“Misah, ayo keluar!” teriak seorang gadis yang sedang bergerombol dengan teman sebayanya. Mereka sedang menghitung biji sawo untuk nantinya digunakan untuk bermain dakon.
“Bapak lagi sakit, aku ndak bisa ikut,” teriak gadis berambut legam yang dipanggil Misah itu. Kata–katanya segera dibalas dengan anggukan. Dari dalam rumahnya yang berlantai tanah, Misah mengawasi teman–temannya yang sedang bermain. Meskipun begitu tatapannya kosong, pikirannya melayang, ia masuk dalam dunia lamunan. Namun seketika lamunannya pudar setelah terdengar suara batuk ayahnya yang sangat keras dan berat. Dengan sigap Misah menyodorkan segelas air jahe hangat yang sudah disiapkannya. Ki Gambang menerima air jahe yang disodorkan anak gadisnya itu. Tangannya gemetar dan badannya menggigil. Di bale bambu yang tidak terlalu lebar, Ki Gambang kembali merebahkan tubuhnya setelah seteguk jahe hangat lumayan bisa meredakan batuknya. Misah menyelubungi tubuh ayahnya yang kurus dengan kain sarung.
Ki Gambang menata nafasnya yang tidak beraturan. Meskipun umurnya belum terlalu tua, tubuh Ki Gambang sangat lemah karena digerogoti oleh penyakit yang telah lama dideritanya. Penyakit itu timbul tenggelam seperti siang dan malam. Di saat musim kering seperti sekarang ini penyakit Ki Gambang akan muncul dan menjadi cukup parah. Saat udara malam sangat dingin, ia akan mengalami batuk yang sulit diredam. Biasanya Misah akan membuatkan ramuan yang terbuat dari jahe dan perasan jeruk nipis untuk sedikit meredakannya. Meskipun ia sudah berobat ke beberapa tabib yang dikenalnya, tetapi tak juga kunjung membaik. Karena itu Ki Gambang sudah pasrah dengan keadaannya ini.
Seharian ini Ki Gambang tidak melakukan apapun, tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. Biasanya ia akan sangat rajin mengurus tanamannya di sawah. Tahun ini ia menanam ubi dan ketela karena musim kemarau baru saja tiba. Di musim seperti ini tidak mungkin untuk menanam padi, karena padi membutuhkan banyak sekali air. Karena itulah ia hanya bisa menanam umbi–umbian untuk menyokong hidupnya yang serba kekurangan.
Malam semakin larut, orang–orang yang tadinya berada di luar rumah untuk menikmati terangnya cahaya bulan purnama sudah kembali ke rumahnya masing–masing. Mungkin mereka sudah terlelap di balik kain sarungnya. Tetapi tidak dengan Ki Gambang, ia merasa sulit tidur. Selain karena penyakitnya yang semakin parah, hati dan pikirannya juga terasa tidak nyaman. Beberapa hari ini, burung bence sering bertengger di pohon belakang rumahnya. Banyak orang menganggap, kedatangan burung itu di dekat rumah adalah suatu pertanda buruk. Ki Gambang merasa gelisah, ia mulai berfikiran buruk.
Seharian rebah membuat badannya sakit semua. Ia bangkit dan bersandar pada dinding bambu rumah yang sudah puluhan tahun ditinggalinya. Rumah peninggalan orang tua yang diwariskan kepadanya setelah keduanya meninggal. Sambil menyeruput air jahe buatan Misah yang sudah mulai dingin, Ki Gambang mengenang kembali masa kecilnya bersama kedua orang tuanya dan kesembilan saudaranya.
“Bapak kenapa belum tidur?” Misah berkata. Gadis ayu itu keluar dari kamarnya kemudian berjalan mendekati ayahnya yang masih terjaga.
“Bapak masih sakit?” Misah yang telah duduk di samping Ki Gambang mulai memijit–mijit lembut kaki ayahnya yang terasa dingin.
“Bapak sudah agak baikan Nduk. Kamu kenapa bangun lagi, tidur sana! Ini sudah larut malam,” ucap Ki Gambang.
“Aku cuma mau lihat Bapak,”
“Sudah Nduk, jahe buatanmu ini manjur tenan,” ucap Ki Gambang sambil tersenyum lemah. Misah membalas senyuman ayahnya dengan perasaan lega.
“Bapak harus sehat yo Pak, aku cuma punya bapak. Bapak harus menemin aku sampai tua! Janji yo Pak!” ujar Misah penuh harap. Ki Gambang kembali menyunggingkan senyuman.
“Iyo Nduk, semoga Sang Hyang Widi mengabulkan doamu ini yo!” jawab Ki Gambang. Meskipun ia tidak yakin dengan apa yang akan terjadi nanti, Ki Gambang tetap menenangkan hati anak gadisnya yang masih remaja itu.
“Tadi Bapak lagi melamun yo Pak, mikirin apa?” tanya Misah.
“Bapak cuma ingat kakek nenek kamu Nduk, juga saudara–saudara bapak,” jawab Ki Gambang. Iapun mulai lagi kisah-kisah tentang keluarganya itu dengan penuh semangat meski sesekali tampak kesedihan di raut wajah lelaki yang telah dipenuhi keriput itu. Misah dengan santai menyimak kisah yang entah sudah berapa kali ia mendengarnya. Tentang paman–pamannya yang menjadi anggota pasukan kerajaan, dan tentang bibi–bibinya yang memilih menjadi emban di Kerajaan Singapatih. Kerajaan yang memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas, termasuk Dukuh Manis Jambe. Pedukuhan di kaki Gunung Agung yang menjadi tempat tinggal Misah saat ini. Kabar terakhir yang didengar oleh Ki Gambang adalah bahwa dua saudaranya telah masuk dalam barisan pasukan kerajaan, bahkan salah satunya telah menyandang gelar Senopati. Sedangkan ketiga saudarinya memilih menjadi emban di kediaman para permaisuri raja. Sayangnya, Ki Gambang telah kehilangan kabar dari keempat saudara lelakinya yang lain. Meski simpang siur Ki Gambang pernah mendengar bahwa keempat saudaranya itu pergi menuntut ilmu di sebuah padepokan silat di tengah hutan, ada juga yang mengatakan bahwa mereka menjadi pengikut saudagar kaya dan menjadi ajudannya. Seluruh saudaranya itu belum pernah sekalipun menengoknya sejak kepergian mereka di usia yang masih sangat muda. Tidak ada yang tahu bahwa ia telah menikah dan memiliki seorang anak. Begitupun sebaliknya, Ki Gambang tidak pernah tahu kehidupan seperti apa yang dijalani oleh saudara–saudaranya itu.
Ki Gambang dan Misah tinggal berdua saja setelah istrinya meninggal dunia saat melahirkan Misah lima belas tahun yang lalu. Mungkin karena itulah anak gadis semata wayangnya itu ia beri nama Misah, yang artinya pisah atau memisahkan, memisahkan ia dengan istri yang sangat dicintainya. Tapi meski begitu Ki Gambang sangat menyayangi Misah, hingga ia tumbuh menjadi anak gadis yang ayu, berkulit sawo matang dengan bola mata yang besar dan bersinar. Mata yang sama persis seperti mata Ki Gambang.
“Tidurlah lagi Nduk,” ucap Ki Gambang kepada anaknya.
“Nggeh Pak,” jawab Misah sambil beranjak dari tempat duduknya. Misah mengurai rambut hitamnya yang tadi bergelung. Ia kemudian masuk ke dalam bilik satu–satunya di rumah itu, bilik dengan pintu yang tertutup kain jarik lusuh bekas milik ibunya.
...
Derap kuda memecah keheningan pagi yang benar-benar masih buta ini. Seakan baru semenit yang lalu Misah terlelap dan kini ia dikagetkan dengan keributan asing di luar rumahnya. Misah buru–buru merapikan kain jarik kemben yang dikenakannya, rambutnya yang masih berurai dibiarkannya berantakan menutupi sebagian wajah ayunya itu. Terlihat sang ayah sudah berada di depan seorang lelaki gagah namun garang yang berdiri angkuh memegang pedang yang bersarung di pinggangnya. Tampak pula puluhan prajurit lengkap berbaris rapi menyertainya. Salah satu prajurit yang gempal memegang tali kekang kuda yang mungkin milik si pria gagah itu.
“Benar ini rumah Ki Gambang Pengalihan?” lelaki kekar itu bertanya.
“Betul Raden,” Ki Gambang menjawab.
“Dimana Sastra, Mangun dan dua saudaramu bersembunyi Ki?”
“Ampun Raden, saya tidak tahu menahu lagi tentang keberadaan mereka, mereka pergi dari rumah saat berusia masih sangat muda, dan sejak saat itu hamba tidak pernah tahu lagi kabar dari mereka Raden,” kedua tangan Ki Gambang bertelungkup di dada dan terlihat sekali tangan itu gemetaran.
“Benarkan demikian Ki, kamu pasti sedang berbohong, jawablah dengan jujur tentang keberadaan para begal itu, atau kau akan aku hukum karena dengan sengaja menyembunyikan mereka,” lelaki itu mengancam.
“Ampun Raden, ampun, hamba benar-benar tidak tahu tentang mereka, jangan sakiti hamba Raden,” seketika tubuh Ki Gambang lemas, ia berlutut di depan lelaki itu dan menyembah minta ampun.
Sriinggg! Suara pedang yang sedari tadi bersarung kini mengayun dan hampir bersarang di leher Ki Gambang.
“Ampun Raden,” tubuh Ki Gambang semakin gemetar, keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhnya. Misah yang sedari tadi berdiri di balik pintu kaget bukan kepalang, ditangkupkannya telapak tangan ke mulutnya, ia takut menjerit mengetahui yang dia lihat saat ini, badannya kaku, tak tau harus berbuat apa.“Cepat katakan Ki, atau pedang ini menebas lehermu, banyak orang yang mengatakan para bandit itu sering muncul di tempat ini, kemana lagi kalau bukan untuk menemuimu,” lelaki itu tampak geram.“Benar Raden, hamba benar-benar sudah lama tidak pernah melihat mereka, ampuni hamba,” Ki Gambang memohon ampun. Keributan di pagi buta itu memancing warga dusun keluar dari biliknya masing-masing. Mereka bingung menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi.“Kau benar-benar tetap mau bungkam Ki? Prajurit! Seret laki-laki ini! Bawa dia ke penjara, akan kubuat dia buka mulut!” dengan suara yang keras dan tegas, lelaki yang adalah pemimpin pasukan itu memberi perintah. Dengan sigap dua ora
“Nyi, ambilkan minum dan makanan di dapur untuk Nyi Sambi dan Misah,” Nyai Sri kembali berkata pada embannya yang telah selesai menggelung rambut panjangnya.“Nggeh Ndoro Putri,” jawab sang emban.“Misah, Nduk cah ayu, sudah dewasa kamu Nduk, berapa umurmu sekarang?” tanya Nyai Sri kepada Misah.“Enam belas tahun Nyai,” jawab Misah sambil tertunduk malu. Tak berapa lama sang emban kembali dengan nampan kayu yang berisi air putih dalam kendi dan singkong rebus yang baru matang.“Dimakan dulu Nyi, Misah, kalian pasti belum sarapan,” Nyai Sri mempersilahkan kedua tamunya untuk menyantap hidangan yang sudah tersaji.“Matur nuwun Den Ayu,” ucap Nyi Sambi. Ia dan Misah malu-malu meneguk air putih dan menyantap singkong rebus yang masih panas itu. Nyai Sri tersenyum melihat tingkah mereka. Sesekali ia menatap Misah yang terlihat acak–acakan. Rambutnya yang hitam dan panjang terurai di punggung dan kedua pundaknya. Meskipun tampak kuyu dan kusut kecantikan alaminya masih sangat terlihat.Set
Satu pekan berlalu sejak kejadian yang menimpa Ki Gambang dan Misah. Sejak itu pula Ki Gambang terbaring tidak berdaya, batuk dan lemah tubuhnya membuat dirinya hanya bisa tergolek di pembaringan. Tubuh yang dulu kurus, kini semakin bertambah kurus. Berbagai macam empon-empon sudah diracik Misah, berharap itu akan menyembuhkan ayahnya. Tapi belum juga berhasil.Malam ini entah mengapa perasaan Ki Gambang terasa sangat tidak nyaman. Di pembaringannya, Ki Gambang rebah ditemani oleh anak gadisnya. “Misah, maafkan bapak nduk jika sudah merepotkan kamu, seandainya bapak pergi meninggalkan kamu, bapak berharap kamu jangan terlalu sedih dan dapat melanjutkan hidupmu dengan bahagia. Nduk, dunia ini memang cuma tempat istirahat kita sejenak, setelah ruh ini terpisah dari jasad kita akan benar-benar hidup kekal di samping Sang Hyang Widhi. Jadi apapun yang kau alami di dunia yang fana ini hanyalah setitik saja dari perjalanan panjang yang akan engkau alami nantinya Nduk. Kita boleh saja sedih,
Malam yang sunyi membuat Misah segera terlelap, ia meringkuk tidur di samping ayahnya. Berbeda dengan Ki Gambang, lelaki itu sulit untuk memejamkan mata. Meskipun hanya sebentar, kedatangan Nyai Sri yang tiba-tiba dan kata-kata yang diucapkannya terus mengiang di benaknya. Jawaban Ki Gambang yang dengan halus menolak permintaan untuk menjadikan Misah istri kedua ditelan mentah-mentah oleh Nyai Sri. Hal ini tidak wajar menurutnya, karena kebanyakan bangsawan cenderung memaksa jika ingin mengambil gadis dusun untuk dijadikan istri-istri muda. Walaupun nantinya nasib gadis-gadis ini tak akan seberuntung bila mereka dari kalangan bangsawan. Gadis-gadis miskin ini nantinya hanya akan dijadikan layaknya budak. Meski tidak semuanya seperti itu, banyak juga yang beruntung diperlakukan baik di keluarga suami bangsawan yang menikahinya. Diusapnya rambut Misah yang lebat, Ki Gambang memanjatkan doa kepada Dewata yang dipercayainya agar anak gadisnya ini kelak bisa bahagia dan menjalani kehidupan
Satu pekan berlalu, kini Misah sudah mulai kembali seperti biasa. Meskipun ia tidak biasa mengerjakan pekerjaan berladang seperti yang ayahnya lakukan, Misah tetap berusaha dan belajar dari Nyi Sambi agar ia bisa memenuhi kebutuhannya sehari–hari. Ia juga rajin membantu apa yang dikerjakan oleh wanita yang dipanggilnya simbok itu. Berladang dan beternak ia lakukan demi kehidupannya tetap berjalan. Pelan-pelan luka yang ia rasakan karena kehilangan ayahnya mulai sembuh dan berganti dengan kesehariannya yang sibuk untuk melanjutkan hidup.Tawa riang Misah saat bercanda dengan Nyi Sambi terdengar sampai di kejauhan, sore itu panen kacang tanah dan singkong lumayan banyak mereka dapatkan. Dengan lincah, jari-jari Misah memotong tangkai singkong dan memisahkannya dari umbinya. "Banyak Mbok panenan kita, besok kalo Simbok mau jual ini ke kota aku boleh ikut kan Mbok? Aku belum pernah liat pasar yang di Kotaraja. Wening bilang pasarnya ramai, ia pernah diajak bapaknya ke sana, pulang-pulang
Malam kembali datang, tapi malam ini terasa begitu panjang. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela dinding anyaman kediaman Nyi Sambi. Hawa dingin ini membuat seluruh tubuh tua Nyi Sambi merasa tidak nyaman, badannya pegal dan tulangnya linu. Nyi Sambi yang belum juga bisa tidur beranjak mengambil selendangnya dan melingkarkan selendang itu menutupi pundaknya. Ia menggosok kedua telapak tangan agar bisa menghangatkan jari–jarinya yang mulai terasa kaku, kemudian ia mulai berjalan ke dapur. Terlihat air yang sedang direbusnya mulai mendidih dan berbuih. Nyi Sambi berniat membuat air jahe hangat sambil mereda dingin di perapian. Dipungutnya sepotong ubi rebus gula merah sisa tadi sore. Menggigit sepotong ubi membuatnya teringat lagi perkataan Nyai Sri. Ia dan Misah hanya bisa terdiam bingung apa yang harus dikatakan untuk menjawab pertanyaan Nyai Sri yang tiba–tiba dan terasa tidak nyata. Terngiang kembali ucapan lembut istri kepala dusun itu kepadanya dan Misah.“Aku ingin Misah m
Sepekan berlalu sejak kedatangan Nyai Sri. Sejak saat itu Misah tak dapat tidur dengan nyenyak. Ucapan Nyi Sambi selalu terngiang di benaknya. Benar kata Nyi Sambi, ia pasti tak akan sanggup jika harus menolak keinginan Nyai Sri untuk dijadikan istri kedua suaminya. Nyai Sri Gandawangi adalah wanita yang pintar, cerdik dan juga licik. Sifatnya itu sudah terkenal di dusun ini. Meskipun tingkah lakunya sangat anggun serta lembut, tapi semua orang tahu bahwa ia adalah wanita yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara apa pun.Dua karung kacang tanah serta tiga karung singkong sudah selesai dipersiapkan Nyi Sambi dan Misah. Siang itu udara terasa sangat panas, peluh menetes di sekujur tubuh mereka berdua. Sambil menikmati air kelapa muda pemberian Ki Boyo tetangganya yang baru saja panen, keduanya beristirahat santai di bawah pohon jambu air yang tumbuh lebat di halaman rumah Nyi Sambi“Nduk, sepekan lagi kamu sudah harus memberi jawaban, apa kamu sudah pikirkan kata–kata
Derap kereta kuda berhenti di kediaman megah Raden Wikrama. Rumah dengan halaman yang luas itu kini ramai orang berdatangan. Panggung megah telah berdiri, diam–diam Nyai Sri sudah mempersiapkan hajatan besar meskipun ia belum mendapatkan jawaban dari Misah. Nyai Sri menggandeng Misah turun dari kereta kuda, ia mengajak gadis belia yang masih lugu itu untuk berjalan mengikutinya. Misah merasa gugup, takut sekaligus takjub, dilihatnya sekeliling begitu banyak orang sibuk lalu lalang. Terakhir dia menapakkan kaki di sini adalah hari di saat kematian ayahnya. Misah berjalan pelan mengikuti Nyai Sri, tangan dingin itu terus membawanya masuk lebih dalam menuju ruangan paling belakang dan tersembunyi. Sebuah ruangan yang terletak di pojok bangunan utama.“Di sini kamar kamu Nduk,” Nyai Sri melepaskan tangan Misah sesampainya di sebuah kamar yang tertutup pintu kayu berukiran indah. Wanita cantik itu mengajak Misah masuk ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Misah masih terdiam, ia
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan
Perlahan Raden Wikrama menyibak kelambu itu. Terlihat tubuh Misah yang menjadi lebih kurus dari sebelum ia meninggalkannya.“Kamu jadi lebih kurus Nduk, apa kamu sakit?” Misah tidak menjawab, Raden Wikrama mengalihkan padangannya pada bayi mungil di sampingnya. Bayi itu tampak tenang dengan tubuh yang terbungkus kain hingga terlihat seperti kepompong, “Bayi ini cantik sekali, siapa namanya?”“Apakah Raden senang melihat bayi ini?” ucap Misah dengan suara bergetar. Raden Wikrama terdiam, ia bingung harus menjawab apa.“Apakah ini yang Raden harapkan dariku!” cetus gadis itu.“Apa maksudmu Nduk? Katakan dengan jelas apa yang ingin kamu sampaikan! Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Raden Wikrama tanpa berbasa-basi lagi.“Kenapa Raden bertanya padaku! Bukankan ini yang Raden inginkan dariku!” seketika Misah bangkit dari posisinya. Ia menatap tajam Raden Wikrama yang berlaga bodoh dengan yang terjadi padanya. “Bukankah Raden tahu sendiri kejadiannya! Raden bohong padaku, Raden sudah mengin
“Apa kau bersungguh-sungguh Dek Sri, jangan menggodaku!” ucap Raden Wikrama seakan tak percaya. Wajahnya seketika memucat, ia mengalihkan pandangan mencoba menyembunyikan kekagetannya.“Kenapa Kang, aku tidak bohong. Untuk apa aku menggodamu, aku bersungguh-sungguh! Apa ada masalah Kakang?” pancing Nyai Sri. Ia mencoba mencari tahu apa yang ada di benak suaminya setelah mengetahui bahwa Misah juga telah melahirkan. Nyai Sri yakin suaminya sedang bingung dan berprasangka buruk terhadap gadis itu. Ia pasti berpikir bahwa anak yang lahir itu bukanlah darah dagingnya.“Kang?” seru Nyai Sri membuyarkan lamunan Raden Wikrama.“Eh, Iya Dek Sri,”“Kakang melamun?”“Tidak Dek Sri, aku cuma sedikit lelah!”“Ya sudah Kang, sebaiknya Kakang istirahat dulu! Aku akan menyuruh Nyi Darsan menyiapkan makanan,” Nyai Sri meraih Gandara dari gendongan suaminya, kemudian ia meletakkan tubuh mungil yang masih terlelap itu di atas pembaringan. Dengan lembut, Nyai Sri mengecup kening Raden Wikrama kemudian b
“Apa maksudmu Misah?” ucap Jalu pelan. Pemuda itu seketika kaget sekaligus takut mendengar ucapan Misah yang lumayan keras. Buru-buru ia berjalan mendekat kemudian memanjat teralis jendela kamar itu.“Apa maksudmu?” ulang Jalu berbisik. Ia takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.“Aku bilang, aku benci pada suamiku Kang! Benci! Dia sudah melanggar janji,” ucap Misah dengan raut menahan amarah. Pemuda itu masih bingung dengan ucapan Misah, ia berencana melompat masuk ke kamar sebelum akhirnya urung dilakukan karena kedatangan Nyi Darsan yang tiba-tiba.“Le, Cah Bagus, kamu ngapain nangkring di jendela? Kamu tadi dicari Lek Parmin di belakang, cepat sana!” ujar Nyi Darsan. Jalu menarik kembali kakinya yang telah setengah jalan masuk ke dalam kamar.“Eh, Simbok,” ucap Jalu canggung. Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dialami Misah. Ia memutuskan untuk memperjelasnya lain waktu. Dengan lincah Jalu turun dari jendela tem