercayainya agar anak gadisnya ini kelak bisa bahagia dan menjalani kehidupan
Satu pekan berlalu, kini Misah sudah mulai kembali seperti biasa. Meskipun ia tidak biasa mengerjakan pekerjaan berladang seperti yang ayahnya lakukan, Misah tetap berusaha dan belajar dari Nyi Sambi agar ia bisa memenuhi kebutuhannya sehari–hari. Ia juga rajin membantu apa yang dikerjakan oleh wanita yang dipanggilnya simbok itu. Berladang dan beternak ia lakukan demi kehidupannya tetap berjalan. Pelan-pelan luka yang ia rasakan karena kehilangan ayahnya mulai sembuh dan berganti dengan kesehariannya yang sibuk untuk melanjutkan hidup.Tawa riang Misah saat bercanda dengan Nyi Sambi terdengar sampai di kejauhan, sore itu panen kacang tanah dan singkong lumayan banyak mereka dapatkan. Dengan lincah, jari-jari Misah memotong tangkai singkong dan memisahkannya dari umbinya. "Banyak Mbok panenan kita, besok kalo Simbok mau jual ini ke kota aku boleh ikut kan Mbok? Aku belum pernah liat pasar yang di Kotaraja. Wening bilang pasarnya ramai, ia pernah diajak bapaknya ke sana, pulang-pulang
Malam kembali datang, tapi malam ini terasa begitu panjang. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela dinding anyaman kediaman Nyi Sambi. Hawa dingin ini membuat seluruh tubuh tua Nyi Sambi merasa tidak nyaman, badannya pegal dan tulangnya linu. Nyi Sambi yang belum juga bisa tidur beranjak mengambil selendangnya dan melingkarkan selendang itu menutupi pundaknya. Ia menggosok kedua telapak tangan agar bisa menghangatkan jari–jarinya yang mulai terasa kaku, kemudian ia mulai berjalan ke dapur. Terlihat air yang sedang direbusnya mulai mendidih dan berbuih. Nyi Sambi berniat membuat air jahe hangat sambil mereda dingin di perapian. Dipungutnya sepotong ubi rebus gula merah sisa tadi sore. Menggigit sepotong ubi membuatnya teringat lagi perkataan Nyai Sri. Ia dan Misah hanya bisa terdiam bingung apa yang harus dikatakan untuk menjawab pertanyaan Nyai Sri yang tiba–tiba dan terasa tidak nyata. Terngiang kembali ucapan lembut istri kepala dusun itu kepadanya dan Misah.“Aku ingin Misah m
Sepekan berlalu sejak kedatangan Nyai Sri. Sejak saat itu Misah tak dapat tidur dengan nyenyak. Ucapan Nyi Sambi selalu terngiang di benaknya. Benar kata Nyi Sambi, ia pasti tak akan sanggup jika harus menolak keinginan Nyai Sri untuk dijadikan istri kedua suaminya. Nyai Sri Gandawangi adalah wanita yang pintar, cerdik dan juga licik. Sifatnya itu sudah terkenal di dusun ini. Meskipun tingkah lakunya sangat anggun serta lembut, tapi semua orang tahu bahwa ia adalah wanita yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara apa pun.Dua karung kacang tanah serta tiga karung singkong sudah selesai dipersiapkan Nyi Sambi dan Misah. Siang itu udara terasa sangat panas, peluh menetes di sekujur tubuh mereka berdua. Sambil menikmati air kelapa muda pemberian Ki Boyo tetangganya yang baru saja panen, keduanya beristirahat santai di bawah pohon jambu air yang tumbuh lebat di halaman rumah Nyi Sambi“Nduk, sepekan lagi kamu sudah harus memberi jawaban, apa kamu sudah pikirkan kata–kata
Derap kereta kuda berhenti di kediaman megah Raden Wikrama. Rumah dengan halaman yang luas itu kini ramai orang berdatangan. Panggung megah telah berdiri, diam–diam Nyai Sri sudah mempersiapkan hajatan besar meskipun ia belum mendapatkan jawaban dari Misah. Nyai Sri menggandeng Misah turun dari kereta kuda, ia mengajak gadis belia yang masih lugu itu untuk berjalan mengikutinya. Misah merasa gugup, takut sekaligus takjub, dilihatnya sekeliling begitu banyak orang sibuk lalu lalang. Terakhir dia menapakkan kaki di sini adalah hari di saat kematian ayahnya. Misah berjalan pelan mengikuti Nyai Sri, tangan dingin itu terus membawanya masuk lebih dalam menuju ruangan paling belakang dan tersembunyi. Sebuah ruangan yang terletak di pojok bangunan utama.“Di sini kamar kamu Nduk,” Nyai Sri melepaskan tangan Misah sesampainya di sebuah kamar yang tertutup pintu kayu berukiran indah. Wanita cantik itu mengajak Misah masuk ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Misah masih terdiam, ia
“Raden Kakung?” suara Misah menyahut dari dalam kamar.“Iya Nduk,” jawab Raden Wikrama.Misah buru-buru membuka pintu, dengan cepat Raden Wikrama masuk dan menutup pintunya kembali. Misah kaget melihat Raden Wikrama tergesa masuk ke dalam kamarnya, ia hampir saja terjatuh karena kain jarik yang melilit tubuhnya membuatnya sulit bergerak bebas. Untung saja dengan sigap Raden Wikrama menahan tubuh kecil itu hingga membuat jarak mereka begitu dekat dan pandangan keduanya sempat beradu. Buru-buru Misah memperbaiki posisi tubuhnya dan mengalihkan pandangannya.“Maaf Raden,” ucap Misah gugup.“Aku yang seharusnya minta maaf Nduk, maaf tiba-tiba menerobos masuk, aku ingin bicara,” ucap Raden Wikrama lemah. Untuk beberapa saat Raden Wikrama terdiam. Dipandanginya gadis kecil ayu yang sedang terdiam dan terlihat malu-malu di depannya. Ia tampak terkagum, tapi dengan cepat ditepisnya pikiran aneh itu.“Misah, apa kamu mengerti situasi yang sedang kamu hadapi sekarang. Istriku memintamu untuk me
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan
Perlahan Raden Wikrama menyibak kelambu itu. Terlihat tubuh Misah yang menjadi lebih kurus dari sebelum ia meninggalkannya.“Kamu jadi lebih kurus Nduk, apa kamu sakit?” Misah tidak menjawab, Raden Wikrama mengalihkan padangannya pada bayi mungil di sampingnya. Bayi itu tampak tenang dengan tubuh yang terbungkus kain hingga terlihat seperti kepompong, “Bayi ini cantik sekali, siapa namanya?”“Apakah Raden senang melihat bayi ini?” ucap Misah dengan suara bergetar. Raden Wikrama terdiam, ia bingung harus menjawab apa.“Apakah ini yang Raden harapkan dariku!” cetus gadis itu.“Apa maksudmu Nduk? Katakan dengan jelas apa yang ingin kamu sampaikan! Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Raden Wikrama tanpa berbasa-basi lagi.“Kenapa Raden bertanya padaku! Bukankan ini yang Raden inginkan dariku!” seketika Misah bangkit dari posisinya. Ia menatap tajam Raden Wikrama yang berlaga bodoh dengan yang terjadi padanya. “Bukankah Raden tahu sendiri kejadiannya! Raden bohong padaku, Raden sudah mengin
“Apa kau bersungguh-sungguh Dek Sri, jangan menggodaku!” ucap Raden Wikrama seakan tak percaya. Wajahnya seketika memucat, ia mengalihkan pandangan mencoba menyembunyikan kekagetannya.“Kenapa Kang, aku tidak bohong. Untuk apa aku menggodamu, aku bersungguh-sungguh! Apa ada masalah Kakang?” pancing Nyai Sri. Ia mencoba mencari tahu apa yang ada di benak suaminya setelah mengetahui bahwa Misah juga telah melahirkan. Nyai Sri yakin suaminya sedang bingung dan berprasangka buruk terhadap gadis itu. Ia pasti berpikir bahwa anak yang lahir itu bukanlah darah dagingnya.“Kang?” seru Nyai Sri membuyarkan lamunan Raden Wikrama.“Eh, Iya Dek Sri,”“Kakang melamun?”“Tidak Dek Sri, aku cuma sedikit lelah!”“Ya sudah Kang, sebaiknya Kakang istirahat dulu! Aku akan menyuruh Nyi Darsan menyiapkan makanan,” Nyai Sri meraih Gandara dari gendongan suaminya, kemudian ia meletakkan tubuh mungil yang masih terlelap itu di atas pembaringan. Dengan lembut, Nyai Sri mengecup kening Raden Wikrama kemudian b
“Apa maksudmu Misah?” ucap Jalu pelan. Pemuda itu seketika kaget sekaligus takut mendengar ucapan Misah yang lumayan keras. Buru-buru ia berjalan mendekat kemudian memanjat teralis jendela kamar itu.“Apa maksudmu?” ulang Jalu berbisik. Ia takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.“Aku bilang, aku benci pada suamiku Kang! Benci! Dia sudah melanggar janji,” ucap Misah dengan raut menahan amarah. Pemuda itu masih bingung dengan ucapan Misah, ia berencana melompat masuk ke kamar sebelum akhirnya urung dilakukan karena kedatangan Nyi Darsan yang tiba-tiba.“Le, Cah Bagus, kamu ngapain nangkring di jendela? Kamu tadi dicari Lek Parmin di belakang, cepat sana!” ujar Nyi Darsan. Jalu menarik kembali kakinya yang telah setengah jalan masuk ke dalam kamar.“Eh, Simbok,” ucap Jalu canggung. Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dialami Misah. Ia memutuskan untuk memperjelasnya lain waktu. Dengan lincah Jalu turun dari jendela tem