Sentuhan basah membungkam sebagian isi pikiran Theo. Tidak menyangka Rose akan melakukan serangan secara tiba-tiba dengan beranjak duduk di atas pangkuan, dan menyentuh kepala bagian belakangnya, hanya karena pernyataan terakhir yang dia ucapkan. Cukup lama, senyum Theo melebar tanpa sadar. Membiarkan lumatan dari bibir penuh Rose berlangsung beberapa saat, kemudian disusul lidah yang melesak masuk—menjejal isi di dalam rongga mulutnya.“Good kisser, huh?” gumam Theo tatkala Rose memisahkan diri.Tatapan redup yang Rose perlihatkan, tidak sedikit membuat Theo diam—berusaha mencerna apa yang wanita itu inginkan.“Tell me.”Bisikan Rose nyaris tak terdengar, persis dengan rasa ingin tahu yang meledak-ledak. Pasalnya Theo dikenal sebagai seseorang yang berbeda dari yang dilihat sekian menit lalu. Jika pria itu menangis hanya karena memperhatikan sesuatu dari layar monitor yang ditutup secara paksa. Artinya Theo memiliki perasaan begitu dalam, ntah pada apa—Rose tidak mengerti.“Just let
I ruined her dream.-Theodore Witson-...Altar suci dan janji pernikahan yang baru saja terucap, menjadi bukti perjuangan setelah kisah rumit yang mereka lewati bersama. Senyum Rose melebar merasakan euforia yang turut mengalir di dadanya. Kebahagiaan Bridgette, benar-benar sesuatu yang tak bisa Rose ungkapkan dengan kata-kata.Satu minggu usai permasalahan yang berlangsung dalam mansion besar, tidak cukup buruk setelah Theo menerima penawar racun dari seorang pria asing. Mysthist yang tidak begitu Rose ketahui. Namun, Xelle seperti begitu akrab hingga melupakan keinginan memaksa Rose pergi. Terkesan jauh lebih mempercayai Theo, yang terkadang bicara lewat bahasa mata.“Aku tidak pernah melihat wajahmu seberbinar ini.”Suara di samping Rose menarik perhatiannya. Dia menyorot pria yang duduk di bangku sebelah. Sepasang netra abu-abu yang tampak lebih cemerlang di tempat terbuka dan aksen wajah eropa yang berhasil memikat beberapa wanita saat pertama kali mereka memasuki perkarangan
“Aku tidak tahu apa kau modus, atau benar-benar ingin Oracle memanggilmu daddy.”Rose bicara fokus menatap ke luar jendela. Tampilan alam asri yang bergerak semu, jauh lebih menarik daripada pria di sampingnya. Sesuatu terasa buruk sebelum mereka meninggalkan mansion yang letaknya di tengah hutan. Rose cukup keberatan saat Oracle tidak menolak tawaran yang Theo berikan. Bahkan Bridgette sendiri menyetujui apa yang seharusnya tidak terjadi.Mau bagaimanapun, Theo pernah menjadikan Oracle sebagai umpan sekadar memancing Rose untuk melayaninya tepat di awal saat mereka mulai terikat masalah. Theo yang merupakan tamu tak diundang hingga yang Rose ketahui menjadi klien dengan nama samaran, masih terlintas di kepala Rose akan beberapa kejadian. Kesucian yang terenggut tak urung menjadi bayang-bayang.Napas Rose berembus begitu mobil yang keluar dari jalur hutan, memasuki kawasan kota. Dia menunggu jawaban Theo, yang sampai saat ini belum terdengar. “Aku bicara padamu,” ucap Rose, berpalin
Magdalena mengangkat koper kebesaran di tangan, menaiki satu per satu anak tangga tidak peduli Lion berusaha mencegah setiap detail tindakan yang dia ambil. Sidang putusan cerai tersisa tujuh hari, cukup menyakinkan Magdalena untuk kembali memasuki mansion besar Theo sebagai tempat berlabuh. Dia tidak menyalahkan hakim tampan, yang begitu mudah jatuh dalam pesonannya. Melakukan kesepakatan saling menguntungkan. Magdalena hanya perlu melayani pria rupawan itu kapan dan di mana mereka harus menyiapkan diri.Dia sudah tidak sabar melihat seperti apa reaksi Theo di penghujung gugatannya sendiri.“Berhenti, Nyonya.”“Lepas! Jangan sentuh aku.”Magdalena menepis cekalan di pergelangan tangannya. “Kau akan menerima akibat yang sangat buruk, jika sampai aku terjatuh.”Berlalu tanpa henti. Magdalena menghentak koper di atas marmer dengan tatapan menusuk. Tidak ragu menyeringai kejam, mendekati dua orang yang terdiam.“Padahal belum lama kita tidak bertemu, kenapa sekarang kau menjadi pria ca
“Shut up! Jaga batasanmu, Magda.”Theo memalingkan wajah, menyorot Lion dingin tak tersentuh. “Pastikan Rose tidak pergi ke manapun. Tahan, bawa dia ke kamar tamu.”“Baik, Tuan.”Selepas kepergian Lion, Theo mengunci Magdalena dengan riak amarah. Menjaga jarak beberapa meter, demi menghindari aroma tubuh yang membuat isi pencernaannya bergejolak. Theo berdecih. Kali kedua kedatangan Magdalena sama-sama menciptakan kekacauan. Terlalu lancang. Bisa-bisanya wanita itu masuk di bawah pengawasan ketat. Apa Theo harus memutar akal sehatnya, bahwa Magdalena memiliki sifat manipulatif yang tidak bisa diremehkan?“Aku tidak mengerti apa urat malumu masih tersambung atau tidak. Tapi kau seharusnya tidak kemari saat tujuh hari ke depan kita sudah bukan siapa-siapa.”Pernyataan Theo mendapat sambutan sinis. Magdalena kembali menyibak rambutnya ke belakang dengan senyum angkuh yang tak pernah hilang. “Kau bisa memaksaku menandatangani surat cerai. Aku akui aku terlalu bodoh waktu itu, berharap ka
“Buka pintunya, Lion. Kau tidak bisa mengunciku di sini. Aku mau keluar!”Berulang kali Rose menekan ganggang pintu. Berharap bisa terbebas dari ruang tak bercela, yang pada satu sisinya terdapat jendela kaca tebal. Tidak terlihat satu pun bagian yang bisa Rose akses sekadar menggeser kusen yang menyatu rapat. Dia benar-benar terjebak. Pintu yang dia usahakan terbuka turut menjadi momok mengertikan. Lion mungkin sudah melangkah jauh, membiarkannya sendiri meronta seperti wanita tidak waras.Sejak awal Rose tidak pernah berharap akan terjebak dalam situasi seperti ini. Untuk apa Theo menahannya jika seseorang yang pria itu harapkan sudah kembali—datang dengan keangkuhan dan penghinaan yang harus dia terima. Rose melihat sendiri bagaimana Theo jatuh begitu buruk bersama mimpi yang dialami. Apa lagi yang diharapkan? Bukankah pemicu masalah tidurnya kian mampir menjadi obat dengan bernaung di bawah atap bersama? Tubuh Rose bergerak mundur beberapa langkah. Mengambil posisi duduk di atas
Sorot mata Rose memicing tajam. Mengambil sikap waspada ketika mendengar suara kunci diputar dari luar. Dia bangkit, penampakan bahu Theo membuatnya melangkah cepat.“Buka pintunya. Aku mau keluar!”Rose mendorong tubuh besar itu menyingkir. Berulang kali menekan knop pintu seperti yang dilakukannya beberapa saat lalu.Sial! Theo lebih dulu bertindak di luar pengawasannya.“The keys are here.”Bunyi gemerincing dua atau tiga anak kunci menarik perhatian Rose. Dia mendekati Theo dengan kemarahan yang tampak menggunung di mata. Lengan Rose terulur, hendak meraih sesuatu yang mustahil. Theo tidak akan pernah membiarkannya bebas begitu saja.“Berikan padaku!” ucap Rose dingin. “Kau tidak bisa menahanku di sini. Lupakan taruhan bodoh itu. Aku tidak mau lagi berurusan denganmu!”Rose menipiskan bibir. Mencari sekecil apa pun cara mengelabuhi Theo di sampingnya. Mungkin kelemahan lawan sedikit bisa membantu Rose membebaskan diri dari kurungan paksa yang pria itu lakukan.“Not that easy, Suga
Bagian terburuk dari sisa kekacuan belum berakhir. Baru selangkah tidak jauh dari kamar tamu, Rose harus dihadapkan dengan wanita yang berdiri angkuh. Netra keduanya bersirobok—Rose seperti bercermin saat surai pirang persis di hadapannya sengaja disibak, menyebar kesombongan begitu segaris bibir itu menyeringai sinis.“Kau belum pergi juga, pelacur? Apa kau tidak punya urat malu? Aku sudah membereskan barang-barang rongsokanmu. Silakan angkat kaki jika kau sudah tidak punya kepentingan di sini.” Magdalena melipat kedua tangan di depan dada. Sebelah alisnya terangkat tinggi, penasaran akan sikap Rose yang teramat santai.“Pelacur tidak tahu diri. Apa sekarang aku harus menyebutmu jalang?” tanyanya setengah menyindir.Alih – alih marah. Rose membungkuk, meletakkan tongkat bantu jalan ke atas marmer. “Seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Apa semua pakaianku mengotori tanganmu? Aku harap tidak, karena semua itu pemberian Theo. Satu lagi, aku akan pergi tanpa membawa apa pun, kecuali d