“Aku tidak tahu apa kau modus, atau benar-benar ingin Oracle memanggilmu daddy.”Rose bicara fokus menatap ke luar jendela. Tampilan alam asri yang bergerak semu, jauh lebih menarik daripada pria di sampingnya. Sesuatu terasa buruk sebelum mereka meninggalkan mansion yang letaknya di tengah hutan. Rose cukup keberatan saat Oracle tidak menolak tawaran yang Theo berikan. Bahkan Bridgette sendiri menyetujui apa yang seharusnya tidak terjadi.Mau bagaimanapun, Theo pernah menjadikan Oracle sebagai umpan sekadar memancing Rose untuk melayaninya tepat di awal saat mereka mulai terikat masalah. Theo yang merupakan tamu tak diundang hingga yang Rose ketahui menjadi klien dengan nama samaran, masih terlintas di kepala Rose akan beberapa kejadian. Kesucian yang terenggut tak urung menjadi bayang-bayang.Napas Rose berembus begitu mobil yang keluar dari jalur hutan, memasuki kawasan kota. Dia menunggu jawaban Theo, yang sampai saat ini belum terdengar. “Aku bicara padamu,” ucap Rose, berpalin
Magdalena mengangkat koper kebesaran di tangan, menaiki satu per satu anak tangga tidak peduli Lion berusaha mencegah setiap detail tindakan yang dia ambil. Sidang putusan cerai tersisa tujuh hari, cukup menyakinkan Magdalena untuk kembali memasuki mansion besar Theo sebagai tempat berlabuh. Dia tidak menyalahkan hakim tampan, yang begitu mudah jatuh dalam pesonannya. Melakukan kesepakatan saling menguntungkan. Magdalena hanya perlu melayani pria rupawan itu kapan dan di mana mereka harus menyiapkan diri.Dia sudah tidak sabar melihat seperti apa reaksi Theo di penghujung gugatannya sendiri.“Berhenti, Nyonya.”“Lepas! Jangan sentuh aku.”Magdalena menepis cekalan di pergelangan tangannya. “Kau akan menerima akibat yang sangat buruk, jika sampai aku terjatuh.”Berlalu tanpa henti. Magdalena menghentak koper di atas marmer dengan tatapan menusuk. Tidak ragu menyeringai kejam, mendekati dua orang yang terdiam.“Padahal belum lama kita tidak bertemu, kenapa sekarang kau menjadi pria ca
“Shut up! Jaga batasanmu, Magda.”Theo memalingkan wajah, menyorot Lion dingin tak tersentuh. “Pastikan Rose tidak pergi ke manapun. Tahan, bawa dia ke kamar tamu.”“Baik, Tuan.”Selepas kepergian Lion, Theo mengunci Magdalena dengan riak amarah. Menjaga jarak beberapa meter, demi menghindari aroma tubuh yang membuat isi pencernaannya bergejolak. Theo berdecih. Kali kedua kedatangan Magdalena sama-sama menciptakan kekacauan. Terlalu lancang. Bisa-bisanya wanita itu masuk di bawah pengawasan ketat. Apa Theo harus memutar akal sehatnya, bahwa Magdalena memiliki sifat manipulatif yang tidak bisa diremehkan?“Aku tidak mengerti apa urat malumu masih tersambung atau tidak. Tapi kau seharusnya tidak kemari saat tujuh hari ke depan kita sudah bukan siapa-siapa.”Pernyataan Theo mendapat sambutan sinis. Magdalena kembali menyibak rambutnya ke belakang dengan senyum angkuh yang tak pernah hilang. “Kau bisa memaksaku menandatangani surat cerai. Aku akui aku terlalu bodoh waktu itu, berharap ka
“Buka pintunya, Lion. Kau tidak bisa mengunciku di sini. Aku mau keluar!”Berulang kali Rose menekan ganggang pintu. Berharap bisa terbebas dari ruang tak bercela, yang pada satu sisinya terdapat jendela kaca tebal. Tidak terlihat satu pun bagian yang bisa Rose akses sekadar menggeser kusen yang menyatu rapat. Dia benar-benar terjebak. Pintu yang dia usahakan terbuka turut menjadi momok mengertikan. Lion mungkin sudah melangkah jauh, membiarkannya sendiri meronta seperti wanita tidak waras.Sejak awal Rose tidak pernah berharap akan terjebak dalam situasi seperti ini. Untuk apa Theo menahannya jika seseorang yang pria itu harapkan sudah kembali—datang dengan keangkuhan dan penghinaan yang harus dia terima. Rose melihat sendiri bagaimana Theo jatuh begitu buruk bersama mimpi yang dialami. Apa lagi yang diharapkan? Bukankah pemicu masalah tidurnya kian mampir menjadi obat dengan bernaung di bawah atap bersama? Tubuh Rose bergerak mundur beberapa langkah. Mengambil posisi duduk di atas
Sorot mata Rose memicing tajam. Mengambil sikap waspada ketika mendengar suara kunci diputar dari luar. Dia bangkit, penampakan bahu Theo membuatnya melangkah cepat.“Buka pintunya. Aku mau keluar!”Rose mendorong tubuh besar itu menyingkir. Berulang kali menekan knop pintu seperti yang dilakukannya beberapa saat lalu.Sial! Theo lebih dulu bertindak di luar pengawasannya.“The keys are here.”Bunyi gemerincing dua atau tiga anak kunci menarik perhatian Rose. Dia mendekati Theo dengan kemarahan yang tampak menggunung di mata. Lengan Rose terulur, hendak meraih sesuatu yang mustahil. Theo tidak akan pernah membiarkannya bebas begitu saja.“Berikan padaku!” ucap Rose dingin. “Kau tidak bisa menahanku di sini. Lupakan taruhan bodoh itu. Aku tidak mau lagi berurusan denganmu!”Rose menipiskan bibir. Mencari sekecil apa pun cara mengelabuhi Theo di sampingnya. Mungkin kelemahan lawan sedikit bisa membantu Rose membebaskan diri dari kurungan paksa yang pria itu lakukan.“Not that easy, Suga
Bagian terburuk dari sisa kekacuan belum berakhir. Baru selangkah tidak jauh dari kamar tamu, Rose harus dihadapkan dengan wanita yang berdiri angkuh. Netra keduanya bersirobok—Rose seperti bercermin saat surai pirang persis di hadapannya sengaja disibak, menyebar kesombongan begitu segaris bibir itu menyeringai sinis.“Kau belum pergi juga, pelacur? Apa kau tidak punya urat malu? Aku sudah membereskan barang-barang rongsokanmu. Silakan angkat kaki jika kau sudah tidak punya kepentingan di sini.” Magdalena melipat kedua tangan di depan dada. Sebelah alisnya terangkat tinggi, penasaran akan sikap Rose yang teramat santai.“Pelacur tidak tahu diri. Apa sekarang aku harus menyebutmu jalang?” tanyanya setengah menyindir.Alih – alih marah. Rose membungkuk, meletakkan tongkat bantu jalan ke atas marmer. “Seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Apa semua pakaianku mengotori tanganmu? Aku harap tidak, karena semua itu pemberian Theo. Satu lagi, aku akan pergi tanpa membawa apa pun, kecuali d
Magdalena mematut diri di depan cermin retak. Teriakannya menggelegar menatap separuh pantulan wajah yang terlihat kacau. Riasan tebal di bagian mata luntur, meninggalkan bercak-bercak hitam meluruh ke bawah. “Sial!”Dia kembali melempar botol kaca hingga serpihannya menyebar ke beberapa tempat. “Wanita itu harus membayar mahal atas apa yang aku rasakan!” jerit Magdalena di luar kendali. Sesekali dia mengusap bekas membasah di wajah dengan kasar. Tawanya menyeruak, disusul sayup-sayup lirihan kecil.“Aku tahu T masih mencintaiku,” gumamnya nyaris berbisik. “Dia hanya marah dan kecewa. Selebihnya dia masih mencintaiku. Dia benar-benar masih mencintaiku!” Magdalena menyugar surai panjangnya ke belakang dengan gerakan pelan.“Aku tidak boleh kalah.”Netra kelamnya menajam sarat akan ambisi. Setidaknya dia satu langkah lebih maju tanpa sepengetahuan siapa pun. Theo tidak akan bisa melawannya di pengadilan, sekali pun pria itu ingin mengajukan banding saat ketukan palu mulai mengambil andi
Lion menunduk. Tidak berani menatap sorot abu-abu Theo tatkala pintu yang membatasi posisi mereka terbuka. Langkah tertatih itu pelan menghampiri Lion yang terlihat ragu menyerahkan tongkat bantu jalan pada tuannya.“Anda harus menghentikan Nyona Magdalena, Tuan,” ucap Lion nyaris tak terdengar.Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Terpaksa menerima kruk tersaji di hadapannya “Apa yang Magdalena lakukan?” Dia bertanya seraya menutup pintu kamar.“Nyonya memukuli Afilia, Tuan.”Wajah Theo berpaling cepat, tidak mengerti maksud ucapan Lion. Ada masalah apa Magdalena bersama Afilia, hingga tidak menghargai posisi Beatrace sebagai wanita tua sekaligus ibu yang memiliki tanggung jawab besar?“Belum sehari di sini kewarasannya sudah berkurang. Kenapa dia memukuli gadis remaja itu?”“Maaf jika saya lancang, Tuan. Tapi Anda menjadi pokok permasalahan yang sedang terjadi. sebaiknya kita segera ke sana. mereka ada di dapur”Kembali menunduk setelah mengangkat wajah gusar. Lion melebarkan lengann