Satu pekan berlalu, kini Misah sudah mulai kembali seperti biasa. Meskipun ia tidak biasa mengerjakan pekerjaan berladang seperti yang ayahnya lakukan, Misah tetap berusaha dan belajar dari Nyi Sambi agar ia bisa memenuhi kebutuhannya sehari–hari. Ia juga rajin membantu apa yang dikerjakan oleh wanita yang dipanggilnya simbok itu. Berladang dan beternak ia lakukan demi kehidupannya tetap berjalan. Pelan-pelan luka yang ia rasakan karena kehilangan ayahnya mulai sembuh dan berganti dengan kesehariannya yang sibuk untuk melanjutkan hidup.
Tawa riang Misah saat bercanda dengan Nyi Sambi terdengar sampai di kejauhan, sore itu panen kacang tanah dan singkong lumayan banyak mereka dapatkan. Dengan lincah, jari-jari Misah memotong tangkai singkong dan memisahkannya dari umbinya.
"Banyak Mbok panenan kita, besok kalo Simbok mau jual ini ke kota aku boleh ikut kan Mbok? Aku belum pernah liat pasar yang di Kotaraja. Wening bilang pasarnya ramai, ia pernah diajak bapaknya ke sana, pulang-pulang ia pamer mainan baru yang dibelikan bapaknya itu, aku pengen mbok," dengan polos Misah menceritakan kisah sahabatnya.
"Iyo Nduk, tapi jangan ngeluh ya kalo jalannya jauh," ucap Nyi Sambi
"Aku ndak bakal ngeluh Mbok, paling nanti kalo aku capek aku minta gendong sama Simbok," timpal Misah sambil menyeringai.
"Boleh, berangkat tak gendong, pulangnya gantian Simbok mbok bopong yo!" kelakar Nyi Sambi. Wanita itu merasa lega, Misah sudah berangsur membaik. Sepertinya gadis itu sudah mulai melupakan kesedihannya.
"Kalo kayak gitu pinggangku bisa pindah ke depan lah Mbok," timpal Misah diiringi suara tawa renyah mereka berdua. Tawa itu seketika reda dengan hadirnya sebuah kereta kuda yang berhenti tepat di depan rumah Misah. Tampak seorang sais setengah baya tergopoh–gopoh membukakan pintu kereta kuda itu. Dari dalamnya muncul seorang wanita cantik yang tak lain adalah Nyai Sri Gandawangi.
Cahaya merah sore menerpa wajah ayu Nyai Sri yang tersenyum simpul kepada Misah dan Nyi Sambi. Seperti biasa ia datang bersama emban setianya. Misah dan Nyi Sambi kaget dengan kedatangan istri raden tumenggung yang tiba-tiba itu. Mereka berdua buru-buru berdiri dari tempat duduknya.
"Ndoro Ayu," ucap Nyi Sambi. Wanita tua itu menunduk seraya membungkukkan badannya memberi hormat. Misah pun mengikuti apa yang dilakukan Nyi Sambi.
"Nyi Sambi, Misah, kalian sedang apa?" Nyai Sri berbasa basi.
"Mengurus hasil panen Den Ayu, besok mau dijual ke pasar, kalau tidak segera dibereskan takut rusak ini singkong sama kacang tanahnya," ujar Nyi Sambi.
"Bagus Nyi hasil panennya, singkong dan kacangnya besar-besar, besok kalian tidak usah repot-repot ke pasar, biar aku beli semuanya, langsung aku bayar sekarang," dengan anggun Nyai Sri berbalik menatap embannya. Sang emban tanggap dan menyerahkan kantong yang berisi penuh kepingan uang logam.
"Ini Nyi, aku beli semuanya, nanti biar Jalu yang mengambilnya ke sini," lanjutnya. Nyi Sambi tak pernah menyangka bahwa hasil panennya hari ini diborong oleh Nyai Sri Gandawangi. Ia sangat senang ketika menerima sekantong penuh uang logam yang diserahkan oleh Nyai Sri kepadanya. Dilihatnya isi di dalam kantong itu dan jika dihitung, uang ini tiga kali lebih banyak dari harga seharusnya.
"Matur nuwun Den Ayu, matur nuwun," berkali-kali Nyi Sambi mengucapkan terima kasih kepada Nyai Sri. Sambil terus tersenyum ia merapikan tempat duduk bale kayu satu-satunya yang ada di tempat itu dan mempersilahkan tamu istimewanya itu untuk duduk.
"Silahkan Ndoro," Nyi Sambi mempersilahkan.
Dengan anggun dan tanpa berkata-kata Nyai Sri menempati bale kayu itu. Ia duduk dengan perasaan yang tidak nyaman. Khas wanita bangsawan yang merasa berada di tempat yang tidak seharusnya.
Nyi Sambi berbisik kepada Misah, ia menyuruhnya untuk mengambil minuman dan sedikit cemilan yang baru dibuatnya tadi. Singkong tumbuk yang dicampur gula merah, cemilan manis yang sangat disukai oleh Misah.
"Tidak usah repot-repot Nyi, aku cuma ingin bicara sebentar," Nyai Sri berkata.
"Tidak repot Den Ayu, cuma air," sambil tersenyum Nyi Sambi berkata.
Misah buru-buru melakukan yang diperintahkan kepadanya. Tak berapa lama ia kembali dari dapur. Membawa nampan bambu berisi air dalam kendi dan singkong tumbuk yang masih hangat
"Nyi Sambi, Misah, kedatanganku kesini bukan tanpa alasan, aku tahu baru sepekan lalu Ki Gambang meninggal dunia, aku turut berduka mendengar itu, aku pikir tabib yang aku kirim bisa membantu menyembuhkan bapakmu Nduk. Tapi Dewata berkehendak lain," ucap Nyai Sri panjang lebar.
"Nggeh Ndoro Ayu, bapak saya sudah sembuh, sudah tidak merasakan sakit lagi, dan sudah kumpul dengan ibu. Saya sudah ikhlas Ndoro, semoga bapak diberi jalan terang dan lapang," ucap Misah lirih.
"Aku senang kau tidak terlalu lama bersedih Nduk cah ayu. Seperti yang aku bilang tadi, kedatanganku kesini bukan tanpa maksud. Sebelum bapak kamu meninggal, kami berdua pernah membicarakan suatu hal yang berhubungan denganmu Nduk. Apakah bapak kamu sudah memberitahukan hal itu kepadamu?" tanya Nyai Sri sembari menatap tajam kepada Misah. Misah terlihat bingung. "Tapi dari yang aku lihat, sepertinya bapak kamu belum memberitahumu apapun," tambahnya.
"Ada masalah apa Den?" Nyi Sambi bertanya. Wanita setengah baya itu tampak bingung dengan perkataan Nyai Sri.
"Sebelum Ki Gambang meninggal, aku sempat berkata kepadanya bahwa aku ingin meminta Misah untuk menjadi istri kedua suamiku Nyi," dengan pelan tapi tegas Nyai Sri berkata.
Misah dan Nyi Sambi saling pandang. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Bagai disambar petir di sore yang cerah, tak ada hujan dan tak ada angin tiba-tiba istri dari kepala dusun yang bergelar Nyai Tumenggung datang ke gubug reyot milik Almarhum Ki Gambang untuk melamar anak gadisnya yang akan dijadikan istri kedua suaminya.
“Maksud Nyai?” Nyi Sambi seakan tak percaya dan ingin mempertegas apa yang didengarnya. Meskipun sebenarnya kata-kata yang diucapkan oleh Nyai Sri terdengar sangat jelas di telinganya.
Malam kembali datang, tapi malam ini terasa begitu panjang. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela dinding anyaman kediaman Nyi Sambi. Hawa dingin ini membuat seluruh tubuh tua Nyi Sambi merasa tidak nyaman, badannya pegal dan tulangnya linu. Nyi Sambi yang belum juga bisa tidur beranjak mengambil selendangnya dan melingkarkan selendang itu menutupi pundaknya. Ia menggosok kedua telapak tangan agar bisa menghangatkan jari–jarinya yang mulai terasa kaku, kemudian ia mulai berjalan ke dapur. Terlihat air yang sedang direbusnya mulai mendidih dan berbuih. Nyi Sambi berniat membuat air jahe hangat sambil mereda dingin di perapian. Dipungutnya sepotong ubi rebus gula merah sisa tadi sore. Menggigit sepotong ubi membuatnya teringat lagi perkataan Nyai Sri. Ia dan Misah hanya bisa terdiam bingung apa yang harus dikatakan untuk menjawab pertanyaan Nyai Sri yang tiba–tiba dan terasa tidak nyata. Terngiang kembali ucapan lembut istri kepala dusun itu kepadanya dan Misah.“Aku ingin Misah m
Sepekan berlalu sejak kedatangan Nyai Sri. Sejak saat itu Misah tak dapat tidur dengan nyenyak. Ucapan Nyi Sambi selalu terngiang di benaknya. Benar kata Nyi Sambi, ia pasti tak akan sanggup jika harus menolak keinginan Nyai Sri untuk dijadikan istri kedua suaminya. Nyai Sri Gandawangi adalah wanita yang pintar, cerdik dan juga licik. Sifatnya itu sudah terkenal di dusun ini. Meskipun tingkah lakunya sangat anggun serta lembut, tapi semua orang tahu bahwa ia adalah wanita yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara apa pun.Dua karung kacang tanah serta tiga karung singkong sudah selesai dipersiapkan Nyi Sambi dan Misah. Siang itu udara terasa sangat panas, peluh menetes di sekujur tubuh mereka berdua. Sambil menikmati air kelapa muda pemberian Ki Boyo tetangganya yang baru saja panen, keduanya beristirahat santai di bawah pohon jambu air yang tumbuh lebat di halaman rumah Nyi Sambi“Nduk, sepekan lagi kamu sudah harus memberi jawaban, apa kamu sudah pikirkan kata–kata
Derap kereta kuda berhenti di kediaman megah Raden Wikrama. Rumah dengan halaman yang luas itu kini ramai orang berdatangan. Panggung megah telah berdiri, diam–diam Nyai Sri sudah mempersiapkan hajatan besar meskipun ia belum mendapatkan jawaban dari Misah. Nyai Sri menggandeng Misah turun dari kereta kuda, ia mengajak gadis belia yang masih lugu itu untuk berjalan mengikutinya. Misah merasa gugup, takut sekaligus takjub, dilihatnya sekeliling begitu banyak orang sibuk lalu lalang. Terakhir dia menapakkan kaki di sini adalah hari di saat kematian ayahnya. Misah berjalan pelan mengikuti Nyai Sri, tangan dingin itu terus membawanya masuk lebih dalam menuju ruangan paling belakang dan tersembunyi. Sebuah ruangan yang terletak di pojok bangunan utama.“Di sini kamar kamu Nduk,” Nyai Sri melepaskan tangan Misah sesampainya di sebuah kamar yang tertutup pintu kayu berukiran indah. Wanita cantik itu mengajak Misah masuk ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Misah masih terdiam, ia
“Raden Kakung?” suara Misah menyahut dari dalam kamar.“Iya Nduk,” jawab Raden Wikrama.Misah buru-buru membuka pintu, dengan cepat Raden Wikrama masuk dan menutup pintunya kembali. Misah kaget melihat Raden Wikrama tergesa masuk ke dalam kamarnya, ia hampir saja terjatuh karena kain jarik yang melilit tubuhnya membuatnya sulit bergerak bebas. Untung saja dengan sigap Raden Wikrama menahan tubuh kecil itu hingga membuat jarak mereka begitu dekat dan pandangan keduanya sempat beradu. Buru-buru Misah memperbaiki posisi tubuhnya dan mengalihkan pandangannya.“Maaf Raden,” ucap Misah gugup.“Aku yang seharusnya minta maaf Nduk, maaf tiba-tiba menerobos masuk, aku ingin bicara,” ucap Raden Wikrama lemah. Untuk beberapa saat Raden Wikrama terdiam. Dipandanginya gadis kecil ayu yang sedang terdiam dan terlihat malu-malu di depannya. Ia tampak terkagum, tapi dengan cepat ditepisnya pikiran aneh itu.“Misah, apa kamu mengerti situasi yang sedang kamu hadapi sekarang. Istriku memintamu untuk me
Di ruang utama kediaman Raden Wikrama yang luas kini sudah dipenuhi oleh barang-barang yang nanti akan digunakan dalam ritual. Berbagai macam jenis makanan ringan, nasi tumpeng, ayam ingkung hingga beberapa masakan yang telah siap disimpan di ruangan itu. Wangi bunga tujuh rupa dan kemenyan yang belum dibakar menyeruak di seluruh penjuru ruangan. Di antara semua barang yang tertata acak itu ada sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran naga di sandarannya. Di kursi itu Nyai Sri Gandawangi duduk termenung sendirian. Kebaya hitam dan kain jarik yang dipakainya tampak mewah karena dipadu dengan kalung emas berbentuk ukiran yang cukup lebar, di bagian dada juga tersemat perhiasan berbetuk bulat berhias batu permata hijau di tengahnya. Nyai Sri sepertinya sudah siap menjalankan tugasnya sebagai istri pertama dan kini sedang menunggu untuk mempersiapkan suaminya menuju acara ritual sakral pernikahan. Raden Wikrama yang berjalan dari arah dapur kaget mengetahui istrinya
Purnama di malam hari yang gelap memancarkan sinar yang anggun di setiap kemunculannya. Purnama merasuk ke dalam jiwa yang sedang gundah gulanah, menambah sendu ketika purnama itu hanya terdiam membisu. Purnama memberikan ruang bagi insan yang sedang jatuh cinta, memandang purnama yang bersinar temaram bagaikan semesta merestui ikatan cinta yang sedang membara. Pun bagi manusia-manusia yang haus akan jati diri, purnama menyempurnakan kekuatan bagi yang ingin kekal abadi. Tapi purnama tak selalu sempurna, malam ini purnama tersenyum malu-malu. Ia berlindung di balik selimut awan yang gelap, sinarnya menyembul tipis merasuki pohon-pohon gagah yang berdiri kokoh. Di bawah pohon belimbing rindang dengan ranum buahnya para gadis-gadis bermain dan bersenda gurau. Malam bulan purnama memberikan mereka keleluasaan untuk tak segera memejamkan mata. Malam bulan purnama menjadi malam yang dinantikan, para orang tua membiarkan anak mereka berada di luar rumah lebih lama dari biasanya. Sekedar unt
Pagi datang dengan balutan sinar mentari yang cerah menyilaukan. Rombongan dari istana kerajaan telah sampai dengan selamat di Dusun Kembang Kuniran. Seperti biasa mereka akan membeli seluruh hasil bumi dan ternak milik penduduk lalu menjualnya kembali di ibukota. Rombongan ini biasanya datang setiap satu purnama. Hasil bumi dan ternak dari dusun ini sudah terkenal karena kualitasnya yang bagus, maka pihak istana tidak segan untuk membeli semuanya dengan harga yang tinggi. Karena nantinya barang-barang ini akan dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Para bangsawan yang berduit tidak pernah mempermasalahkan harga barang yang mereka inginkan asalkan bisa memenuhi standar gengsinya di pergaulan kalangan atas. Ada yang berbeda dari utusan kali ini karena dipimpin langsung oleh putra Mahamentri Dwipanca yang bernama Raden Wikrama Manggalayuda. Raden Wikrama adalah seorang pemuda tampan berkulit bersih dan cerah, ia memiliki kumis tipis di wajahnya. Rambut panjangnya digelung rapi dan diik
Cuaca sudah terasa terik di Dusun Kembang Kuniran meskipun matahari baru naik sepenggalan. Seperti biasa untuk mandi dan mencuci, para penduduk dusun ini harus pergi ke sungai padas yang berada di bawah bukit. Sungai padas adalah sungai yang cukup luas bermata air jernih dengan arus yang tidak terlalu deras. Sungai ini merupakan muara dari hulu sungai yang berada di lereng pegunungan atas. Penduduk menyebut sungai ini sungai padas karena di sepanjang aliran sungai dipenuhi oleh batuan kali yang lumayan besar. Sri Respati dan beberapa temannya sudah berada di sungai sejak pagi karena mereka berencana untuk mengoleskan lulur sebelum mandi. Gadis itu sangat telaten merawat diri. Kebiasaan merawat diri ia peroleh dari ibunya. Nyai Larasati memiliki resep berbagai macam lulur dan jamu-jamuan yang diwarisinya secara turun temurun. Tak heran bahwa di usianya yang tidak lagi muda, Nyai Larasati masih terlihat cantik walaupun pada dasarnya ia memang seorang wanita yang sangat cantik. Sri Respa
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan
Perlahan Raden Wikrama menyibak kelambu itu. Terlihat tubuh Misah yang menjadi lebih kurus dari sebelum ia meninggalkannya.“Kamu jadi lebih kurus Nduk, apa kamu sakit?” Misah tidak menjawab, Raden Wikrama mengalihkan padangannya pada bayi mungil di sampingnya. Bayi itu tampak tenang dengan tubuh yang terbungkus kain hingga terlihat seperti kepompong, “Bayi ini cantik sekali, siapa namanya?”“Apakah Raden senang melihat bayi ini?” ucap Misah dengan suara bergetar. Raden Wikrama terdiam, ia bingung harus menjawab apa.“Apakah ini yang Raden harapkan dariku!” cetus gadis itu.“Apa maksudmu Nduk? Katakan dengan jelas apa yang ingin kamu sampaikan! Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Raden Wikrama tanpa berbasa-basi lagi.“Kenapa Raden bertanya padaku! Bukankan ini yang Raden inginkan dariku!” seketika Misah bangkit dari posisinya. Ia menatap tajam Raden Wikrama yang berlaga bodoh dengan yang terjadi padanya. “Bukankah Raden tahu sendiri kejadiannya! Raden bohong padaku, Raden sudah mengin
“Apa kau bersungguh-sungguh Dek Sri, jangan menggodaku!” ucap Raden Wikrama seakan tak percaya. Wajahnya seketika memucat, ia mengalihkan pandangan mencoba menyembunyikan kekagetannya.“Kenapa Kang, aku tidak bohong. Untuk apa aku menggodamu, aku bersungguh-sungguh! Apa ada masalah Kakang?” pancing Nyai Sri. Ia mencoba mencari tahu apa yang ada di benak suaminya setelah mengetahui bahwa Misah juga telah melahirkan. Nyai Sri yakin suaminya sedang bingung dan berprasangka buruk terhadap gadis itu. Ia pasti berpikir bahwa anak yang lahir itu bukanlah darah dagingnya.“Kang?” seru Nyai Sri membuyarkan lamunan Raden Wikrama.“Eh, Iya Dek Sri,”“Kakang melamun?”“Tidak Dek Sri, aku cuma sedikit lelah!”“Ya sudah Kang, sebaiknya Kakang istirahat dulu! Aku akan menyuruh Nyi Darsan menyiapkan makanan,” Nyai Sri meraih Gandara dari gendongan suaminya, kemudian ia meletakkan tubuh mungil yang masih terlelap itu di atas pembaringan. Dengan lembut, Nyai Sri mengecup kening Raden Wikrama kemudian b
“Apa maksudmu Misah?” ucap Jalu pelan. Pemuda itu seketika kaget sekaligus takut mendengar ucapan Misah yang lumayan keras. Buru-buru ia berjalan mendekat kemudian memanjat teralis jendela kamar itu.“Apa maksudmu?” ulang Jalu berbisik. Ia takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.“Aku bilang, aku benci pada suamiku Kang! Benci! Dia sudah melanggar janji,” ucap Misah dengan raut menahan amarah. Pemuda itu masih bingung dengan ucapan Misah, ia berencana melompat masuk ke kamar sebelum akhirnya urung dilakukan karena kedatangan Nyi Darsan yang tiba-tiba.“Le, Cah Bagus, kamu ngapain nangkring di jendela? Kamu tadi dicari Lek Parmin di belakang, cepat sana!” ujar Nyi Darsan. Jalu menarik kembali kakinya yang telah setengah jalan masuk ke dalam kamar.“Eh, Simbok,” ucap Jalu canggung. Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dialami Misah. Ia memutuskan untuk memperjelasnya lain waktu. Dengan lincah Jalu turun dari jendela tem