Sepekan berlalu sejak kedatangan Nyai Sri. Sejak saat itu Misah tak dapat tidur dengan nyenyak. Ucapan Nyi Sambi selalu terngiang di benaknya. Benar kata Nyi Sambi, ia pasti tak akan sanggup jika harus menolak keinginan Nyai Sri untuk dijadikan istri kedua suaminya. Nyai Sri Gandawangi adalah wanita yang pintar, cerdik dan juga licik. Sifatnya itu sudah terkenal di dusun ini. Meskipun tingkah lakunya sangat anggun serta lembut, tapi semua orang tahu bahwa ia adalah wanita yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara apa pun.
Dua karung kacang tanah serta tiga karung singkong sudah selesai dipersiapkan Nyi Sambi dan Misah. Siang itu udara terasa sangat panas, peluh menetes di sekujur tubuh mereka berdua. Sambil menikmati air kelapa muda pemberian Ki Boyo tetangganya yang baru saja panen, keduanya beristirahat santai di bawah pohon jambu air yang tumbuh lebat di halaman rumah Nyi Sambi
“Nduk, sepekan lagi kamu sudah harus memberi jawaban, apa kamu sudah pikirkan kata–kata simbok. Kamu nurut saja sama simbok, pergi dan temui paman dan bibimu di kotaraja! Urusan Nyai Sri biar simbok nanti yang menghadapi,” ujar Nyi Sambi. Ia terus berusaha membujuk Misah untuk pergi menemui keluarganya.
“Mbok, aku ndak tahu caranya pergi ke sana, kalau sendirian aku takut, lagi pula aku harus cari paman dan bibi di mana mbok, wajah mereka saja aku sudah lupa,” Misah menjawab. Nyi Sambi terdiam, perasaan gundah kembali bergelayut di benak wanita tua itu. Misah benar, ia tak mungkin pergi sendirian. Lagi pula kotaraja sangat jauh dan tidak ada orang dusun yang bisa dimintai tolong untuk mengantarkannya ke sana.
Pada akhirnya mereka tidak berbuat apa pun, dan waktu yang dijanjikan telah tiba. Pagi-pagi sekali Misah sudah terbangun, ia menyiapkan makanan untuk dirinya dan Nyi Sambi. Meskipun masih muda, Misah piawai dalam memasak, rasa masakannya tidak kalah dengan buatan Nyi Sambi karena memang gadis itu belajar memasak dari wanita tua itu. Nasi putih, sayuran rebus dan sambal kelapa adalah makanan yang sudah sangat nikmat bagi lidah orang–orang desa yang serba kekurangan.
Udara pagi ini masih terasa dingin. Selesai menyiapkan makanan, Misah duduk di beranda rumahnya sambil menunggu Nyi Sambi bangun. Segelas wedang jahe yang sering ia buatkan untuk ayahnya kini dinikmatinya sendiri. Kehidupan di dusun memang sudah dimulai sejak pagi buta. Kebanyakan dari mereka adalah petani, mereka akan berladang sejak pagi hingga menjelang siang. Sedangkan siang hari sampai malam, para penduduk biasanya memiliki pekerjaan sambilan. Ada yang memilah hasil panen, ada yang membuat kerajinan atau hanya beristirahat santai bersama keluarga.
Samar-samar dari kejauhan terdengar derap langkah kaki kuda makin mendekat. Sebuah kereta kuda yang tidak asing berjalan lambat menuju rumah Misah. Kereta kuda itu dikemudikan oleh dua orang lelaki. Terlihat pula sebuah pedati yang ditarik seekor sapi berjalan lambat mengekor di belakang. Misah melihat kereta kuda itu semakin mendekat menuju rumahnya. Ia buru–buru membangunkan Nyi Sambi yang masih tertidur. Nyi sambi pun kaget dan terbangun. Dengan cepat ia merapikan rambut dan pakaiannya, disingsingkannya kain jarik yang menyelimuti tubuhnya. Dengan selendang yang melingkar di pundaknya Nyi Sambi tergesa untuk keluar menyambut Nyai Sri Gandawangi yang telah turun dari kereta kudanya.
“Raden Putri, sepagi ini sudah sampai di gubuk kami, maaf kami belum sempat bersiap-siap,” dengan gugup Nyi Sambi berkata.
“Tidak apa Nyi, tidak perlu repot-repot, aku akan langsung saja!” ucap Nyai Sri.
“Apa ini hasil panen yang sudah kubeli kemarin Nyi?” menunjuk karung–karung yang tergeletak di beranda.
“Nggeh Den Ayu, semua sudah saya persiapkan tinggal diambil,” jawab Nyi Sambi.
“Jalu, angkat karung-karung itu!” Nyai Sri memberi perintah kepada abdinya yang bernama Jalu. Pemuda kurus yang berusia sebaya dengan Misah itu dengan cekatan melaksanakan perintah majikannya. Dibantu oleh kedua abdi yang lain, karung–karung itu kini telah berpindah ke atas pedati.
“Terima kasih Nyi. Karena semua sudah selesai, mari kita berangkat sekarang Misah,” tatapan Nyai Sri berpindah pada Misah yang sedang berdiri mematung. Gadis itu merasa kaget dan bingung karena tiba–tiba Nyai Sri berbicara kepadanya. Tanpa basa-basi Nyai Sri menggandeng tangan Misah dan membawanya menuju kereta kuda. Tangan halus itu menariknya dengan lembut tapi terkesan memaksa, Misah tidak tahu harus bagaimana. Begitu cepat hingga ia sudah berada di dalam kereta kuda. Dipandanginya Nyi Sambi yang juga terlihat kaget.
“Tuuu–uuunggg tungg–gu Den Ayu, Misah mau di bawa kemana?” Nyi Sambi panik. Nyai Sri diam, setelah pintu kereta kuda ditutup, Nyai Sri menatap tajam pada Misah yang duduk di sampingnya.
“Misah, aku tahu kamu sudah membuat keputusan. Tidak mungkin kamu hendak menolak niat baikku menjadikanmu istri kedua suamiku, benar kan?” Nyai Sri bertanya. Misah menunduk, bingung, dalam situasi seperti ini ia tak tahu harus berbuat apa. Jantungnya berdebar kencang, tatapan tajam Nyai Sri kepadanya membuat Misah membisu. Tiba–tiba tangan Nyai Sri menyentuh pundak Misah, tangan itu terasa dingin.
“Misah?” Nyai Sri tidak sabar menunggu jawaban gadis itu. Misah yang tak tahu harus menjawab apa melirik Nyi Sambi yang tampak begitu cemas. Nyi Sambi mencoba memberi kode agar Misah menolak keinginan Nyai Sri, tapi sepertinya gadis yang masih lugu itu sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya dengan kata-kata.
“Baiklah Nduk, kamu tidak perlu menjawabnya, aku mengerti. Diammu itu aku artikan bahwa kamu sudah setuju dengan permintaanku. Nyi Sambi kami pamit, nanti bila persiapan sudah selesai akan ada yang menjemputmu untuk datang ke acara syukuran perkawinan Misah,” Nyai Sri mengalihkan pandangannya kepada Nyi Sambi.
“Tapi Den Ayu nuwun sewu, ini belum empat puluh hari sejak meningalnya Ki Gambang, pamali apabila melakukan acara perkawinan sekarang. Apalagi Misah belum memberikan jawaban. Mohon dengarkan jawaban Misah dulu Den Ayu,” ucap Nyi Sambi dengan nada memohon.
“Misah sudah memberi jawaban Nyi, seorang gadis jika diam saat ditanya soal perjodohan, itu artinya ia setuju, benar kan Nyi?”
“Bukan begitu Den Ayu, sebenarnya Misah masih belum bisa memutuskan. Mohon berikan waktu sebentar agar dia bisa berpikir,”
“Sudahlah Nyi, tidak perlu berlama–lama. Lagi pula aku tidak membawa Misah untuk dihukum, tapi aku membawanya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Apakah Nyi Sambi tidak ingin Misah hidup bahagia dan berkecukupan bersamaku,” ucap Nyai Sri.
“Baiklah kalo begitu Nyi, kami pamit. Ayo jalan Lek!” tanpa memperdulikan Nyi Sambi, Nyai Sri memerintahkan abdinya untuk menjalankan kereta. Misah makin bingung, dilihatnya Nyi Sambi berjalan cepat mengikutinya dari belakang. Tapi kereta kuda ini berjalan lebih cepat, Nyi Sambi hanya bisa menatap kepergian Misah tanpa mampu berbuat sesuatu. Batinnya berkecamuk, pikirannya menerawang. Firasat buruk seperti datang bersama kepergian Misah. Entah apa yang akan dihadapi gadis itu, ia teringat Ki Gambang dan merasa berdosa kepadanya.
Derap kereta kuda berhenti di kediaman megah Raden Wikrama. Rumah dengan halaman yang luas itu kini ramai orang berdatangan. Panggung megah telah berdiri, diam–diam Nyai Sri sudah mempersiapkan hajatan besar meskipun ia belum mendapatkan jawaban dari Misah. Nyai Sri menggandeng Misah turun dari kereta kuda, ia mengajak gadis belia yang masih lugu itu untuk berjalan mengikutinya. Misah merasa gugup, takut sekaligus takjub, dilihatnya sekeliling begitu banyak orang sibuk lalu lalang. Terakhir dia menapakkan kaki di sini adalah hari di saat kematian ayahnya. Misah berjalan pelan mengikuti Nyai Sri, tangan dingin itu terus membawanya masuk lebih dalam menuju ruangan paling belakang dan tersembunyi. Sebuah ruangan yang terletak di pojok bangunan utama.“Di sini kamar kamu Nduk,” Nyai Sri melepaskan tangan Misah sesampainya di sebuah kamar yang tertutup pintu kayu berukiran indah. Wanita cantik itu mengajak Misah masuk ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Misah masih terdiam, ia
“Raden Kakung?” suara Misah menyahut dari dalam kamar.“Iya Nduk,” jawab Raden Wikrama.Misah buru-buru membuka pintu, dengan cepat Raden Wikrama masuk dan menutup pintunya kembali. Misah kaget melihat Raden Wikrama tergesa masuk ke dalam kamarnya, ia hampir saja terjatuh karena kain jarik yang melilit tubuhnya membuatnya sulit bergerak bebas. Untung saja dengan sigap Raden Wikrama menahan tubuh kecil itu hingga membuat jarak mereka begitu dekat dan pandangan keduanya sempat beradu. Buru-buru Misah memperbaiki posisi tubuhnya dan mengalihkan pandangannya.“Maaf Raden,” ucap Misah gugup.“Aku yang seharusnya minta maaf Nduk, maaf tiba-tiba menerobos masuk, aku ingin bicara,” ucap Raden Wikrama lemah. Untuk beberapa saat Raden Wikrama terdiam. Dipandanginya gadis kecil ayu yang sedang terdiam dan terlihat malu-malu di depannya. Ia tampak terkagum, tapi dengan cepat ditepisnya pikiran aneh itu.“Misah, apa kamu mengerti situasi yang sedang kamu hadapi sekarang. Istriku memintamu untuk me
Di ruang utama kediaman Raden Wikrama yang luas kini sudah dipenuhi oleh barang-barang yang nanti akan digunakan dalam ritual. Berbagai macam jenis makanan ringan, nasi tumpeng, ayam ingkung hingga beberapa masakan yang telah siap disimpan di ruangan itu. Wangi bunga tujuh rupa dan kemenyan yang belum dibakar menyeruak di seluruh penjuru ruangan. Di antara semua barang yang tertata acak itu ada sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran naga di sandarannya. Di kursi itu Nyai Sri Gandawangi duduk termenung sendirian. Kebaya hitam dan kain jarik yang dipakainya tampak mewah karena dipadu dengan kalung emas berbentuk ukiran yang cukup lebar, di bagian dada juga tersemat perhiasan berbetuk bulat berhias batu permata hijau di tengahnya. Nyai Sri sepertinya sudah siap menjalankan tugasnya sebagai istri pertama dan kini sedang menunggu untuk mempersiapkan suaminya menuju acara ritual sakral pernikahan. Raden Wikrama yang berjalan dari arah dapur kaget mengetahui istrinya
Purnama di malam hari yang gelap memancarkan sinar yang anggun di setiap kemunculannya. Purnama merasuk ke dalam jiwa yang sedang gundah gulanah, menambah sendu ketika purnama itu hanya terdiam membisu. Purnama memberikan ruang bagi insan yang sedang jatuh cinta, memandang purnama yang bersinar temaram bagaikan semesta merestui ikatan cinta yang sedang membara. Pun bagi manusia-manusia yang haus akan jati diri, purnama menyempurnakan kekuatan bagi yang ingin kekal abadi. Tapi purnama tak selalu sempurna, malam ini purnama tersenyum malu-malu. Ia berlindung di balik selimut awan yang gelap, sinarnya menyembul tipis merasuki pohon-pohon gagah yang berdiri kokoh. Di bawah pohon belimbing rindang dengan ranum buahnya para gadis-gadis bermain dan bersenda gurau. Malam bulan purnama memberikan mereka keleluasaan untuk tak segera memejamkan mata. Malam bulan purnama menjadi malam yang dinantikan, para orang tua membiarkan anak mereka berada di luar rumah lebih lama dari biasanya. Sekedar unt
Pagi datang dengan balutan sinar mentari yang cerah menyilaukan. Rombongan dari istana kerajaan telah sampai dengan selamat di Dusun Kembang Kuniran. Seperti biasa mereka akan membeli seluruh hasil bumi dan ternak milik penduduk lalu menjualnya kembali di ibukota. Rombongan ini biasanya datang setiap satu purnama. Hasil bumi dan ternak dari dusun ini sudah terkenal karena kualitasnya yang bagus, maka pihak istana tidak segan untuk membeli semuanya dengan harga yang tinggi. Karena nantinya barang-barang ini akan dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Para bangsawan yang berduit tidak pernah mempermasalahkan harga barang yang mereka inginkan asalkan bisa memenuhi standar gengsinya di pergaulan kalangan atas. Ada yang berbeda dari utusan kali ini karena dipimpin langsung oleh putra Mahamentri Dwipanca yang bernama Raden Wikrama Manggalayuda. Raden Wikrama adalah seorang pemuda tampan berkulit bersih dan cerah, ia memiliki kumis tipis di wajahnya. Rambut panjangnya digelung rapi dan diik
Cuaca sudah terasa terik di Dusun Kembang Kuniran meskipun matahari baru naik sepenggalan. Seperti biasa untuk mandi dan mencuci, para penduduk dusun ini harus pergi ke sungai padas yang berada di bawah bukit. Sungai padas adalah sungai yang cukup luas bermata air jernih dengan arus yang tidak terlalu deras. Sungai ini merupakan muara dari hulu sungai yang berada di lereng pegunungan atas. Penduduk menyebut sungai ini sungai padas karena di sepanjang aliran sungai dipenuhi oleh batuan kali yang lumayan besar. Sri Respati dan beberapa temannya sudah berada di sungai sejak pagi karena mereka berencana untuk mengoleskan lulur sebelum mandi. Gadis itu sangat telaten merawat diri. Kebiasaan merawat diri ia peroleh dari ibunya. Nyai Larasati memiliki resep berbagai macam lulur dan jamu-jamuan yang diwarisinya secara turun temurun. Tak heran bahwa di usianya yang tidak lagi muda, Nyai Larasati masih terlihat cantik walaupun pada dasarnya ia memang seorang wanita yang sangat cantik. Sri Respa
Suara orang-orang yang berbincang membangunkan tidur si pemuda. Ia membuka mata dan merasakan tubuhnya sudah segar kembali. Perut kenyang dan sedikit istirahat mengembalikan staminanya. Dilihatnya sekitar tampak kedai itu mulai ramai. Mungkin karena masakan di kedai ini terasa cocok di lidah banyak orang. Pemuda itu menghabiskan air putihnya yang masih tersisa. Terdengar olehnya seorang lelaki paruh baya berkata bahwa rumah Raden Wanara sedang butuh pekerja, ternak-ternaknya semakin banyak tapi kekurangan orang untuk mengurusnya. Pemuda itu tak menyia-nyiakan kesempatan, didekatinya lelaki yang berkata tadi dan ditanyakannya apakah ia bisa melamar untuk menjadi abdi di rumah Raden Wanara menjadi pengurus ternak-ternaknya itu. Dengan senyuman lelaki paruh baya itu berkata bahwa itu sangat mungkin, pemuda dengan tubuh bagus seperti dirinya pasti dibutuhkan di rumah Raden Wanara, dan sebaiknya ia segera ke sana dan mengutarakan keinginannya itu. Setelah tahu di mana kediaman Raden Wanara
Dengan tangannya yang gempal Bagong menempeleng kepala salah satu dari mereka. Pemuda yang terkena tempeleng itu seketika kaget dan langsung terhenyak dari posisinya diikuti oleh pemuda-pemuda yang lain.“Weh-weh, semprul! Kalian pada ngapain di sini!” bentak Bagong berkacak pinggang. Para pemuda yang merasa terganggu itu mulai bereaksi, mereka menatap tajam kepada Bagong dan Hasta. Salah seorang pemuda yang berwajah sangar bahkan melangkah maju dan memperlihatkan kepalan tinjunya menantang.“Siapa kau berani ikut campur urusanku! Pergi kalian!” seru pemuda sangar itu. Ia mulai mendorong tubuh gempal bagong dan mencoba mengusirnya. Tubuh Bagong tidak bergeming, ia malah balik menantang pemuda itu untuk beradu kekuatan.“Hei-hei, sabar-sabar, kalian jangan terbawa emosi! Sebenarnya mengapa kalian berada di sini!” Hasta mencoba menengahi, ia tidak ingin terjadi keributan.“Apa yang kulakukan di sini tidak ada urusannya denganmu, sebaiknya kalian pergi sebelum aku injak kalian seperti se
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan
Perlahan Raden Wikrama menyibak kelambu itu. Terlihat tubuh Misah yang menjadi lebih kurus dari sebelum ia meninggalkannya.“Kamu jadi lebih kurus Nduk, apa kamu sakit?” Misah tidak menjawab, Raden Wikrama mengalihkan padangannya pada bayi mungil di sampingnya. Bayi itu tampak tenang dengan tubuh yang terbungkus kain hingga terlihat seperti kepompong, “Bayi ini cantik sekali, siapa namanya?”“Apakah Raden senang melihat bayi ini?” ucap Misah dengan suara bergetar. Raden Wikrama terdiam, ia bingung harus menjawab apa.“Apakah ini yang Raden harapkan dariku!” cetus gadis itu.“Apa maksudmu Nduk? Katakan dengan jelas apa yang ingin kamu sampaikan! Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Raden Wikrama tanpa berbasa-basi lagi.“Kenapa Raden bertanya padaku! Bukankan ini yang Raden inginkan dariku!” seketika Misah bangkit dari posisinya. Ia menatap tajam Raden Wikrama yang berlaga bodoh dengan yang terjadi padanya. “Bukankah Raden tahu sendiri kejadiannya! Raden bohong padaku, Raden sudah mengin
“Apa kau bersungguh-sungguh Dek Sri, jangan menggodaku!” ucap Raden Wikrama seakan tak percaya. Wajahnya seketika memucat, ia mengalihkan pandangan mencoba menyembunyikan kekagetannya.“Kenapa Kang, aku tidak bohong. Untuk apa aku menggodamu, aku bersungguh-sungguh! Apa ada masalah Kakang?” pancing Nyai Sri. Ia mencoba mencari tahu apa yang ada di benak suaminya setelah mengetahui bahwa Misah juga telah melahirkan. Nyai Sri yakin suaminya sedang bingung dan berprasangka buruk terhadap gadis itu. Ia pasti berpikir bahwa anak yang lahir itu bukanlah darah dagingnya.“Kang?” seru Nyai Sri membuyarkan lamunan Raden Wikrama.“Eh, Iya Dek Sri,”“Kakang melamun?”“Tidak Dek Sri, aku cuma sedikit lelah!”“Ya sudah Kang, sebaiknya Kakang istirahat dulu! Aku akan menyuruh Nyi Darsan menyiapkan makanan,” Nyai Sri meraih Gandara dari gendongan suaminya, kemudian ia meletakkan tubuh mungil yang masih terlelap itu di atas pembaringan. Dengan lembut, Nyai Sri mengecup kening Raden Wikrama kemudian b
“Apa maksudmu Misah?” ucap Jalu pelan. Pemuda itu seketika kaget sekaligus takut mendengar ucapan Misah yang lumayan keras. Buru-buru ia berjalan mendekat kemudian memanjat teralis jendela kamar itu.“Apa maksudmu?” ulang Jalu berbisik. Ia takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.“Aku bilang, aku benci pada suamiku Kang! Benci! Dia sudah melanggar janji,” ucap Misah dengan raut menahan amarah. Pemuda itu masih bingung dengan ucapan Misah, ia berencana melompat masuk ke kamar sebelum akhirnya urung dilakukan karena kedatangan Nyi Darsan yang tiba-tiba.“Le, Cah Bagus, kamu ngapain nangkring di jendela? Kamu tadi dicari Lek Parmin di belakang, cepat sana!” ujar Nyi Darsan. Jalu menarik kembali kakinya yang telah setengah jalan masuk ke dalam kamar.“Eh, Simbok,” ucap Jalu canggung. Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dialami Misah. Ia memutuskan untuk memperjelasnya lain waktu. Dengan lincah Jalu turun dari jendela tem