“Raden Kakung?” suara Misah menyahut dari dalam kamar.“Iya Nduk,” jawab Raden Wikrama.Misah buru-buru membuka pintu, dengan cepat Raden Wikrama masuk dan menutup pintunya kembali. Misah kaget melihat Raden Wikrama tergesa masuk ke dalam kamarnya, ia hampir saja terjatuh karena kain jarik yang melilit tubuhnya membuatnya sulit bergerak bebas. Untung saja dengan sigap Raden Wikrama menahan tubuh kecil itu hingga membuat jarak mereka begitu dekat dan pandangan keduanya sempat beradu. Buru-buru Misah memperbaiki posisi tubuhnya dan mengalihkan pandangannya.“Maaf Raden,” ucap Misah gugup.“Aku yang seharusnya minta maaf Nduk, maaf tiba-tiba menerobos masuk, aku ingin bicara,” ucap Raden Wikrama lemah. Untuk beberapa saat Raden Wikrama terdiam. Dipandanginya gadis kecil ayu yang sedang terdiam dan terlihat malu-malu di depannya. Ia tampak terkagum, tapi dengan cepat ditepisnya pikiran aneh itu.“Misah, apa kamu mengerti situasi yang sedang kamu hadapi sekarang. Istriku memintamu untuk me
Di ruang utama kediaman Raden Wikrama yang luas kini sudah dipenuhi oleh barang-barang yang nanti akan digunakan dalam ritual. Berbagai macam jenis makanan ringan, nasi tumpeng, ayam ingkung hingga beberapa masakan yang telah siap disimpan di ruangan itu. Wangi bunga tujuh rupa dan kemenyan yang belum dibakar menyeruak di seluruh penjuru ruangan. Di antara semua barang yang tertata acak itu ada sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran naga di sandarannya. Di kursi itu Nyai Sri Gandawangi duduk termenung sendirian. Kebaya hitam dan kain jarik yang dipakainya tampak mewah karena dipadu dengan kalung emas berbentuk ukiran yang cukup lebar, di bagian dada juga tersemat perhiasan berbetuk bulat berhias batu permata hijau di tengahnya. Nyai Sri sepertinya sudah siap menjalankan tugasnya sebagai istri pertama dan kini sedang menunggu untuk mempersiapkan suaminya menuju acara ritual sakral pernikahan. Raden Wikrama yang berjalan dari arah dapur kaget mengetahui istrinya
Purnama di malam hari yang gelap memancarkan sinar yang anggun di setiap kemunculannya. Purnama merasuk ke dalam jiwa yang sedang gundah gulanah, menambah sendu ketika purnama itu hanya terdiam membisu. Purnama memberikan ruang bagi insan yang sedang jatuh cinta, memandang purnama yang bersinar temaram bagaikan semesta merestui ikatan cinta yang sedang membara. Pun bagi manusia-manusia yang haus akan jati diri, purnama menyempurnakan kekuatan bagi yang ingin kekal abadi. Tapi purnama tak selalu sempurna, malam ini purnama tersenyum malu-malu. Ia berlindung di balik selimut awan yang gelap, sinarnya menyembul tipis merasuki pohon-pohon gagah yang berdiri kokoh. Di bawah pohon belimbing rindang dengan ranum buahnya para gadis-gadis bermain dan bersenda gurau. Malam bulan purnama memberikan mereka keleluasaan untuk tak segera memejamkan mata. Malam bulan purnama menjadi malam yang dinantikan, para orang tua membiarkan anak mereka berada di luar rumah lebih lama dari biasanya. Sekedar unt
Pagi datang dengan balutan sinar mentari yang cerah menyilaukan. Rombongan dari istana kerajaan telah sampai dengan selamat di Dusun Kembang Kuniran. Seperti biasa mereka akan membeli seluruh hasil bumi dan ternak milik penduduk lalu menjualnya kembali di ibukota. Rombongan ini biasanya datang setiap satu purnama. Hasil bumi dan ternak dari dusun ini sudah terkenal karena kualitasnya yang bagus, maka pihak istana tidak segan untuk membeli semuanya dengan harga yang tinggi. Karena nantinya barang-barang ini akan dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Para bangsawan yang berduit tidak pernah mempermasalahkan harga barang yang mereka inginkan asalkan bisa memenuhi standar gengsinya di pergaulan kalangan atas. Ada yang berbeda dari utusan kali ini karena dipimpin langsung oleh putra Mahamentri Dwipanca yang bernama Raden Wikrama Manggalayuda. Raden Wikrama adalah seorang pemuda tampan berkulit bersih dan cerah, ia memiliki kumis tipis di wajahnya. Rambut panjangnya digelung rapi dan diik
Cuaca sudah terasa terik di Dusun Kembang Kuniran meskipun matahari baru naik sepenggalan. Seperti biasa untuk mandi dan mencuci, para penduduk dusun ini harus pergi ke sungai padas yang berada di bawah bukit. Sungai padas adalah sungai yang cukup luas bermata air jernih dengan arus yang tidak terlalu deras. Sungai ini merupakan muara dari hulu sungai yang berada di lereng pegunungan atas. Penduduk menyebut sungai ini sungai padas karena di sepanjang aliran sungai dipenuhi oleh batuan kali yang lumayan besar. Sri Respati dan beberapa temannya sudah berada di sungai sejak pagi karena mereka berencana untuk mengoleskan lulur sebelum mandi. Gadis itu sangat telaten merawat diri. Kebiasaan merawat diri ia peroleh dari ibunya. Nyai Larasati memiliki resep berbagai macam lulur dan jamu-jamuan yang diwarisinya secara turun temurun. Tak heran bahwa di usianya yang tidak lagi muda, Nyai Larasati masih terlihat cantik walaupun pada dasarnya ia memang seorang wanita yang sangat cantik. Sri Respa
Suara orang-orang yang berbincang membangunkan tidur si pemuda. Ia membuka mata dan merasakan tubuhnya sudah segar kembali. Perut kenyang dan sedikit istirahat mengembalikan staminanya. Dilihatnya sekitar tampak kedai itu mulai ramai. Mungkin karena masakan di kedai ini terasa cocok di lidah banyak orang. Pemuda itu menghabiskan air putihnya yang masih tersisa. Terdengar olehnya seorang lelaki paruh baya berkata bahwa rumah Raden Wanara sedang butuh pekerja, ternak-ternaknya semakin banyak tapi kekurangan orang untuk mengurusnya. Pemuda itu tak menyia-nyiakan kesempatan, didekatinya lelaki yang berkata tadi dan ditanyakannya apakah ia bisa melamar untuk menjadi abdi di rumah Raden Wanara menjadi pengurus ternak-ternaknya itu. Dengan senyuman lelaki paruh baya itu berkata bahwa itu sangat mungkin, pemuda dengan tubuh bagus seperti dirinya pasti dibutuhkan di rumah Raden Wanara, dan sebaiknya ia segera ke sana dan mengutarakan keinginannya itu. Setelah tahu di mana kediaman Raden Wanara
Dengan tangannya yang gempal Bagong menempeleng kepala salah satu dari mereka. Pemuda yang terkena tempeleng itu seketika kaget dan langsung terhenyak dari posisinya diikuti oleh pemuda-pemuda yang lain.“Weh-weh, semprul! Kalian pada ngapain di sini!” bentak Bagong berkacak pinggang. Para pemuda yang merasa terganggu itu mulai bereaksi, mereka menatap tajam kepada Bagong dan Hasta. Salah seorang pemuda yang berwajah sangar bahkan melangkah maju dan memperlihatkan kepalan tinjunya menantang.“Siapa kau berani ikut campur urusanku! Pergi kalian!” seru pemuda sangar itu. Ia mulai mendorong tubuh gempal bagong dan mencoba mengusirnya. Tubuh Bagong tidak bergeming, ia malah balik menantang pemuda itu untuk beradu kekuatan.“Hei-hei, sabar-sabar, kalian jangan terbawa emosi! Sebenarnya mengapa kalian berada di sini!” Hasta mencoba menengahi, ia tidak ingin terjadi keributan.“Apa yang kulakukan di sini tidak ada urusannya denganmu, sebaiknya kalian pergi sebelum aku injak kalian seperti se
Malam ini Hasta tidak bisa tidur dengan tenang. Pandangan dan senyuman manis Sri Respati sore tadi tak bisa menghilang dari pikirannya. Di atas dipan kayu berselimut kain tipis, Hasta bolak balik memperbaiki posisi tidurnya yang tidak nyaman. Dilihatnya para abdi yang lain sudah tertidur lelap. Bagong yang rebah di sampingnya juga sudah nyaman telentang tanpa selimut dengan perut yang dibiarkannya berbaur dengan dinginnya udara malam. Dengan langkah pelan hampir tanpa suara, Hasta keluar dari kamarnya. Di luar kamar suasana begitu sunyi dan tenang. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya yang hanya berbalut kain tipis. Nyala obor di halaman tampak bergoyang mengikuti arah angin yang meniupnya. Malam memang sudah sangat larut, sebenarnya Hasta juga sudah sangat lelah karena pekerjaanya. Tapi sekuat apa pun ia mencoba memejamkan mata, wajah anak gadis Raden Wanara yang cantik jelita selalu muncul di kelopak matanya.Musim kemarau sudah hampir berakhir, di langit tak tampak bintang-bint
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan
Perlahan Raden Wikrama menyibak kelambu itu. Terlihat tubuh Misah yang menjadi lebih kurus dari sebelum ia meninggalkannya.“Kamu jadi lebih kurus Nduk, apa kamu sakit?” Misah tidak menjawab, Raden Wikrama mengalihkan padangannya pada bayi mungil di sampingnya. Bayi itu tampak tenang dengan tubuh yang terbungkus kain hingga terlihat seperti kepompong, “Bayi ini cantik sekali, siapa namanya?”“Apakah Raden senang melihat bayi ini?” ucap Misah dengan suara bergetar. Raden Wikrama terdiam, ia bingung harus menjawab apa.“Apakah ini yang Raden harapkan dariku!” cetus gadis itu.“Apa maksudmu Nduk? Katakan dengan jelas apa yang ingin kamu sampaikan! Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Raden Wikrama tanpa berbasa-basi lagi.“Kenapa Raden bertanya padaku! Bukankan ini yang Raden inginkan dariku!” seketika Misah bangkit dari posisinya. Ia menatap tajam Raden Wikrama yang berlaga bodoh dengan yang terjadi padanya. “Bukankah Raden tahu sendiri kejadiannya! Raden bohong padaku, Raden sudah mengin
“Apa kau bersungguh-sungguh Dek Sri, jangan menggodaku!” ucap Raden Wikrama seakan tak percaya. Wajahnya seketika memucat, ia mengalihkan pandangan mencoba menyembunyikan kekagetannya.“Kenapa Kang, aku tidak bohong. Untuk apa aku menggodamu, aku bersungguh-sungguh! Apa ada masalah Kakang?” pancing Nyai Sri. Ia mencoba mencari tahu apa yang ada di benak suaminya setelah mengetahui bahwa Misah juga telah melahirkan. Nyai Sri yakin suaminya sedang bingung dan berprasangka buruk terhadap gadis itu. Ia pasti berpikir bahwa anak yang lahir itu bukanlah darah dagingnya.“Kang?” seru Nyai Sri membuyarkan lamunan Raden Wikrama.“Eh, Iya Dek Sri,”“Kakang melamun?”“Tidak Dek Sri, aku cuma sedikit lelah!”“Ya sudah Kang, sebaiknya Kakang istirahat dulu! Aku akan menyuruh Nyi Darsan menyiapkan makanan,” Nyai Sri meraih Gandara dari gendongan suaminya, kemudian ia meletakkan tubuh mungil yang masih terlelap itu di atas pembaringan. Dengan lembut, Nyai Sri mengecup kening Raden Wikrama kemudian b
“Apa maksudmu Misah?” ucap Jalu pelan. Pemuda itu seketika kaget sekaligus takut mendengar ucapan Misah yang lumayan keras. Buru-buru ia berjalan mendekat kemudian memanjat teralis jendela kamar itu.“Apa maksudmu?” ulang Jalu berbisik. Ia takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.“Aku bilang, aku benci pada suamiku Kang! Benci! Dia sudah melanggar janji,” ucap Misah dengan raut menahan amarah. Pemuda itu masih bingung dengan ucapan Misah, ia berencana melompat masuk ke kamar sebelum akhirnya urung dilakukan karena kedatangan Nyi Darsan yang tiba-tiba.“Le, Cah Bagus, kamu ngapain nangkring di jendela? Kamu tadi dicari Lek Parmin di belakang, cepat sana!” ujar Nyi Darsan. Jalu menarik kembali kakinya yang telah setengah jalan masuk ke dalam kamar.“Eh, Simbok,” ucap Jalu canggung. Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dialami Misah. Ia memutuskan untuk memperjelasnya lain waktu. Dengan lincah Jalu turun dari jendela tem